PERISTIWA 

Sastra Diharapkan Tetap Jadi Sumber Inspirasi

Palembang (litera) — Pada saat peradaban mulai merambah revolusi
industri 4.0, sastra tetap diharapkan hadir sebagai sumber inspirasi pembangunan
karakter, dan penghalus budi pekerti pembacanya, terutama generasi muda.
“Gererasi milenial, diharapkan masih tersentuh oleh nilai-nilai sastra yang
adiluhung dan dapat memperhalus budi pekerti mereka,” kata Ahmadun Yosi
Herfanda dalam Seminar Nasional Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya
Pelambang, Rabu (23/12).

Pembicara lain, Dr. Suhardi Mukmin, M.Hum, menegaskan fungsi sastra
sebagai penghalus budi pekerti. Dalam seminar bertema “Sastra Perhalus Budi
Pekerti di Era Milenial” itu Suhardi merinci aspek-aspek yang membuat karya
sastra berfungsi sebagai pembangun karakter pembacanya. Antara lain, amanat
yang terkandung dalam karya sastra.

Persoalannya, tambah Ahmadun. di manakah sastra hadir dan dapat
berdialog dengan generasi milenial, ketika peradaban hampir sepenuhnya
dikendalikan oleh IT? “Kita lihat dewasa ini, sastra sudah merambah ke IT,
meskipun tradisi penerbitan sisa era 3.0, sastra cetak, masih banyak kita temukan.
Artinya, suka tidak suka, generasi milenial juga harus masuk IT untuk menemukan
karya sastra terkini, selain perlu tetap membaca buku sastra cetak,” katanya.

Dalam seminar daring (lewat zoom) ini ditampilkan pula 10 pembicara lain.
Mereka adalah M. Indra Aziz, Selly Putri Pratami, Linda Puspitasari, Wulanti
Sagitari, Vitria Marsela, Eka Yuningsih, Desi Ervina Simbolon, Aryani Safitri, Anggi
Retna Dewi, dan Karina Balqis. Seminar cukup banyak diikuti para peminat
pengajaran satra.

Keyakinan bahwa sastra dapat memperhalus budi pekerti, menurut
Ahmadun, sudah ada secara turun-temurun sejak tradisi satra lama yang syarat
pesan keluhuran. Pada era sastra modern dan kontemporer keyakinan itu tetap
dipertahankan oleh sebagian besar sastrawan, apresian, dan pengajar sastra.

2
“Tetapi, kita lihat peradaban sedang burubah dalam revolusi industri 4.0. Media
sastra ikut berubah, sejalan makin bergantungnya masyarakat pada IT, dan kiblat-
kiblat satra pun ambyar. Fungsi sastra, dan juga peran sastra, perlu dirumuskan
kembali sesuai dengan realitas masyarakat masa kini dan yang akan datang.”

Sumber inspirasi
Dalam bidang pendidikan, menurut Ahmadun, kita masih mengenal enam
fungsi sastra, yang semuanya mengarah pada framing sastra sebagai sumber
inspirasi untuk pembangunan karakter, memperhalus budi pekerti, masyarakat
terpelajar. “Dengan membaca karya sastra diharapkan masyarakat tersentuh rasa
keindahannya, dan terinspirasi untuk melakukan kebaikan sebagaimana
diisyaratkan karya sastra.”

Dengan membaca puisi “Dalam Doaku” karya Sapardi Djoko Damono,
tambahnya, kita terinspirasi untuk selalu mendoakan keselamatan orang yang kita
cintai, minimal lima kali sehari. “Mendoakan orang yang kita cintai adalah
kebaikan sekaligus simbol kesalehan, isyarat kelembutan hati.”

