Jalan Pulang
Cerpen: Firman Fadilah
__________________________________________________________________
Bulan bulat sempurna pada malam kepulanganku. Sinarnya yang terang sedikit melegakan kerisauan, cemas bercampur amarah di dadaku. Aku yang sering ngotot kepada adik iparku untuk selalu memberi kabar jika terjadi sesuatu kepada istriku, Tania, di tengah kehamilannya yang sudah memasuki bulan terakhir, tak begitu diindahkannya. Dianggapnya kecemasanku ini adalah main-main. “Ah, tenang saja. Tidak usah berlebihan. Ada aku dan Ibu yang menjaga istrimu. Meski cerewet dan suka bikin kesel, dia tetap Kakaku.” Kuingat kata-kata terakhirnya itu dengan mencebik kesal.
Aku tidak bersikap berlebihan dan tidak ada kata-kata berlebihan ketika sedang khawatir akan keselamatan orang yang disayangi. Aku hanya ingin menjadi seorang suami yang baik baginya, kepala keluarga yang bisa melindungi keluarga kecil dengan tanganku sendiri. Terlebih, saat ini, dua raga kami saling berjauhan. Gelisah selalu timbul tenggelam di dadaku dan belum akan merasa lega sebelum sampai untuk merengkuh raganya.
Kata artikel, ibu hamil sangat rentan terkena gangguan psikologis yang disebut stres dan itu tidak boleh terjadi sebab bisa mengganggu kesehatan janin yang dikandungnya. Ibu hamil tidak boleh terlalu kecapekan, tidak boleh mengangkat beban yang berat, dan harus terus terjaga asupan nutrisinya. Ibu hamil juga tidak boleh overthinking. Itu yang membuatku risau sebab aku tidak ada di sampingnya.
Sore tadi, kabar bahagia melayang dari adik iparku, Tania melahirkan. Senang dan bahagia perasaanku, tetapi juga ada kesal di hati, kenapa beritanya mendadak sekali? Kata dokter, kelahiran diperkirakan tujuh hari lagi. Akan tetapi, belum sempat kabar itu dingin, istriku dikabarkan melahirkan. Aku tak habis-habisnya mencaci. “Nggak usah dramatis! Cepat pulang! Anak ini perlu diazani!” ucap adik iparku sinis di seberang pulau.
Sore itu juga kupesan keberangkatan dengan bis antar kota Jakarta-Lampung. Kutinggalkan seminar yang sedang berlangsung dan kupinta rekan kerjaku untuk menggantikan posisiku. Kubayangkan pucat wajah istriku ketika sedang mengejan, mengeluarkan wujud manusia baru dari celah lubang kecil di antara kedua pahanya. Aku meringis merasakan betapa itu sangat sakit. Jika saja perkiraan dokter itu benar, saat ini aku sudah berada di samping istriku. Aku akan sudah mengelap air mata dan keringat bahagianya.
Jika tidak macet, aku akan sampai dalam tujuh jam perjalanan. Aku duduk di samping jendela, memandang keluar langit malam yang samar. Aku harus menanggung kesal lagi menunggu penumpang lainnya memasuki bis. Untuk ukuran orang-orang Indonesia, tepat waktu sepertinya mustahil. Beberapa menit kemudian, mesin bis menderu. Ban-ban besar itu siap menggelinding, menyusuri aspal yang panjangnya ratusan kilometer.
Bis berangkat pukul tujuh malam. Seluruh penumpang bis dibuat kesal ketika seorang lelaki, penumpang terakhir, masuk tanpa adanya rasa bersalah sama sekali. Waktu terbuang percuma menunggunya. Aku lemparkan wajahku mengarah ke bulan bulat yang cahayanya jatuh menimpa gedung-gedung pencakar langit.
