Sastrawan dan Martabat Karya Sastra
Oleh Irawaty Nusa, cerpenis dan peneliti sejarah
——————————————————————————————
Kita memahami, bahwa dengan keagungan karya sastra, suatu bangsa dan negara mampu menciptakan jembatan yang membawa mereka ke dalam percaturan sejarah, yang bukan semata-mata urusan sandang dan pangan. Tapi yang lebih utama adalah nilai-nilai manusia Indonesia bersama kualitas kemanusiaan, yang meliputi impian dan harapan tentang keadilan, pergaulan hidup yang baik, dan bukan hanya retorika omongan semata.
Karya sastra yang baik niscaya menciptakan ruang dalam tubuh yang membuat seseorang atau suatu masyarakat bisa menerima perbedaan dengan bijak dan rendah-hati. Di situ ada perspektif atau sudut pandang filosofis yang mengungkap nilai-nilai kehidupan manusia. Melalui karya sastra pula, kita dapat menengok dan membaca sistem nilai yang bersifat personal maupun sosial. Di dalamnya ada himpunan atau bunga rampai mengenai impian dan harapan, baik tentang makna kehidupan yang baik maupun buruk, benar maupun salah, bahkan indah maupun jelek.
Membaca karya sastra yang baik, semisal Burung–burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Perasaan Orang Banten (Hafis Azhari) atau Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer), wawasan dan cakrawala kita akan terbuka hingga kita berupaya introspeksi dan berkaca diri, sudah sejauh manakah titian kehidupan kita dapat memenuhi persyaratan akan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Dalam ketiga kandungan itu pula, karya sastra sebagai suatu bentuk akan selalu menjadi ruang bagi penggambaran dan pewartaan sistem bermasyarakat yang baik, yang juga meliputi sistem hukum, agama hingga tata negara yang baik dan berkeadilan. Selain itu, karakteristik sastra yang melampaui batas-batas ruang dan waktu, dengan sendirinya bersifat situasional dan kontekstual. Maka, dunia sastra tak membiarkan dirinya hanya menjadi bantal pelukan dan kasur empuk bagi kaum pengkhayal dan pemimpi. Dia akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang tafsir yang menjadi watak dari karya sastra itu sendiri.
Maka, sejarah dan otokritik dalam kandungan sastra senantiasa inheren. Misalnya dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Di situ sangat kental nuansa sejarah yang senantiasa berpijak di atas bumi, dengan gapaian tentang ruang langit yang bersifat ilahiah. Dalam novel tersebut tercermin juga tegangan dan katarsis, sekaligus protes dan gugatan antara takdir, nasib dan usaha manusia yang fana. Maka dari itu, sastra memiliki dimensi horisontal sekaligus vertikal. Ia juga mengandung makna dan tafsir tentang gapaian keilahian dalam rentang jalan lurus ke ufuk perjumpaan.
Sastra dan perjumpaan dengan yang transenden merupakan fenomena pencarian yang bersinambungan, dan terus-menerus menjadi persoalan bagi kalangan sastrawan dan seniman di dunia manapun. Karena itu, tepat seperti yang dinyatakan penulis Pikiran Orang Indonesia, betapa penting seorang penulis dan sastrawan melakukan riset dan penelitian. Sastrawan harus memahami dan mendalami sejarah sosial bangsanya sendiri, sebelum ia banyak berkutat dalam urusan sosial bangsa di negeri-negeri lain (wong liyan). Mereka harus berusaha melacak tatanan nilai lingkungannya, serta memahami kondisi manusia Indonesia, baik secara psikologis maupun antropologis.
Dengan ini, maka dialog menjadi nilai utama, baik yang bersifat realistis maupun imajinatif. Ruang dialog seakan dipertaruhkan dalam kerangka karya sastra sebagai ikhtiar kaum sastrawan dalam menggapai relung-relung jiwa dan kalbu manusia. Melalui ruang inilah gapaian kepada keilahian selalu menggetarkan, bahkan menciptakan oleng-kemoleng keyakinan karena pertemuan dengan persilangan horisontal, dengan yang bersifat vertikal (ketauhidan).
