CERPEN 

Gadis Senja di Tepi Pantai

Wahyu Arshaka adalah nama pena dari Asep Wahyudin. Sehari-hari berprofesi sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu. Tinggal dan bergiat di Sumurgede, Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat.

 

Kala senja tiba, gadis itu datang ke tepian pantai. Duduk termenung memandang lautan. Kadang memeluk lutut, tapi sesekali kakinya diselonjorkan, membiarkan betisnya yang putih dijilati ombak. Gadis itu bernama Ranum, dia anak seorang germo, bernama Mak Karom, tapi bukan anak kandungnya, melainkan anak salah seorang pelacur, yang menghilang setelah Ranum dilahirkan.

Ranum dibesarkan Mak Karom di rumah lacur itu hingga sekarang. sampai jadi gadis remaja yang cantik. Banyak yang ingin memperistri Ranum, mereka rela memberikan uang ratusan juta sebagai maharnya. Tapi Ranum menolak meski Mak Karom terus memaksa dan membujuk. Karena terus-terusan dipaksa itulah akhirnya Ranum selalu termenung di tepian pantai kala senja, entah menunggu siapa.

 

*****

Rasa ingin tahu membuatku mendatangi rumah lacurnya Mak Karom. Pada senja itu aku mencarinya. Menelusuri gang tidak jauh dari jembatan, tepat di pinggir pantai dekat toilet umum ada rumah bilik yang bagian depannya dijadikan warung yang menjajakan bir dan aneka jamu-jamuan. Itulah rumah Mak Karom.

Dengan langkah ragu aku masuk, ada seorang wanita gemuk berkulit hitam sedang tiduran di dipan. Melihat aku datang dia bangkit sambil merapikan rambutnya yang kriting. Aroma parfumnya begitu menyengat bercampur bau bedak untuk ketiak.

“Masih sore begini mau main, anak asuh emak masih pada bersolek, mau minum atau ngopi dulu aja.” Ucapnya dengan nada ramah.

“Oh tidak, saya mau ketemu Mak Karom.”

“Saya sendiri, ada apa?”

“ Saya mau bertanya tentang Ranum.”

Mak Karom terdiam memandangku dalam-dalam.”Dia tidak di rumah kalau sore begini!” terdengar ketus.

“karena itu saya ingin tahu, kenapa Ranum hanya diam membisu di tepian pantai kala senja tiba!”

“Bukan urusanmu, kalau hanya itu tujuanmu pergilah sana!” hardiknya dengan wajah nampak kesal.

Aku tarik napas panjang, putar akal mencari cara. Dalam kebingungan kulihat seorang wanita muda mengenakan tanktop dan celana jeans pendek keluar rumah dan berdiri di muka pintu. Dia memperhatikanku dan dengan gerakan tangannya memintaku menghampirinya.

“Saya sudah bisa main kan? Itu sudah ada yang siap!” ujarku spontan.

Mak Karom melirik wanita muda itu.”Nah gitu, pasti kau langsung tertarik lihat Si Nora kan, sudah ke sana main yang lama!”

Aku bergegas menghampiri wanita muda yang dipanggil Nora. Dia langsung mengajakku masuk. Di dalam ada tiga orang wanita sedang bersolek, ada yang sudah berpakaian seksi, ada juga yang masih mengenakan handuk dan kutang.

“Sore-sore sudah dapat penglaris nih!” ucap yang sudah berpakaian seksi.

“Dapat yang ganteng lagi!” timpal temannya yang berbadan gemuk.

“Kalau tahu ada tamu, tadi saya keluar aja ya!” ujar yang pakai kutang.

Nora menempelkan telunjuknya di bibirnya yang ranum, ”Jangan berisik ya!” lalu membuka pintu kamar paling depan.

Aku mengikutinya dengan jantung berdebar. Kamar terasa pengap, ranjang besi dengan kasur kapuk tanpa seprai, terlihat bekas iler atau bisa jadi percikan sperma. Ada meja yang terletak di bawah jendela kayu, di atasnya kipas angin kecil terdiam dengan debu-debu yang menempel di baling-balingnya. Nora menekan tombol nomor satu, kipas berputar mengehempaskan debu-debunya.

Dengan ragu aku duduk di ranjang. Nora tanpa basa-basi hendak membuka tanktopnya.

“Oh jangan buka, eh saya hanya mau ngobrol!” ujarku sedikit terbata.

Nora terdiam dalam kebingungan, “ngobrol dulu?”

“Saya cuma ngobrol aja, tidak main. Tapi saya akan bayar sesuai tarif kalau mbak main.”

