Gadis Pesisiran
Didin Emfahrudin adalah penulis kelahiran Lamongan. Ia pernah menerbitkan buku antologi puisi Menenun Rinai Hujan (2019) kolaborasi bersama Eyang Sapardi Djoko Damono dalam Sayembara Sebuku GMB Indonesia. Selain menulis puisi, cerpen dan novel, ia juga aktif menjadi seorang trainer SDM dan pegiat Griya Baca EMFA.
Deretan gadis-gadis bergincu nan menor dan bertubuh molek tengah asyik merumpi. Warung kopi Yuk Erna menjadi basecamp mereka. Sesungguhnya mereka semua juga adalah penjual kopi di warung kopinya masing-masing. Warung kopi embong Kota B. Begitulah sebutan orang-orang di daerah itu menamai deretan warung-warung kopi yang kebanyakan mulai reyot itu. Di pagi yang masih buta, memang pelanggan-pelanggan mereka belum banyak berdatangan. Supir-supir truk ekspedisi lintas provinsi yang rutin mampir ke warung mereka biasanya ramai di malam hari. Sehingga Warung Yuk Ernah yang paling teduh karena dinaungi pohon jati itu jadi tempat mereka saling berkeluh kesah. Bergosip ria ala penjual kopi. Yuk Ernah merupakan penjual kopi paling legendaris di tempat itu. Konon Yuk Ernah lah yang pertama kali membangun warung di emperan jalan raya tersebut. Karena Yuk Ernah semakin hari semakin laris, akhirnya banyak tetangga dan kawan-kawan seperjuangannya itu kini mengikuti jejaknya.
Kopi—minuman berkafein itu memang paling digemari oleh orang-orang di kawasan pesisir laut Jawa. Terutama para makhluk berjakun. Mulai remaja yang masih sekolah, perjaka ting-tong sampai pria yang rambutnya penuh uban suka ngopi di sana. Apalagi, ada kabar burung, jika di deretan warung kopi yang digawangi Yuk Erna dkk itu, memiliki pesona lain dalam menggaet pelanggan. Sudah jadi rahasia umum, kalau para penjual kopi di situ adalah para eks PSK korban penutupan lokalisasi di ibukota provinsi. Mereka yang tak bersedia dibina, kemudian menyebar ke antero pelosok-pelosok kabupaten di provinsi itu. Membuat warung-warung kopi yang punya ciri khas pelanggan mereka bisa colek-mencolek dan pangku-memangku.
Jika Yuk Erna adalah penjual kopi paling legendaris dan pesonanya mulai pudar ikut umurnya yang kian uzur. Berbeda kondisi dengan gadis penjual kopi yang ada di samping Yuk Erna bernama Nilna itu. Nilna adalah icon aduhai ter-fresh yang Yuk Erna jadikan pegawai agar menjadi magnet para pelanggan kopi bertahan.
“Mbakyu-Mbakyu.., kalian pada nyadar gak, warung-warung kita hari-hari ini semakin sepi didatangi para pelanggan. Terutama pelanggan yang orang-orang sini sendiri. Kalau supir truk satu-dua sih masih ada!” Ujar Yuk Ernah sembari memandangi kaca rias mininya.
“Huum. Warungku kemarin malah yang paling kembang kempis Yuk. Enak punyae sampean. Ada si bahenol Nilna ini, yang masih suka diapelin bocah-bocah bolos sekolah!” Gerutu Mbak Warsih yang warungnya berdampingan pas dengan warung Yuk Erna. Nilna yang paling pemalu di antara mereka. Tiba-tiba pagi itu berani berceletuk. Seraya berkata, “bukan gitu Mbak. Aku dengar gosip, kalau sekarang itu ada laskar agama di sekitar kawasan sini yang tak segan gebuki anak-anak yang suka main ke warung remang-remang kita ini. Aku malah lebih takut ke mereka itu kok Mbah Sih, daripada Satpol PP.”
Semua terdiam. Kaget. Nilna yang sedari tadi diam memerhatian, tak banyak berbicara sontak tertarik mendengar ucapan bos-nya itu.
“Walah Sih…Sih, kamu aja yang servisnya tak seperti dahulu lagi kali, hahaha!” celetuk Yuk Erna tanpa sungkan pada para junior-juniornya.
“Mana ada itu Yuk…., siapapun, pelanggan lama atau yang baru datang ke warungku pun langsung aku servis ala jaran kepang kok!” Ketus Mbah Warsih tak terima. Ia berujar sambil tangannya sibuk melukis wajahnya dengan bedak tabur cap sachet.
“Sih, aku tahu ada dukun penglaris dan pemikat yang terkenal manjur di daerah sini. Mau kamu pakai gituan?” Tawar Yuk Erna.
