Pikun
Muhamad Muckhlisin, cerpenis dan esais sastra, tinggal di daerah Bogor, Jawa Barat, pemenang pertama lomba cerpen nasional 2017
Istri Syamsul, Juleka betul-betul naik pitam. Ia mengusir suaminya sepulang dari gardu ronda di perempatan Kampung Jombang. Ia berjalan sempoyongan sambil memaki-maki istrinya, anak perempuan satu-satunya, bahkan memaki-maki seluruh perempuan di permukaan bumi ini. Baginya, perempuan itu makhluk aneh atau makhluk jadi-jadian yang terbuat dari tulang rusuk. Lalu, ia berkata seenaknya bahwa istrinya terbuat dari tulang rusuk anjing.
Putrinya itu bernama Masitoh, cantik dan cerewet. Sikapnya yang temperamental tak lepas dari pembawaan watak dan karakteristik bapak dan ibunya juga.
“Bilang sama Bapakmu itu, emang dia itu siapa? Selalu saja dia katakan bahwa kita ini keturunan Siti Hawa yang tak beda dengan hawa nafsu. Emangnya kelakuan dia mabuk-mabukan di gardu ronda itu bukan didorong oleh hawa nafsu?”
Syamsul menyalakan rokok sambil duduk di kursi sofa. Juleka menatapnya dengan sengit dan garang, yang membuat suaminya merasa gusar dan gelisah.
“Masitoh, buang majalahmu itu ke bak sampah!” Kata Syamsul menoleh ke anaknya, “Bapak muak melihat anak perempuan yang duduk berjam-jam sambil membaca-baca ramalan bintang…”
“Pak, ini nggak ada hubungannya dengan ramalan bintang, Bapak nggak usah teriak-teriak di depan saya!”
Mengenai Masitoh anaknya, ia sangat malas untuk berangkat ke sekolah. Terhitung sejak kepindahan rumah di komplek perumahan Sangat Sederhana, ia sudah seminggu tidak berangkat ke sekolah.
“Kalau di zaman kerajaan dulu, anak perempuan kayak kamu itu sudah dihukum gantung.”
“Bapak yang pantas digantung! Kalau Bapak hidup di negeri-negeri Arab, orang seperti Bapak itu tiap hari kena hukuman cambuk!”
“Sudah, diam kalian berdua!” Teriak Juleka. “Kepala saya pusing dengar suara kalian…!”
“Tuh kan? Kepala Ibumu itu kumat lagi. Pusing lagi. Dan semua sumber kepusingan itu adanya di dalam otak… barangkali Ibumu itu memang sudah pikun….”
“Masitoh, bilang sama Bapakmu itu, dia sendiri yang pikun, dan otaknya sudah miring…”
“Kalau kepala sering pusing, itu artinya sudah pikun… tahu artinya pikun? Itu sama saja dengan linglung atau ayan.”
Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asapnya ke muka istrinya. Ia memutar-mutar gelas di tangannya dan menenggak kopi sekali tenggakan.
“Kalau kencing manis, itu juga sama bahayanya dengan pikun dan linglung. Orang bisa mati mendadak karena gula darah yang tinggi, tahu?”
“Kalau kanker. Bagaimana dengan kanker payudara?” Tanya Syamsul.
Ia merasa sudah mampu menyudutkan istrinya pada perkara kanker itu, lalu ia melirik ke muka anaknya.
“Kanker,” kata Masitoh, “itu masih mending daripada sakit jiwa yang bersumber dari otak.”
“Jadi, kamu menuduh Bapakmu ini sakit jiwa, begitu?”
“Diam! Kamu sendiri tadi menuduh saya pikun dan linglung, iya kan?” Tantang sang istri.
“Berarti kalian berdua yang sakit jiwa! Kalian berdua yang sudah pikun dan lupa ingatan!”
Juleka duduk di kursi, di sebelah anaknya yang sedang membaca majalah. Kemudian, dengan tatapan tajam, ia berkata serius pada suaminya, “Syamsul, kita semua sudah mengerti dan sudah paham, begitu juga Masitoh, Kami sudah memikirkan masak-masak bahwa kamu sebaiknya angkat kaki dari rumah ini. Sekarang juga. Malam ini.”
Seketika sang suami berseloroh, “Bagaimana mungkin kalian berdua bisa berpikir masak-masak. Bukankah kalian berdua sudah pikun?”
“Sudah, pusing saya mendengarnya! Keluar detik ini juga!”
Sebenarnya Syamsul tak ada niatan untuk pergi ke mana pun. Ia menggeser pandangannya dari Juleka ke mangkuk kaca yang berisi sayur asem bekas makan siang tadi. Diraihnya mangkuk itu, lalu ia lemparkan ke lantai dapur hingga pecah berkeping-keping.
Masitoh terperanjat dari kursinya, “Ya ampun, Bapak! Apa-apaan sih?”
Ia berdiri di samping ibunya, sambil menghela napas dalam-dalam.
“Panggil polisi,” kata Juleka, “Telpon polisi, Masitoh, dia sudah bertindak kasar. Ayo telpon polisi sebelum dia menyakiti kita!”.