Nora duduk tak jauh di sampingku, diambilnya sebatang rokok dan dibakarnya. Dihisapnya perlahan dan dihembuskan dengan bibir membentuk hurup O. Tak bisa aku pungkiri, jantungku berdebar kencang, tapi aku berusaha redam, tatapan mata aku alihkan ke bilik kamar.

“Ingin ngobrol apa Mas?” tanyanya lirih.

“Soal Ranum, saya ingin tahu tentang dia!”

Kemudian Nora bercerita yang dia dengar tentang Ranum. Tidak banyak yang dia ceritakan, karena dia baru setahun tinggal di rumah Mak Karom. Tapi dari Nora aku mengetahui, kalau Mak Karom memang memiliki niat jahat pada Ranum. Dia membesarkan Ranum dengan motif ekonomi, Ranum dijadikan investasi buat hari tuanya. Cepat atau lambat Ranum akan dijual atau dipaksa menikah dengan berbagai siasat.

Sedangkan alasan kenapa Ranum suka berdiam di tepi pantai, karena Ranum sedang menunggu kekasihnya yang diyakini akan menemuinya di tepi pantai. Alasan itulah yang Ranum lontarkan ketika menolak dijodohkan oleh Mak Karom. Karena Ranum sudah punya kekasih yang akan datang saat senja di tepian pantai. Entah siapa kekasihnya, tak ada yang tahu.

 

****

 

Setelah dari rumah lacur Mak Karom, aku bergegas menemui Ranum. Untung saja dia masih ada. Terlihat sedang duduk termenung memeluk lutut. Senja hampir usai kala itu, tepi pantai sudah sepi. Dengan langkah pelan aku mendekat, lalu terdiam di belakang Ranum.

“Ranum!” ujarku dengan suara gemetar.

Ranum menoleh, menatapku begitu dalam. Dia perlahan bangkit. “Akhirnya kamu datang juga Mas, aku sudah melewati seratus senja menunggumu!”

Aku terdiam diterkam kebingungan, tidak paham apa yang diucapkan Ranum.

“Kaulah kekasih yang hadir di mimpiku, yang berjanji akan menemuiku di sini dan membawaku lari dari rumah lacur itu!”

Tak aku sangka, akulah kekasih yang dia tunggu. Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas membawa Ranum, sebelum senja usai, sebelum anak buah Mak Karom datang. Dengan sepeda motor kami pergi, singgah sejenak di rumah kontrakan sekadar mengambil beberapa pakaian. Aku berniat membawa Ranum pulang, menjauh dari tepian pantai ini.

****

Jam sepuluh malam aku sampai. Ibu terperanjat melihat aku datang membawa perempuan.

“Kenapa tidak bilang-bilang hendak pulang? Bawa calon mantu lagi!”

“Tidak direncanakan bu, mendadak!”

Lalu aku kenalkan Ranum, Ibu menatapnya begitu dalam, sepertinya dia pernah mengenalnya, begitu juga Ranum. Mereka seperti terlihat seperti dua orang yang sudah memendam rindu.

“Ibu sepertinya tidak asing denganmu nak!” Ibu mengusap pipi Ranum dengan lembut. “Di mana kamu tinggal?”

“Saya tinggal di tepi pantai.”

Ibu nampak tersentak, terdiam dan mundur dua langkah.”Siapa nama orang tuamu?”

“Kenapa Bu, dia tidak punya Ayah. Ibu kandungnya meninggalkannya waktu bayi. Dirawat sama ibu angkatnya yang berniat jahat. Makanya saya bawa kemari!” aku terdiam sejenak, ”Ceritanya panjang, nanti tak ceritakan!”

“Siapa nama Ibu angkatnya?” Tanya Ibu, dia tak menggubris ucapanku.

“Mak Karom Bu!” jawab Ranum.

Ibu termenung, air matanya tumpah, dengan tangan gemetar dia mencoba memeluk Ranum dan Ranum menyambutnya, meski terlihat dia kebingungan. Setelah sejenak berpelukan, Ibu melepaskannya perlahan.

“Namamu bukan Ranum, tetapi Hanum, Hanum Gayatri!” ujar Ibu di sela tangisnya.

“Bagaimana Ibu bisa tahu?” Tanya Ranum.

Ibu terdiam, dia berusaha meredakan tangisnya dan mengatur napasnya.”Karena Ibu adalah Ibumu, perempuan yang melahirkan kamu!”

Ranum terdiam, air matanya tumpah perlahan. Aku pun terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kepala terasa berat, hati tercabik dan napas terasa sesak. Aku tak menduga hidupku ternyata tragis. Teramat tragis.

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

twenty + 9 =