Meskipun bergelut dengan hal-hal yang bersifat ilahiah, bagaimanapun dunia sastra memiliki citra dan kekhasannya tersendiri. Ia bukanlah kitab suci yang bersifat tekstual, tetapi suatu penafsiran dari makna-makna alamiah (kauniyah) yang diikhtiarkan dari kecerdasan para sastrawan, hingga sanggup membaca dan menangkap apa yang dimaui Tuhan sebagai Sang Pencipta atau Sang Kreator yang sesungguhnya.
Kita mengenal pengakuan sastrawan muslim, Muhamad Iqbal (Pakistan), ketika ia mendalami pemikiran Nietszche (Eropa), keyakinan spiritualnya menjadi terguncang dahsyat. Tetapi, justru lantaran itu ia semakin menemukan keyakinan baru yang lebih kokoh mengakar, sebagai sosok sastrawan dengan pemikirannya yang multidimensional. Iqbal yang cenderung eksklusif, akhirnya menemukan inkusivitasnya, hingga sanggup berdialog dengan berbagai macam keyakinan, sastra dan religiositas, hingga agama-agama dunia.
Dari perspektif lain, jika kita menelusuri dan meresapi karya-karya sastra di era 1940-1950-an, kita dapat menemukan karya-karya sastra yang mengatas indera dan mengatas buana. Masa-masa yang gemilang itu, diperkaya oleh khazanah sastra dan keilmuan dari berbagai arus pemikiran. Pada periode itulah, sastrawan Indonesia telah berhasil menanam benih-benih kehidupan sastra dan pemikiran dalam pertemuan dan pergaulan dialogis.
Dalam rentang waktu dua dekade tersebut, dunia sastra Indonesia begitu apik dan dinamis. Ia tidak terkooptasi oleh faksi-faksi politik yang memekakkan telinga dan kalbu kita. Setelah fase itu, sastra Indonesia terjerembab ke jurang pendangkalan. Bahkan, tidak sedikit sastrawan ikut-ikutan arus politik rezim Orde Baru, bangga menjadi anak-anak emas, serta pamer menjadi onderbouw kekuasaan, dengan segala kepentingan politik, berikut ekonomi yang menyertainya.
Mereka seakan tidak menyadari dirinya tengah terperangkap ke dalam arus pembodohan dan pendangkalan sistem yang diciptakan penguasa, yang dengan lihai dan diam-diam menafikan iklim kebudayaan. Suatu kekuasaan yang merasa yakin bahwa kaum sastrawan hanyalah jenis manusia yang merecoki jalannya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yakni pembentukan manusia satu dimensi yang hanya manut dan nurut kepada kemauan dan kehendak penguasa tunggal semata.
Penguasa Orde Baru pernah menampik bahwa mereka juga telah membuka ruang-ruang dialog. Tetapi, ruang itu bukanlah lahir dari kedalaman yang otentik, melainkan hanya bentukan atau setingan dalam kerangka prasangka-prasangka negatif. Hingga sampai saat ini, benih-benih keburukan yang ditanam itu tercermin jelas dalam ruang-ruang media sosial. Dialog-dialog yang dangkal dan banal, urakan, tidak ilmiah, dan hanya memunculkan kegaduhan dan keributan semata.
Di ruang-ruang media sosial, virus-virus paranoia berbiak dan berkembang luas. Ujung lidah orang Indonesia, sama bengisnya dengan ujung telunjuk main tuding dengan lengking amarah dan caci-maki. Dengan demikian, alangkah wajar dipertanyakan: di manakah martabat kesusastraan kita? Kenapa hanya segelintir saja penulis kita yang sanggup mencerahkan batin dan kalbu, ketimbang mereka yang masih suka kumpul bergerombol, dan main faksi-faksian, seperti di zaman Orde Baru dulu? Di mana letak kekinian dan keindonesiaan kita? (*)
Irawaty Nusa
Cerpenis generasi milenial, peneliti historical memory Indonesia.