CERPEN 

Cinta sang Penyair dan Bunga Desa

Cerpen: Wahyu Arshaka __________________________________________________________________

Keadaan desa Sinar Jaya kini sudah tak lagi dibilang udik. Tidak ada lagi rumah yang berdinding bilik, semuanya sudah menggunakan bata dengan atap genteng. Kisah rumah berdinding bilik, beratap jerami, dan beralaskan tanah itu hanya tinggal sejarah, yang tersimpan rapi dalam kenangan warga desa, yang kini bisa berbangga, dapat menikmati kemajuan zaman.
Dua mini market yang selalu berdekatan, seperti sepasang kekasih yang sulit dipisahkan, hadir juga di prapatan desa, berdiri berhadap-hadapan hanya dipisahkan jalan yang beraspal mulus. Toko-toko besar yang jual grosiran ada juga, yang dimiliki orang-orang kaya di desa Sinar Jaya. Warung-warung franchise ayam goreng, aneka jus, dan kopi hingga baso ikut menghiasi suasana desa.
Sawah masih luas membentang, tapi hanya sebagian penduduk yang memilih jadi petani, tepatnya buruh tani, karena sawah sudah dimiliki orang-orang kota. Meskipun ada orang kaya yang bertani, itu hanya sebatas petani penggarap, yang hasil panennya harus dibagi dua sama pemilik. Sedangkan untuk buruh tani, hanya dapat bayaran dari petani penggarap nanti saat penen tiba, sebesar sepuluh persen dari hasil menuai padi.
Para buruh tani usianya sudah pada tua, hanya ada beberapa orang anak muda yang menganggur, yang mau bantu bapaknya. Sedangkan yang jadi petani penggarap hanya sekadar usaha sampingan, umumnya mereka punya pekerjaan utama, berwiraswasta, pegawai negeri atau karyawan, yang memiliki uang untuk modal menanam padi.
Ekonomi desa mulai berubah semenjak pabrik-pabrik bermunculan di kota, anak-anak muda desa berlomba-lomba menjadi buruh yang penghasilannya menggiurkan, maka jangan heran kalau melihat mereka memiliki motor bagus bahkan mobil sedan Brio. Kaum ibu dan anak gadis ada juga yang menjadi TKW ke Arab Sudi atau Hongkong, ini pun menghasilkan uang yang banyak untuk dikirim ke kampung.
Sedangkan anak-anak muda preman, mereka memilih jadi anggota ormas dan mereka dapat pekerjaan dengan menguasai lahan parkir di mini market, puskesmas atau lahan parkir musiman bila ada hajatan. Tidak hanya itu, uang keamanan pun mereka minta dari mini market, toko-toko bahkan penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan. Bahkan bila ada sekolah, puskesmas atau rumah warga di perumahan melakukan renovasi bangunan, meraka pun tak sungkan meminta “uang koordinasi”. Begitu juga bila ormasnya dapat proyek besar, seperti dapat limbah ekonomi dari pabrik, mereka pasti juga ikut menikmati dan pesta minuman pun mereka adakan di warung remang-remang di pinggir pantai.
Tapi ada satu anak muda yang tidak larut berjuang menjadi buruh atau anggota ormas, dia memilih menjadi penyair, namanya Kresto. Sajak-sajaknya ada yang dimuat koran ada juga yang ditolak, honornya tidak seberapa bila dibandingkan upah buruh pabrik, bahkan ada juga yang tidak berhonor, karena itu untuk menambah penghasilan dia beternak bebek. Di saat mengangon bebek itulah dia sering terlihat duduk di bawah pohon sambil menulis sajak-sajaknya atau membaca buku.
“Dasar anak muda pemalas, kerjanya hanya menulis sajak dan membaca padahal menghasilkan uang pun tidak!” Nyinyir seseorang yang melintas di pematang sawah.
Kresto tak pernah menanggapi nyinyiran semacam itu, dia sudah biasa mengalaminya. Dia paham yang dinilai masyarakat desa adalah uang, bukan pekerjaannya. Mau jadi pelacur, koruptor atau tukang palak, tetap akan dihormati apabila uangnya berlimpah. Mereka hanya paham pada makna uang, memahami sajak terlalu berat buat mereka. Maka Kresto santai saja, merasa jadi binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya.
Tapi Jayanti jatuh cinta pada Kresto, gadis paling cantik di desa Sinar Jaya itu memilih melabuhkan cintanya pada pemuda yang lusuh. Ini membuat seluruh desa gempar, mereka tidak terima primadona desa harus jatuh cinta pada penyair yang dianggapnya tak bernilai. Para anak muda buruh pabrik dan anggota ormas pun tak bisa menerima kenyataan pahit ini, kalah bersaing dengan pemuda yang bermodal merangkai kata.