“Weleh-weleh, amit-amit Yuk. Aku takut kalau main-main ilmu hitam gitu. Takut dedemitnya minta tumbal ini itu. Aku punya anak Yuk. Tak apalah, tak kaya-kaya. Asal aku dan anak-anakku sehat wal afiat Yuk……,!” Keluh Mbak Warsih lalu ia mengajak semua peserta forum bergosip itu balik ke warungnya masing-masing.
***
Awan bergulung-gulung menutup langit malam. Menjadi perisai kerlap-kerlip gemintang yang melukis angkasa hitam. Langit yang gersang tanpa bintang itu itu bagai tahu isi hati Nilna yang tengah masam memburam. Kabar ada dukun kondang yang terbukti manjur itu, memantik hasrat lama di dalam diri Nilna. Hanya ia di antara para penjajah kopi di tempat itu yang tertarik untuk mengulik di mana dan siapa dukun yang diceletukkan Yuk Erna itu. Gadis itu memang hampir putus asa dengan nasibnya kini. Ia yang pernah jadi sosialita metropolitan, tiba-tiba kini harus menjadi buruh cuci gelas di warung kopi rendahan yang reyot pula.
Berhari-hari ia menelusuri siapa dukun itu secara diam-diam. Ia tak berani bertanya langsung pada Yuk Erna. Yang ia lakukan lebih banyak mencari info dukun itu pada pelanggan-pelanggan yang dekat dengannya. Terbersit di benak Nilna. Barangkali dengan bantuan dukun itu, ia bisa mengubah nasibnya kini, kembali meraih kejayaan seperti saat ia masih menjadi primadona bekas kerajaan lamanya. Di lokalisasi yang sempat meraih predikat sebagai prostitusi di Asean itu.
Semenjak perbincangan pagi itu. Nilma semakin merasa teramat lelah dengan kondisi hidupnya. Sorot matanya di sore itu sungguh telah berbeda. Tatapan penuh tanda tanya. Mata seorang yang akan bertindak nekat. Tentu ia bukan sedang akan bunuh diri. Lirikannya genit penuh hujam. Pancaran auranya sayu. Tidak seperti sediakala. Hingga sampai tengah malam, ia semakin tak kuasa menahan rasa gelisahnya. Nilna merasa, dengan mendapati orang pintar kenalan Yuk Ernah itu, barangkali nasibnya bisa kembali seperti saat ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswi dulu itu. Yah. Di antara penjual kopi di kawasan itu, hanya Nilna-lah yang bergelar sarjana. Sehingga ia merasai, sebenarnya derajatnya tak pantas menjadi babu di warung Yuk Erna itu. Nilna pernah kuliah di salah kampus pendidikan ternama—di kota provinsi.
Di bawah temaram lampu lima watt di bilik kamar kecilnya yang bernuansa redup. Nilna kembali mengingat masa kejayaannya sebagai bidadari pemuas birahi paling dicari, di kalangan mahasiswa, pengusaha hingga para birokrat papan atas. Nilna mulai mengenal dunia esek-esek bahkan sejak masih kuliah. Meski saat itu ia masih menjajakan layanannya secara rahasia, dari mulut-mulut rahasia dan dunia daring. Ia dulu bahkah tanpa sering mencari pelanggan. Kolektor pemilik akses mahasiswi berkode ayam kampus lah yang lebih sering menawarinya duluan. Nilna ingat, bagaimana dulu ia tak seusang saat ini. Dulu dengan mudah ia beli ini itu. Shopping, traveling dan rutin ber-spa, memoles tubuh mulusnya bagai ratu-ratu kecantikan artis ibukota. Tubuhnya bersih, mulus dan molek, ia bisa rutin membeli peralatan bersolek di manapun dan dengan harga berapapun. Nilma mampu. Wajahnya ia paes dengan make up kelas wahid, produk impor dari negeri pemuja kecantikan yang ia ketahui dari toko-toko online sesui trend kekinian.
Berlabel perempuan panggilan “high class”. Ia bebas menjajakan servis rahasianya itu lewat Facebook, Twitter, Bigo Live, Instagram, Whatapps dan sederet sosmed era teknologi abad 21 itu. Menjadi ajang ia pula bebas mengumbar pesonanya. Bahkan dulu, tarif servis sekali beraksi dalam satu malam, Nilna bisa meraup puluhan juta. Melayani panggilan ke hotel maupun di villa-villa berstempel ‘Lampu Hijau’. Uang itu ia bisa hambur-hamburkan di pusat clubing atau kasir pusat-pusat hedonisme pergaulan ala mahasiswa sosialita.