Lelaki itu semena-mena duduk di sampingku. Aku yang suka ketenangan merasa terusik. Terlebih, wajahnya yang ditutupi hoodie hitam dan masker, tampak tidak jelas, buram, hanya menyembul sedikit garis matanya yang tegas, membuat sinyal waspada pada naluriah manusiaku bangkit. Bisa saja dia seorang penjahat; perampok, penyamun, pencuri, atau teroris. Aku meremas tasku erat-erat. Kuperhatikan tatapannya, tatapan yang seolah tidak asing bagiku.
Lelaki itu memberikan satu ikat mawar segar dan aku dibuatnya mematung bingung. “Apa ini?” Kulihat ada kartu ucapan di dalam buket mawar itu. Saat itu juga dia menampakkan wajahnya, melepas masker dan hoodie, secara buru-buru dan aku tak membutuhkan waktu lama untuk mengenalinya. “Gleo!” pekikku.
Bis melaju pelan dan Gleo tergopoh-gopoh keluar dari bis. Ia datang hanya untuk memberikan mawar ini. Pertemuan yang singkat. Takdir punya caranya sendiri untuk memisahkan dan menyatukan seseorang. Pertemuan yang singkat itu membuat kepala ini merangkai kembali perca-perca ingatan masa lalu. Ingatan yang telah kutenggelamkan jauh ke dasar hatiku dan tak berniat untuk mengulas kembali antara aku, Tania, dan Gleo, ternyata muncul lagi. Sial! Andai saja ingatan datang hanya pada saat dibutuhkan saja sebab yang datang selalu ingatan tentang pedih.
***
Aku dan Tania, sama-sama seorang perantau yang bekerja di perusahaan periklanan. Dalam sebuah pekerjaan, antara karyawan harus dituntut untuk memiliki sebuah ikatan, kerjasama yang kuat, supaya tujuan perusahaan tercapai. Kami bekerja selayaknya karyawan lain. Berangkat pagi pulang sore. Begitu terus terulang setiap hari. Namun, sebab aku dan Tania bekerja di divisi yang sama, ikatan itu lama-lama menjadi buih-buih perasaan cinta.
Siapa yang bisa menyalahkan cinta? Ia datang begitu saja tanpa adanya alasan. Hidupku selama berbulan-bulan harus menanggung rasa suka tanpa berani mengajaknya kencan. Aku malu mengingat diriku yang pengecut. Jika ada waktu luang, kami biasa jalan berdua, melepas penat di sebuah kafe yang jauh di sudut kota. Lumayan sepi untuk berdua. Lumayan tepat untuk meluapkan perasaan.
Agaknya kebersamaan itu hanya dianggapnya tak lebih dari sekadar ikatan rekan kerja dan persahabatan. Sungguh kata-kata klise ketika seorang wanita hendak menolak seorang lelaki. Yang lebih menyakitkan dan menusuk lagi adalah ketika kutahu Tania sudah memiliki pacar. Pupus harapan dan perasaan sakit tersangkut di hatiku.
Aku pelan-pelan menjauh dari hidupnya. Aku tak mau mengganggu kisah cinta mereka. Namun, entah bagaimana Tuhan membangun perasaan cinta yang begitu megah untuk Tania di hati ini. Aku seolah tak mau kehilangan rekam jejak mereka. Aku sudah seperti mata-mata yang ke mana-mana harus mengintai kegiatan mereka, apa yang mereka lakukan, dan ke mana mereka akan pergi.
Di kota metropolitan ini, apa pun bisa terjadi. Yang tidak ada mendadak jadi ada dan yang ada bisa hilang selamanya. Begitu sikap seseorang. Di hadapan seseorang bisa sangat baik dan di belakang bisa sangat menusuk. Aku hanya ingin memastikan bahwa Tania telah menemukan lelaki yang tepat. Aku tidak rela jika seseorang menyakitinya.
Kelak kutahu lelaki itu bernama Gleo. Aku mencoba untuk tidak stereotip ketika melihat tato yang rata memenuhi lengan kirinya. Kususuri akun Facebooknya. Foto-foto dan kegiatannya tidak ada yang aneh. Ia lelaki normal seperti pada umumnya orang-orang. Hingga akhirnya, aku mendengar kabar burung tentang perangai Gleo yang sebenarnya dari rekan kerjaku, Herman.
