SEMALAM SAJA, AKU INGIN TIDUR DI ATAS DURI-DURI MAWAR

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP ______________________________________________________________________

 

SEMALAM SAJA, AKU INGIN TIDUR
DI ATAS DURIDURI MAWAR

malam kian runcing, dingin, tajam, dan sunyi serupa
sebilah belati, o, belati yang kauasah setiap detak
jarum jam setelah pukul tiga dini hari, setiap rongga
dada begitu nyeri, dan sesungguhnya, semalam saja
aku ingin tidur di atas duri-duri mawar– yang
kautanam di halaman hatimu yang penuh cahaya, o
mawar yang duri-durinya tajam tapi tidak melukai
tetapi duri-duri yang justru mengelus penuh cinta, o
penuh cinta, duri-duri yang ujungnya setajam puisi
semanis luka!

dalam lelap tidurku di atas duri-duri mawar, izinkan
aku tidak bermimpi bahagia; di atas papan catur
kehidupan aku tak mau jadi pecundang apa lagi
sampai skakmat, dengan kerendahan hati aku akan
menyusun strategi untuk menang dalam setiap
pertarungan, dan pada kerasnya gemeretak cinta
aku babak belur bermandikan keringat air mata
dan darah– hidup dan cinta yang getir sekaligus
absurd, lalu engkau memelukku begitu erat, dadaku
dan dadamu sama berguncang

: “bangun, tuan penyair, duri-duri mawar ternyata telah
melukai baris-baris puisi jingga hingga berdarah-darah!”

beberapa saat hati-jiwaku kosong
di sana, dalam mimpi itu banyak sekali hikmah yang
belum kuambil….

Jaspinka, 04 September 2021

 

 

TAK ADA YANG HARUS KUKABARKAN
DI HARI ULANG TAHUNKU

selain sunyi, tak ada yang harus kukabarkan
di hari ulang tahunku

: engkau dan aku tak akan lagi berbagi!

nyala lilin
telah padam
tak ada gemuruh gelombang
sepotong senja
retak pecah
angin bukit
turun ke lembah
tanpa aroma
serbuk edelweis
dan kenangan jingga
abadi dalam
labirin dendam
engkau dan aku tak akan lagi
berbagi!
selain sunyi, weisku, tak akan ada lagi puisi
gugur
dari jiwa perihku.

Jaspinka, 31 Agustus 2021

 

 

PEREMPUAN YANG TELAPAK TANGANNYA
MEMANCARKAN PERCIKAN CAHAYA

antara percaya dan tidak, perempuan beraroma surga itu
takjub terkesima; setiap memasukkan kedua tangannya ke
dalam mukena, dari telapak tangannya memancarkan
percikan-percikan cahaya, ia pun berhenti zikir– air mata
bahagia menggenang, alir darahnya mawar mekar, degup
jantungnya ayat-ayat suci, … ia telusuri seluruh ruang dan
berhenti di rak buku, jam dinding berdendang tiga kali
malam dingin alangkah senyap, di antara deretan buku
ia temukan majalah sastra: horison, edisi terakhir– ia ingat
seorang penyair yang jauh di seberang pulau, yang tergila-
gila pada seorang perempuan yang dari telapak tangannya
memancarkan percikan-percikan cahaya, o, seorang penyair
yang telah lama mengaguminya, seorang penyair yang selalu
memintal kata-kata di selat nusakambangan di atas bongkah-
bongkah karang, ia baca baris-baris puisi di majalah itu: kau
nyalakan api dari dadamu, ia berpesta airmata dengan sangat
indahnya, engkau tahu tidaklah ada yang abadi di dunia ini
selain puisi, puisi yang retak dalam otak, cahaya yang
gemerlap di atas bukit, nueiku mohon engkau jangan
berlindung di rimbun edelweis, kalian tidak tahu menjelang
malam bulan sabit aku tersenyum dalam ritme zikir,
perempuan yang di dadanya menggantung busur dan selalu
menggenggam ujung mata panah dengan telapak tangan, aku
elus lukaku menyingkirlah kalau engkau tak ingin merasakan
perihnya! ia tersenyum tipis, betapa cinta tidak harus bersatu
cinta tidak pernah dusta; selirih apa pun suara hati, laut dalam
diri menggelorakan gelombang…

Jaspinka, 26 Agustus 2021

 

 

IA MERASA PALING GETIR DAN HINA

tiba-tiba ia merasa paling getir dan hina dalam hidupnya
sudah bertahun-tahun memetik kata-kata selalu saja gagal
hingga detik ini belum tuntas satu puisi berkualitas ditulisnya
ia gugur jadi penyair
ia tersungkur di jalan terjal
ia melihat kawan-kawannya
jalannya lempang
sukses menjadi ASN, pengusaha, atau petani yang bahagia
waktu bagai menyilet tubuhnya
ia berlari ke ujung selat, naik ke atas
biduk– dikayuhnya ke tengah laut
o, biduk dilambung-lambung gelombang
matahari bagai merendah ke permukaan laut, ia menjerit;
sebilah anak panah menembus tipis dada: “tuhan, biarkan
biduk ini membelah selat ke geronggang karang, ke tempat
paling mendebarkan untuk merenungkan kegagalan dan
pahit-getir hidup!”
biduk itu terus dilambung-lambung gelombang, ia merasa
paling getir dan hina, ia melihat kawan-kawannya di kejauhan—
di kota pelabuhan tengah asyik berjoget dan berdendang

; “bertarung teruslah, segetir-sehina apa pun!”

matahari jatuh ke laut
ia kian merasa paling getir dan hina
laut putih berkilat-kilat!

dengan jiwa menyala ia masuk ke dalam geronggang karang
mulutnya terus berdesis-desis: “tuhan, beri aku sepotong cahaya
dari hati-Mu yang paling memabukkan!”

tangannya gemetar memegang pendayung, biduk membentur-
bentur dinding karang….

Jaspinka, 23 Agustus 2021

 

 

Eddy Pranata PNP— adalah Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajaksajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021)
—————————————————————————————————-

Related posts

Leave a Comment

9 + 4 =