Puisi-puisi Nuriman N Bayan
Nuriman N. Bayan atau lebih dikenal dengan Abi N. Bayan, lahir di desa Supu Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, 14 September 1990. Karya-karyanya dipublikasikan di media daring, surat kabar, dan terbit di beberapa majalah, serta tergabung dalam antologi bersama, diantaranya: Cincin Api: Antologi Puisi Mitos dan Erupsi Gunung Merapi (2019), Sebutir Garam di Secangkir Air: Apresiasi 60 Puisi Dapur Sastra Jakarta (2019), Aku Menujumu, (2019), Dongeng Nusantara Dalam Puisi, (2019), 100 Penyair Indonesia dalam Antologi Puisi Binjai (2019), Pesisiran, (2018), dll.
Sajak Kelapa
_tungku dan sejarah
Kelapa telah setia mengirimkan kami ke kota-kota
mempertemukan kami dengan impian dan kenyataan
dan di dalam tubuh kami tak ada aroma lain, selain
bau cengkeh, bau pala, bau coklat, bau tombong
bau kopra, begitu harum mengalir di dalam darah kami.
Tubuh kami adalah petani, dan di dalam tubuh kami
ada ayah yang bermusim-musim mendamaikan peluh
memanjat nasib yang bermukim di ujung kelapa, dan
ayah turun membawa dada yang merah, kaki yang
gemetar, tangan yang menyembunyikan luka demi duka.
Kami dan para-para telah menyaksikan asap
berjela-jela, mengepung, memadati mata ayah.
jika mata dan tubuh ayah adalah hulu, maka air mata
dan keringat itu adalah mata air. Sumur yang tak kering
meski berhari-hari kami timba, demi dahaga dan cita-cita.
Maka kami pasti sedih, jika segala jadi halimun, dan
dunia hanya bisa mendengar suara kami setuli-tulinya
sebab asap yang berjela-jela di mata ayah,
tertahan di mata ibu– ada tungku dan sejarah
tempat kota-kota makan dan minum, lalu dengan bangga
berlari ke bentangan dunia. Semoga Indonesia tidak lupa.
Morotai, 21 November 2018.
Hijau dan Biru
Kita berjumpa di suatu
tempat yang tak ada bunga-bunga.
Ke barat adalah lautan,
ke timur adalah lautan.
Alangkah setia hati kita berlayar di sana,
hingga di tengah hijau mata kita selalu biru.
Kita berjumpa di suatu
tempat yang tak ada kapal dan perahu.
Ke barat adalah hutan,
ke timur adalah hutan.
Alangkah setia mata kita bertemu di sana,
hingga di tengah biru hati kita selalu hijau.
Morotai, 2019.
Kita
_kepada I
Di ruang ini, kita tidak benar-benar sendiri
kita hanya memilih meniadakan kedua-duaan
dan sebangsanya, juga belum waktunya tubuh kita saling bicara.
Jarak antara kita adalah empat ekor mata
dan empat mata kaki yang di matanya-
laut masih ingin membentangkan birunya,
bukit-bukit masih ingin membentangkan hijaunya,
hingga mata kita penuh kabut dan sesekali ditumbuhi buih.
Kita tidak benar-benar sendiri
kita hanya memilih perihal,
yang sejatinya tidak pernah kita pilih
sebab waktulah yang memilihkan kita,
dan kita telah berjanji untuk patuh kepada
waktu yang telah memilihkan jarak untuk kita.
Morotai, 2019.