“Dia itu telah beristri di kampung. Memang begitulah dia, suka gonta-ganti pasangan. Dulu dia pernah tertangkap saat sedang sakau di kontrakannya.”
Amarahku muntab, dadaku panas, dan darah berdesir memenuhi urat-urat seketika mendengar itu. Ingin rasanya melayangkan jotos ke pipinya jika suatu hal buruk terjadi kepada Tania.
Pada siang yang lengang, kubicarakan hal itu baik-baik kepada Tania. Empat mata saja pada jam makan siang. Nahas, Tania tidak memercayai perangai buruk kekasihnya. Ia menyela perkataan dengan membubuhkan kata-kata dan janji manis dari Gleo. Ia percaya bahwa Gleo lelaki yang baik, lebih baik dariku. Aku makin kekeh untuk meyakinkan Tania, tetapi ia sekonyong-konyong menggebrak meja dan meninggalkan percakapan yang belum usai.
Sejak saat itu, kami jarang bertutur sapa. Memandang pun jarang, hanya jika ada keperluan perusahaan saja. Seolah ada dinding pembatas ribuan meter antara aku dan Tania. Aku memutuskan untuk menjauh darinya, meski kerap bayang-bayang kenangan masih kuingat. Aku merindukan keakraban yang seperti dulu, dua anak perantauan yang salah satunya memendam cinta.
Aku merasa sangat kehilangan sebab beberapa minggu setelah kejadian itu Tania tidak masuk kerja hingga lima hari lamanya. Nomor teleponnya tidak aktif. Facebooknya yang biasa digunakan untuk mengumbar kemesraan juga tidak aktif. Aku merasa cemas. Kutanyakan pada rekan perempuannya, katanya, Tania sudah mengundurkan diri. Aku terkesiap sebab berita itu mendadak membuat hatiku terasa amat kosong.
Namun, di perjalanan pulang, pada malam yang gerimis, aku menangkap sesosok perempuan berjaket tebal sedang berdiri di bibir jembatan. Ia menatap aliran sungai tanpa keraguan. Sontak aku lari lintang pukang, kutarik tubuhnya ketika seorang anak kecil di kedai seberang jalan berteriak, “Lompat! Lompat! Lompat!” Ia menangis sejadi-jadinya sambil memukul dadaku. Tanpa butuh waktu lama untuk menyadari bahwa perempuan yang hendak bunuh diri itu adalah Tania. “Apa kamu sudah gila?!” Bentakku.
“Kamu benar, Mas. Gleo bukanlah lelaki baik. Dia memaksaku untuk melayaninya dan….”
“Cukup, Tania!”
“Aku ingin bunuh diri saja. Aku ingin mati bersama janin ini!”
Gerimis menjelma hujan. Suara-suara redam oleh riak air hujan bercampur angin kencang malam itu. Kubawa Tania ke rumah temannya.
Kecemasan demi kecemasan merambat di wajah Tania. Perutnya makin membesar. Hampir setiap hari ia selalu menangis. Apa yang harus dikatakan kepada ibu dan ayahnya? Anaknya yang jauh merantau, kini telah berbadan dua. Sementara Gleo si keparat itu entah di mana. Percobaan bunuh diri berkali-kali dilakukan Tania dan beruntung hal itu cepat diketahui.
Aku bimbang. Aku harus berbuat apa? Aku sungguh tak tega melihat Tania dan janinnya yang butuh seorang ayah untuk menjaga mereka kini meringkuk dalam kemuraman. Aku tak henti-hentinya berdoa agar lekas diberi jalan ke luar supaya luka itu tak makin tumbuh. Terlebih, tetangga mulai membicarakan perkara itu. Sebelum Tania makin frustasi, aku telah mengambil keputusan yang bulat. Aku yang akan bertanggung jawab.