Malam ini, ia sangat rindu pada masa-masa itu. Di tengah pergulatan batin yang merintih, keibaan diri, ia tiba-tiba nekat menuju ke kamar Yuk Erna. Nilna akhirnya nekat bertanya alamat dukun paling sakti itu langsung pada sang juragan warungnya itu. Nilna, gadis kopi yang pernah di labeli para pria hidung belang sebagai ‘The Best Nigt Butterfly’ itupun akhirnya memutuskan bertanya pada Yuk Erna.
“Serius kamu Nil. Mau ke dukun itu?”
“Iya Yuk.”
“Untuk apa?”
“Ada temen lamaku yang jadi artis ibukota pengen masang susuk Yuk. Adu diminta tamya-tanya dulu. Nama dukun itu siapa Yuk. Dan alamatnya di mana Yuk. Terus apa syaratnya kalau menemui beliau?”
Nilna dengan nada gagap membuat alasan konyol dan memberondong pertanyaan.
***
Setelah menempuh puluhan kilo meter berkendara roda dua. Melewati jalanan yang dihimpit hutan jati yang sunyi dan lengang, Nilna akhirnya sampai di desa sang dukun yang ia tuju. Sesuai nama dan alamat yang diberitahukan Yuk Erna, desa tempat tinggal dukun itu bernama desa Nyawiji. Dan nama dukun itu adalah Mbah Manunggal. Nilna mengetuk pintu rumah sang dukun yang lebih layak di sebut gubuk itu. Gubuk yang berada di tengah-tengah hamparan persawahan padi nan luas. Namun suara salam dan ketukan jemari Nilna, tak kunjung jua ada balasan. Pintu gubuk reyot itu masih saja tertutup rapat dan tak ada sahutan suara dari dalam. Sampai berkali-kali Nilna memanggil, tak ada aura ada kehidupan yang menyambutnya. Mbah Manunggal yang katanya menjadi penghuni di gubuk di tempat sunyi itu tak kunjung keluar. Nilna mulai putus asa. Mungkin si kakek misterius itu sedang tak ada di rumah, pikirnya.
“Siapa ini?” Terdengar suara serak bergema yang berasal dari arah belakangnya secara tiba-tiba. Tubuh Nilna yang langsing berbalut kaos putih dan jeans biru ketat itu bergetar hebat. Ia amat kaget ketakutan. Kakinya kaku dan lemas. Untunglah ia tak sampai pingsan. Mbah Manunggal mendadak muncul begitu saja, tanpa terdengar langkah kakinya sama sekali sebelum akhirnya kakek tua itu berdiri di belakangnya. Nilna membalikkan badan memandang takut ke arah wajah si kakek tua itu. Memastikan apakah wajah yang dilihatnya itu adalah benar-benar manusia.
“Hehehe. Nduk. Kok bengong. Sampean cari siapa. Ayo, ayo…silahkan masuk ke dalam Nduk. Tapi maklum yah, rumahnya Mbah jelek dan berantakan,” ujar Kakek sepuh itu mengajak Nilna memasuki gubuk reyotnya.
“Oh yah, nama sampean siapa? sampai lupa Mbah belum tanya namamu Nduk…Nduk!” kata Mbah Manunggal sembari tangan keriputnya menenteng dua gelas teh panas yang asapnya masih mengepul. Nilna yang duduk di dipan bambu di ruang tamu itu dibuatnya penasaran. Hanya semenit baru masuk ke bilik pemisah antara ruang tamu dan ruangan dalam gubuk itu, tiba-tiba Mbayut Manunggal sudah keluar dengan membawa dua gelas teh, masih panas pula. Tapi Nilna berfikir positif, mungkin kakek dukun ini menyimpan air panas sebelum ia kondangan tadi. Atau benar-benar ia memang sakti.
“Saya Nilna Mbah…, di sini sampean tinggal sendiri kan Mbah? ”
“Yah Nduk, aku tinggal sendiri, oh sampean toh yang bernama Nilna itu. Jadi bagaimana, Mbah bisa membantu apa ini Nduk…”
“Loh sampean udah pernah tahu aku tho, Mbah? Tanya Nadia penasaran.
“Hahahahaha,…..” kelakar Mbah Manunggal.
Tak ingin banyak basa-basi, Nilna pun akhirnya mengutarakan semua kegelisahannya. Terutama pekerjaan freelance-nya selain menjadi penjaja kopi itu. Nilna puas menyampaikan keinginannya. Ingin berjaya kembali seperti dahulu di kota provinsi. Tak ingin selamanya menjadi babu di warung kopi colek milik Yuk Erna itu. Tanpa banyak cuap, Mbah Manunggal lalu memberi secarik kertas pada Nilna. Yang entah apa tulisan yang tertera di lembar usang itu dan kapan ia telah menulisnya. Tapi kakek tua itu memang semisterius wajahnya.
“Sampean ikuti petunjuk yang sudah Mbayut tulis di kertas itu ya Nduk. Jangan dibaca sekarang. Tapi nanti saja di rumah, pas di tempat sepi dan sampean sendiri. Sampean jalani ritual yang sudah Mbah tulis di situ ya Nduk.”
