Kebiasaan Lokal Jadi Tantangan Literasi
JAKARTA (litera) — Kebiasaan-kebiasaan lokal yang telah berakar pada masyarakat menjadi tantangan yang tak mudah diretas oleh para pegiat literasi. Demikian benang merah yang mengemuka dalam Sadaring #6 Satupena bertajuk Suara-Suara dari Lumbung Literasi, pada Minggu, 31 Oktober 2021, yang dilakukan secara virtual.
Sebagai contoh kebiasaan lokal itu, sebut siaran pers Satupena, adalah menikah dini, yang masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kebiasaan ini memerlukan penanganan khusus, agar tidak menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.
Sadaring Satupena, menurut Ketua Presidium Satupena Bidang Pengembangan Sumber Daya Imelda Akmal, adalah akronim dari “sarasehan dalam jaringan”. Sedaring diadakan secara rutin dihelat oleh Satupena sejak bulan Agustus 2021 lalu.
Sadaring #6 Satupena antara lain diikuti oleh peserta dari Selandia Baru, Malaysia, Manado, Balige, Denpasar, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta, serta berbagai daerah Indonesia. Tampil sebagai pembicara Ama Achmad, pegiat komunitas Babasal Mombasa (Sulawesi Tengah), Debby Loekito Goeyardi, kurator buku anak (Denpasar), dan Iffah Hannah pendiri Komunitas Perempuan Membaca (Sumenep-Madura). Sadaring dipandu oleh jurnalis dan penulis Deasy Tirayoh.
Menurut Iffah, beberapa kebiasaan di Sumenep, Madura, menjadi tantangan besar dalam menggulir program-program literasi berbasis pemberdayaan masyarakat. Kebiasaan seperti menikah dini, tidak percaya pada kemampuan medis, dan urbanisasi menyebabkan desa terlalu pelan dalam mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang. “Kalau sudah lepas ngaji misalnya sudah dianggap pantas untuk menikah,” kata Iffah.
Bahkan, tambahnya, beberapa orangtua telah menjodohkan anak-anak mereka sejak dalam kandungan. Kalau sudah demikian, praktis anak-anak remaja putus sekolah paling tinggi SMA. Kalau “selamat” dari jebakan menikah dini, biasanya para remajanya pergi ke kota dan menjadi penjaga toko sembako. “Pengusaha sembakonya orang-orang Madura yang sukses di Jakarta. Jadi desa kehilangan generasi produktifnya,” ujar Iffah.
Selain mendirikan perpustakaan di masing-masing rumah para anggota Komunitas Perempuan Membaca, secara pribadi Iffah bersama suaminya menginisiasi pembuatan batik ikat celup. “Intinya memberikan peluang kepada warga desa untuk berperan mengembangkan kerajinan. Ini bisa menahan mereka untuk urbanisasi,” katanya. Bahkan, dalam cita-citanya Iffah ingin mendirikan Mahat Ati, lembaga pendidikan setingkat sarjana di lingkup pesantren untuk menjaring anak-anak di desanya. “Ini kan cita-cita bersama suami. Berharap Mahat Ati memberi pendidikan murah, sehingga mereka lebih terpapar literasi,” tutur Iffah.
Investasi literasi
Pegiat literasi dan kurator buku anak Debby Loekito Goeyardi mengatakan literasi dini yang dia kelola melalui Yayasan Kanaditya Denpasar, diharapkan mejadi investasi literasi bagi generasi penerus bangsa. “Literasi itu kan bisa dimulai dari dalam kandungan lewat para ibu kemudian berlanjut kepada anak-anak sampai usia 18 tahun,” katanya. Debby dan kawan-kawan bersitekun menggalang literasi bagi anak-anak buruh suwun (buruh sunggi belanjaan) di pasar-pasar di kota Denpasar.
“Umunya anak-anak ini juga bekerja dengan ibunya dan mereka sebagian besar tidak bisa baca dan tulis,” katanya. Selain mengajar membaca dan menulis, memasok buku-buku bacaan, Debby juga menggelar aneka perlombaan sebagai keluaran dari gerakan literasi yang dia gemakan.
“Belakangan yayasan bahkan juga menangani advokasi bagi para ibu dan anak korban KDRT. Jadi literasi itu tak sekadar baca tulis,” tutur Debby yang aktif membangun juga mengobarkan literasi di Nusa Tenggara Timur.
Ketiga pembicara dalam Sadaring Satupena itu sepakat bahwa sikap kesukarelawanan menjadi jantung gerakan literasi. “Bahkan ibaratnya hanya dengan nasi bungkus saja kita terus bergerak,” kata Ama. Nasi bungkus juga yang menjadi modal dasar gelaran Festival Sastara Banggai, yang mulai dihelat sejak tahun 2017. “Artinya semua bermodal sukarela, tetapi dengan jejaring kami bisa mendapatkan donasi dari berbagai pihak,” tambah Ama.
Kekuatan jejaring itu, tambah Iffah, telah terbukti cukup efektif membawa novel karya seorang santri berjudul Hati Suhita (Khilma Anis) menjadi buku best seller. “Kalau enggak salah sekarang sudah dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Novel ini diterbitkan oleh penulisnya sendiri dan dipasarkan lewat jejaring perempuan santri seperti Komunitas Perempuan Membaca,” kata Iffah.
Menurut Iffah, kekuatan jejaring telah menjadi pendukung utama sikap kerelawanan dalam menggalang literasi di berbagai daerah di Nusantara. Sadaring seperti yang dilakukan Satupena, tambahnya, juga menjadi simpul penting bagi gerakan literasi yang selama ini sudah berjalan di daerah-daerah.
Imelda Akmal mengatakan sebagai organisasi para penulis profesional, Satupena akan terus menggalang sadaring setiap dua pekan sekali untuk semakin menguatkan jejaring antar komunitas. “Satupena itu seperti simpul saja. Di sini berkumpul banyak penulis hebat. Kita bangun jaringan antara penulis, korporasi, pemerintah, dan para penggerak literasi di daerah. Ini bisa mempercepat melek literasi dalam berbagai bidang di Indonesia,” katanya. @ rls