Pembaca yang terinspirasi oleh kebenaran dan kebaikan dalam karya sastra,
menurutnya, cenderung akan berpihak pada kebenaran dan kebaikan dalam
kehidupan sehari-hari. “Tentu saja karya sastra bukan satu-satunya sumber
kebenaran dan kebaikan itu. Ada agama, etika, filsafat, keteladanan keluarga, dan
keteladan sosial dalam masyarakat. Tetapi, sastra menguatkan keteladan itu, dan
diharapkan siswa makin yakin pada kebenaran dan kebaikan itu,” tegasnya.

Sastra era 4.0
Ketika memasuki era 4.0 dewasa ini, tambah Ahmadun, sastra tetap
diharapkan sumbangannya dalam membangun budi pekerti siswa sebagai
generasi milenial. Dalam pengajaran sastra, guru diharapkan berperan secara aktif
dan kreatif, terutama dalam menyiasati media.

3
Di ruang kelas, dan di lingkup sekolah, menurutnya, mungkin kebutuhan
siswa akan sastra bisa dipenuhi melalui buku pelajaran dan perpustakaan sekolah.
Dengan catatan, jika tersedia perpustakaan sekolah yang memadai untuk itu.
Akan tetapi, di luar sekolah, mereka adalah generasi milenial yang cenderung
bebas dalam memanfaat berbagai media berbasis IT. Mereka akan menemukan
karya-karya sastra di luar mainstream yang bertebaran di “ruang kehadiran baru”-
nya: media sosial, blog, web, dan berbagai aplikasi IT. “Mereka mungkin akan
menemukan novel-novel yang seronok di WattPad dan Novelme, serta puisi-puisi
yang tidak puitik di berbagai blog dan facebook,” kata Ahmadun.

Tantangan guru sastra, tambahnya, makin berat karena sistem panutan dan
keteladanan sastra menjadi ambyar. Kiblat sastra, baik kiblat estetik maupun
tematik, cenderung terpecah. “Proses perubahan yang cepat itu menuntut kita
semua, khususnya pengajar sastra, untuk pandai bersiasat, terutama menyiasati
media.” Red: Irwan Kelana

(Telah dimuat di Republika.co.id 13 Januari 2021)

——————————————————————————————–

Keterangan gambar:

Jambi, Sitimang.com – Panggung teater arena-Taman Budaya Jambi pada Jum’at malam (2/7) mendadak dikejutkan dengan raungan gitar yang membuka pertunjukan “sebutir kepala seekor kucing” yang dibawakan Teater AiR.

Sepuluh orang aktor riuh bercerita tentang sidang para penyair karena ada peristiwa pembongkaran kuburan penyair besar yang kadung dimitoskan. Pembongkaran ini terjadi disebabkan akan dikuburny mayat seorang anggota keluarga kepala desa.

Pertunjukan yang disutradarai EM Yogiswara ini mengalir naratif dengan lompatan dialog yang renyah serta sesekali ditingkahi dengan improvivasi dialog yang kekinian yang bertujuan untuk mendekati diri kepada penonton. Hasilnya, berkali-kali suasan riuh penuh tawa muncul dari penonton saat menyaksikan pertunjukan yang diadaptasi dari cerpen karya Ahmadun Yosi Herfanda.

“Kami mencoba menghadirkan akulturasi budaya dalam pertunjukan ini. Selain itu, kami mengajak masyarakat untuk kembali bersikap kritis dan tidak apatis. Apa jadinya bila berfikir tanpa kepala,” ujar EM Yogiswara.

ADVERTISEMENT
Jurnalis senior ini juga menerangkan, pementasan berdurasi sekitar 30 menit itu sebenarnya menggabungkan dua gagasan. Pertama tentang tradisi rembuk seniman serta tentang pengaruh racun ‘teknologi’ yang menjalar hingga ke anak sekolah.

Cerpen sebutir kepala dan seekor kucing merupakan karya sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda yang menggunakan pndekatan stilistika serta memiliki karakter seperti, repetisi, personifikasi, maupun sinonim kata. (Gun)

Related posts

Leave a Comment

19 − 11 =