Mereka berdua mundur keluar dari dapur.
“Baik, sekarang saya mau pergi,” ujar Syamsul. “Memang sepantasnya untuk orang baik-baik harus pergi dari rumah sakit jiwa ini. Ini bukan rumah-tangga tapi rumah sakit jiwa yang menampung orang-orang pikun, orang-orang sableng kayak Ibumu itu! Kalian berdua memang orang edan, linglung yang memang sepantasnya kumpul di rumah sakit jiwa ini!”
“Sudah, cukup! Keluar sana!”
“Baik, saya memang mau keluar. Saya muak tinggal di rumah sakit jiwa ini…”
“Keluar!”
“Ya, saya mau keluar.”
“Bagus.”
Ia terdiam dengan tatapan dongkol, kemudian katanya lagi, “Kalian tahu nggak ciri-ciri rumah sakit jiwa?”
“Apa? Apa?” Tantang istrinya.
“Pertama, pasien perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Kedua, banyak mulut-mulut berduri dan cerewet kayak Ibumu itu!”
Ia menggebrakkan kedua tangannya pada meja, lalu menendang mundur kursi yang didudukinya. Kemudian ia pun bangkit berdiri, dan katanya lagi, “Kalian tidak bakal melihat saya lagi.”
“Kita sudah kenyang melihat muka situ,” cetus istrinya.
“Baik kalau begitu.”
“Ayo cepat pergi. Bukan kamu yang membayar sewa rumah ini…”
“Baik, saya mau pergi.”
“Sekarang!”
“Ya, sekarang, saya mau berangkat…”
“Cepat!”
“Oke, saya mau pamit dari rumah sakit jiwa ini.”
Ia berjalan ke kamar dan mengambil salah satu koper istrinya dari lemari. Sebuah koper warna pink dengan pegangan yang sudah patah. Istrinya dulu memenuhinya dengan jaket dan sweter sewaktu mengikuti acara rekreasi keluarga ke Puncak, saat Masitoh masih balita. Syamsul melempar koper itu ke atas kasur dan mulai memasukkan pakaian dalam, celana kolor, baju, sweter, kaos kaki, dan lain-lain. Sebuah majalah ia masukkan untuk bahan bacaan. Beberapa novel, termasuk novel Pikiran Orang Indonesia yang cover-nya bergambar otak manusia, ia selipkan juga di sisi pakaian, meskipun ia tak pernah serius membaca novel tersebut.
Apa saja ia masukkan, mumpung masih muat dalam koper. Ia mengikat kedua sisi koper itu kuat-kuat. Seketika ia teringat peralatan mandi dan langsung menuju kamar mandi. Ia menemukan tas perlengkapan mandi yang tergantung di kastok. Ia mengamit alat cukur berikut krim busa, sikat gigi dan odolnya. Ia bisa mendengar mereka sedang bisik-bisik di ruang tamu.
Ia bersiap-siap berangkat, tapi kemudian balik lagi ke kamar mandi untuk membasuh muka, memasukkan handuk ke tas perlengkapan mandi. Kemudian ia memasukkan sabun cuci piring dan gelas dari atas wastafel, lalu gunting kuku, mascara dan pengering rambut milik istrinya. Ia tidak bisa memasukkan tas perlengkapan mandinya, tetapi biar sajalah. Ia memisahkannya dari koper. Ia mengenakan jaketnya dan mengangkat koper itu, menuju ruang tamu. Begitu melihatnya, Juleka melingkarkan tangannya ke pundak anaknya Masitoh.
“Baik, saya mau pamit…”
“Tak usah pamit-pamitan, pergi saja,” timpal istrinya.
Ia memandang untuk terakhir kalinya ke sekeliling ruang tamu, kemudian memindah kopernya dari satu tangan ke tangan lain, sambil berkata pada anaknya, “Masitoh, sebaiknya kamu pergi juga dari rumah sakit jiwa ini.”
“Kamu sendiri yang membikin rumah ini menjadi rumah sakit jiwa,” balas istrinya.
Ia menaruh koper dan tas mandinya di atas koper. Ia mengangkat tubuhnya dan memandang wajah mereka. Mereka segera melengos.
“Lihat ke sini… Masitoh, kamu juga lihat ke sini…”
“Apa? Mau apa lagi?” Tanya sang istri ketus.
“Hanya ada dua ciri yang membuat orang itu bisa dikatakan pikun seperti Ibumu itu,” ia menarik napas dan berdehem beberapa kali, dan lanjutnya, “Pertama yang membuat orang pikun itu karena dia lupa ingatan, dan yang kedua…”
Mereka menunggu dalam waktu yang cukup lama, kemudian sang istri bertanya lagi, “Lalu, yang kedua apa?”
“Dan yang kedua…,” ia mengerutkan kening seperti mengingat sesuatu.
“Yang kedua apa?” pancing Masitoh anaknya.
“Yang kedua saya sudah lupa.”
Dan ia pun segera angkat kaki meninggalkan istri dan anaknya. (*)