Puisi Iwan Setiawan
Iwan Setiawan, kelahiran Kotabumi, Lampung Utara 23 Agustus1980, kini berdomisili di kota Lubuk Begalung, Padang Sumatra Barat. Pernah tergabung dalam antologi 55 penyair coretan dinding kita, 30 penyair sastra roemah bamboe, 3 penyair ilalang muda, Seutas Tali & Segelas Anggur (2017), tersiar di koran media indonesia dan masuk sebagai kategori Puisi Terpuji Anugrah Sastra Litera(2017).
MEMBURU KENANGAN DARI KAMPUNG HALAMAN
1/
aku merindukan anginmu
angin yang selalu tumbuh dari semak ilalang
sekumpulan belalang bercengkrama riang mencipta keindahan dalam kenangan
debu-debu kecil beterbangan penghias halaman kala sunyi berdendang
aku hampiri waktu masa lalu untuk obati rindu yang memburu
aku ingin pulang mencium harum bunga belukarmu
sebab pengembaraan hidupku telah jauh berlalu
aku ingin kita dan masa lalu menjadi kesetiaan yang membatu
2/
aku mencintai warna warni kupu-kupu
yang pernah kau suguhkan di ladang-ladang bunga belakang rumahku
aku mencintai petani-petani pembajak sawah
yang selalu setia bersetubuh dengan lumpur-lumpur asa
aku mencintai semak-semak ilalang yang selalu sembunyikan tubuhku
dari sengatan matahari yang memburu
aku mencintai bau tanah-tanahmu
yang selalu hadirkan rindu
dalam perjalanan panjang hidupku
Padang
KOTA LAMA
teringat anak perempuanku anisa putri khalitasani
secawan angin melepas rupawan
udara mengemas kenangan
kuikat bulan separuh dengan harapan
pertemuan mengepal merupa kapal-kapal
perjalanan mengeras pada sisi waktu
kota lama, melepasku dengan lagu sedih
aku berjanji di tugu tempat dulu bercumbu
untuk menghitung waktu dan mengulang masa lalu
tapi, kepulanganmu tiada
sudah kulalui do’a, dan debu-debu terasa kelu
kukejar engkau sebagai kunang-kunang
sebab malam menjebakku dengan kegelapan
kota lama, melepasku dengan lagu sedih
banyak rindu yang kulewatkan
banyak catatan yang terlepas dan belum kutuntaskan
tentangku yang pernah singgah
di jalan dan tanah-tanah kerasmu
padang panjang
SUATU MALAM DI JALAN KHATIB SULAIMAN
kesepiannya kata-kataku
pada malam di jantung kota
kesedihan meloncat dari mataku
malam bersama embun enggan pulang
waktu melindas di setiap jalanan
aku membaca ranting dari kejauhan
ada sepasang burung hantu sedang bermesraan
angin mengalun menyibak debu dan daun-daun
di bawah sinar lampu jalan
segelintir rindu kuperam diam-diam
tanganku erat menggenggam kecemasan
di setiap persimpangan kutanamkan jejak persinggahan
sebab kepulangan ini tak ingin sesat
padang
STASIUN TABING
percakapan di peron kemarin
hadirkan rindu yang panjang
setelah kepergianmu
sepi mengetuk pintu di hatiku
o, tiada mampu kutolak
ketika kabut merimbun
bayangmu hilang dari pandang mataku
malam datang berulang-ulang
kita telah tumbuh dalam keterasingan
jejak dan rindu terhapus debu dan hujan
lalu jeda kembali kepada sepi
padang