Segera kuhubungi Ibu di kampung tentang pernikahan yang mendadak ini. Ia senang bukan main. Namun, suaranya lirih ketika ia tahu bahwa calon menantunya telah berbadan dua, dengan lelaki lain pula. Ia menarik restunya. Terdengar tangisnya pecah dari telepon. Aku pasrahkan semua kepada yang maha segala maha. Aku sebut nama Ibu dalam doaku supaya dilunakkan hatinya, supaya ia merestui pernikahan ini.
Lama tidak berkabar. Cintaku terhalang restu. Seketika aku teringat almarhum Ayah. Bagaimana ini, Ayah? Apa yang harus dilakukan oleh anakmu ini? Sejurus kemudian, aku menghubungi Ibu lagi. Kali ini, kata-kata yang diucapkannya dipenuhi nada-nada kepasrahan. Barangkali ia tak tega melihat anaknya yang sudah hampir berkepala empat ini masih melajang. “Apa-apa yang kau anggap baik, Ibu akan selalu di sampingmu, Nak.”
Tanpa menunggu lama, pernikahan segera digelar secara sederhana dengan mas kawin tasbih, tanpa lamaran, tanpa seserahan. Tidak ada pesta. Yang hadir hanya keluarga kecilku dan beberapa anggota dari keluarga Tania. Beberapa tak hadir sebab tak mau ikut menanggung malu. Ada perasaan lega yang luruh di benakku. Tania tak henti-hentinya merutuki kebodohannya telah memilih lelaki yang salah dan meninggalkan seorang lelaki yang baik. Namun, toh, aku sudah ada di sampingnya.
Kupinta Tania untuk tinggal di kampung supaya enyah kenangan buruk tentang kekasihnya, tentang kisah cinta yang berantakan. Adiknyalah yang kuberikan mandat untuk menjaga Tania dua puluh empat jam. Aku tidak ingin kebodohannya itu terulang lagi sebab aku terlampau mencintai Tania.
…
Aku sampai di terminal pukul lima subuh. Adik iparku telah menunggu. Kantung matanya menggantung, rambut berantakan, dan muka yang telah sayu menyambut kedatanganku dengan mimik yang sengaja disegar-segarkan. Ia menawarkan untuk singgah di rumah selepas perjalanan panjang, tetapi aku ingin langsung ke rumah sakit, menjenguk Tania dan bayinya.
Ibuku dan kedua mertuaku tampak duduk di kursi tunggu. Langkahku sedikit berlari menuju ruang persalinan. Mereka bangkit dari duduknya untuk menyambut kedatangan secara basa-basi. Aku melihat Tania yang sedang terbaring lemas sehabis pertarungan antara hidup dan mati dengan bayi di sampingnya. “Sudah diazani sama ayah,” ucap adik iparku, mencoba menjawab kerisauan yang timbul di wajahku.
Tania menyambut dengan senyuman yang lemah. Kuremas dan cium punggung tangannya, lalu pipi dan dahi. Mataku terasa sebak. Sementara ujung mata Tania menilik buket bunga yang kugenggam. Sedikit layu.
“Bunga itu cantik sekali,” tutur Tania lembut.
Kurenggangkan dua pasang ikatan tangan yang semula saling menyatu. Tangan Tania terasa dingin.
“Oh, itu tadi ada titipan,” Aroma wangi mawar berbaur dengan bau pekat obat. Kuedarkan mataku yang berembun, menatap matahari yang mulai menyemburkan cahaya di kejauhan. Dadaku bergemuruh dan perasaan tak tentu seketika bercampur jadi satu. “Dari Gleo.”[]
Tanggamus, 02 Juli 2021
Firman Fadilah. Tinggal di Lampung. Karya-karyanya termuat di Radar Kediri, Radar Madiun, Radar Malang, Minggu Pagi, Bhirawa, Lampung News, langgampustaka.com, sukusastra.com, Majalah digital elipsis, Tanjung Pinang Pos, Suara Banyumas, Harian BFox, Magrib.id, Kawaca.com, dan berbagai buku antologi. Buku cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2021).