Pak Dirga, ayah Jayanti juga tidak terima anaknya harus jatuh cinta pada Kresto. Harapannya, Jayanti dengan modal paras cantik, nantinya dapat suami yang sudah mapan. Nyatanya malah kepincut pada laki-laki yang jauh dari harapannya. Tak hanya kecemasan akan masa depan anaknya, namun ia juga memikul rasa malu.
“Anakmu itu cantik, loh kok bisa mau sama si Kresto yang suram masa depannya, lebih baik buat saya aja, jadi istri ketiga!” Ungkap Gezok, pemimpin ormas untuk desa Jaya Sakti, tetangga desa Sinar Jaya.
“Saya ini buruh pabrik, sudah karyawan tetap, punya mobil Brio, punya rumah, kalau Jayanti mau sama saya, Bapak bisa saya ongkosin naik haji!” Ucap Sobirin pada lain waktu saat ketemu di masjid.
“Lah kok sampean, mau-maunya ngasih anak cantik sama si Kresto, saya yang janda aja nggak mau sama dia!” Mbak Tunik penjual sayur dari desa sebelah ikut komentar juga.
Akhirnya, karena semua orang yang ketemu dengannya, menanyakan soal Jayanti dan Kresto, akhirnya Pak Dirga, memilih tinggal di rumah sambil saban hari menasihati Jayanti agar bisa pindah ke lain hati. Tapi tetap hati Jayanti tak mudah digoyahkan, cintanya pada Kresto sudah terlalu dalam, hingga nalarnya tak bisa menerima akan kalkulasi hidup di masa depan.
******
Tapi pada malam itu, Pak Dirga meminta Kresto untuk datang ke rumah.
“Ayah serius! Mau apa?” Tanya Jayanti sedikit ragu.
“Ya serius, kalau dia sungguh-sungguh mencintai kamu, suruh datang sekarang jam sebelas, Ayah ingin bicara sama dia!”
“Kok malam amat, Yah?”
“Kalau masih sore, takut anak-anak ormas tahu, nanti bisa repot, takut ada keributan, mereka kan pada naksir kamu juga!”
Jayanti pun mengerti, maka dia dengan girang bergegas masuk kamar dan langsung
menghubungi Kresto lewat telepon genggamnya. Jayanti merasa ayahnya akhirnya berubah pikiran juga, membuka hati untuk menerima Kresto menjadi calon menantunya. Dengan senyum-senyum dia membayangkan sebentar lagi akan menjadi pengantin, bersanding bersama sang penyair.
Kresto pun tak kalah bahagianya, dia mengayuh sepeda ontelnya sambil bersenandung sepanjang jalan. Tak peduli malam begitu pekat, melewati kebun dan pemakaman yang menyebarkan aroma kemenyan dari dupa yang ada di atas kuburan baru. Dia pun membayangkan sebentar lagi menjadi pengantin, bersanding bersama Jayanti, bidadari pilihan hatinya.
Setiba di rumah Pak Dirga, Kresto terdengar mengucap salam dan Jayanti pun bergegas menuju pintu depan. Lantas mereka pun bertemu dan sambil melepas senyum bahagianya. Kemudian Kresto duduk di ruang tamu dengan debar jantung yang terasa cepat, ia merasa grogi juga bertemu dengan calon mertua, sedangkan Jayanti mencari ayahnya.
Namun setelah seluruh ruangan rumah dijelajahi, ayah dan ibunya tidak diketemukan, entah kemana perginya mereka pada malam yang sudah larut ini. Lantas Jayanti pun berusaha menguhubunginya dengan telepon genggamnya dan terdengarlah bunyi suara telepon dari kamar, coba ditelepon ibunya, namun sama juga. Telepon mereka tinggalkan di dalam kamar.
Kala tertegun, Jayanti dikejutkan suara gaduh dari arah depan, berlari dia menghampiri. Dilihatnya Kresto diseret orang beramai-ramai hingga ke halaman. Lalu dipukuli bertubi-tubi hingga terkapar bersimbah darah. Jayanti hanya bisa menatap nyalang pada pemuda-pemuda kampung yang beringas memukuli Kresto, pemuda-pemuda yang dianggap lebih terhormat oleh orang-orang kampung dibanding Kresto.
Jayanti memeluk Kresto yang sudah tidak bergerak, sementara di sudut gelap Pak Dirga melihatnya sambil menyilang tangan di dada. Istrinya hanya bisa tertegun dengan kaki gemetar.
“Tuh lihat Bu, kelakuan si Kresto terbongkar juga, kita nggak ada dia menyelinap masuk ke rumah kita padahal sudah larut malam, waktu terlarang untuk mengunjungi rumah anak perempuan. Untung pemuda-pemuda itu sigap juga, kalau tidak bisa dinodainya anak kita!” Ujar Pak Dirga.
Istrinya malah semakin gemetar hingga tak kuat berdiri, lalu ambruk tak sadarkan diri.
******

Wahyu Arshaka, seorang guru di SD Islam Terpadu, cerpen-cerpennya dipublikasikan di media cetak dan online, tinggal dan bergiat di Karawang.

Related posts

Leave a Comment

thirteen − 4 =