“Inggih. Iya Mbah. Matur nuhun. Terima kasih. Saya pamit pulang langsung ya Mbah,” ujar Nilna sembari bersalaman dan meninggalkan selarik amplop tebal sesuai arahan Yuk Erna. Namun, Mbah Manunggal mengembalikkan ternyata amplop itu pada Nilna. Dan kakek sepuh itu menyarankan, boleh membalas jasanya jika ritual darinya itu memang telah terbukti dan berhasil menyelesaikan permasalahannya. Nilna pun kini sungguh menaruh keyakinan bulat-bulat pada kakek sepuh di depannya itu. Ia pergi dengan senyum tipis penuh harapan. Sepanjang perjalanan ia membayangkan, hari-hari depan adalah hari ia akan kembali meraih kejayaannya kembali.
***
Sesampainya Nilna di tempat tidurnya malam itu. Ia langsung saja tak sabar untuk membuka secarik kertas pemberian Mbah Manunggal yang sudah ia tak sabar membukanya sejak pagi tersebut. Nilna ingin tahu segera, apa sesungguhnya ritual anjuran dukun sakti itu. Dengan mata kantuk dan lelah seharian melayani pelanggan. Nilna dengan pelan-pelan membuka lipatan kertas berisi tulisan yang ia rasa sangat sakral. Sekali lagi, malam ini Nilna dibuat syok oleh kakek tua yang katanya dukun paling sakti itu. Kenapa di kertas itu hanya berisi dua nama? Dan nama itu sungguh sangat menggetarkan jiwa Nilna kala ia melafalkannya. Meski dalam hati, mengingat siapa dua orang yang namanya ada di kertas itu membuat mata Nilna berkaca-kaca. Bulir bening deras membuncah dari mata lentiknya. Apa maksud seorang dukun bernama Mbah Manunggal ini. Padahal, yang ia ketahui, seorang dukun biasanya menyarankan kliennya untuk mandi kembang tujuh rupa, atau bahkan ia datang ke dukun itu, ia telah mempersiapkan diri jika harus melayani syahwat sang dukun, seperti yang banyak dilakukan oleh dukun-dukun cabul. Kepada mereka para gadis cantik yang mencari kejayaan dan keglamoran dunia, sepertinya.
Hingga kokok ayam penghantar fajar telah menyapa hari, Nilna masih merenungi kertas pemberian si dukun tenar itu. Semburat hangat kuning pun memancar dari ufuk timur. Cuit-cuit burung yang hinggap di pepohonan rindang, di atas atap warung itu membangunkan Nilna. Tubuhnya amat terasa lelah namun ia paksa menggeliat dan bangkit bersiri. Hari ini, ia ingin langsung kembali ke gubuk si dukun aneh itu. Entah, kenapa di pagi yang buta itu ia tak kuasa menahan ingin untuk mengonfirmasi langsung apa maksud Mbah Manunggal itu. Seusai izin ke Yuk Erna, Nilna bergegas mengendarai bebek besinya. Sekitar satu jam perjalanan, ia telah sampai di pedesaan tempat tinggal Mbah Manunggal. Namun yang ia lihat sungguh berbeda hari ini. Tak ada di tempat itu rumah sang dukun seperti kemarin. Yang terdapat di sana, hanyalah sebuah tiang-tiang bambu tanpa atap dan dinding. Nilna syok. Di hamparan persawahan padi yang luas itu, tak ada siapapun. Ia kembali ke jalan menuju pusat desa dan ingin bertanya ke orang-orang di sana. Kebetulan pagi itu, di saat ia akan pergi, ada petani yang sedang akan menengok sawahnya.
“Permisi Pak, di mana kiranya sekarang Mbah Manunggal yang kemarin menghuni gubuk di sana itu?” Tanya Nilna terbata-bata.
“Heh…, Mbah Manunggal Mbak. Simbah itu kan sudah wafat sembilan tahun yang lalu. Gubuk itu sudah rubuh lama sekali dan tak berpenghuni toh pastinya.”
Nilna merasa bak tersambar petir kala mendengar apa yang dikatakan petani itu. Ia tersungkur lunglai. Tubuhnya rubuh. Lututnya menempel tanah. Juga telapak tangannya. Lalu dahi pun menyusul bersujud ke tanah. Entah, pagi itu seolah ia merasa diingatkan oleh Mbah Manunggal. Apakah makna semua ini tentang dirinya. Seorang perempuan yang nekat meninggalkan rumah dan tak pernah sungkem pada kedua orangtuanya sejak sembilan tahun silam—hanya karena dulu ia tak mau dimasukkan ke pesantren oleh ayah dan ibunya.
Lamongan, 2019