CERPEN 

Kiai Sepuh

Cerpen Muhtadi ZL ______________________________________________________________________

Setiap pulang dari dhalem Kiai Sepuh, wajah Rakmin selalu tampak murung. Pikirannya kerap bingung dengan pertimbangan Kiai Sepuh. Karena ketika menuturkan pembaharuan desa, tidak jarang Kiai Sepuh menolak mentah-mentah. Apesnya lagi, saat dimusyawarahkan dengan perangkat desa yang lain, dirinya dihujani hujatan. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa supaya desa yang ia pimpin bisa sejahtera.

“Tidak setuju lagi,” hampir serentak perangkat desa mengucapkan ketika musyawarah.

Rakmin hanya pura-pura bersikap tegar, “Benar, Kiai Sepuh tidak setuju, beliau takut jika dilanjutkan, musibah besar akan menimpa desa ini,” ujar Rakmin setelah peserta musyawarah hening berfikir sendiri.

Di ruangan rapat, kegelisahan bercampur aduk dalam tempurung kepala, seolah bergelantungan serupa kelelawar siang. Para perangkat desa dibuat bingung dengan pendapat Kiai Sepuh yang selalu tidak setuju dengan program percepatan desa sejahtera.

Untuk mewujudkannya, perangkat desa sepakat untuk menggunakan cara cepat. Tapi nahas, cara cepat bukan solusi tepat bagi Kiai Sepuh yang berada di maqam hakikat.

Dengan tidak setujunya Kiai Sepuh, musyawarah yang menghabiskan waktu berhari-hari tidak ada guna. Kata-kata yang terkadang memancing emosi, tidak berharga. Lesu, peluh dan membuang banyak waktu tidak bernilai apa-apa di hadapan satu kata Kiai Sepuh.

“Ini kesempatan emas,” salah-satu orang yang duduk di bagian beakang melontarkan celetukan.

Peserta musyawarah yang lain mengangguk-angguk kepala pertanda mereka sepakat bahwa percepatan desa dengan cara cepat adalah kesempatan emas.

“Betul, itu Pak.”
“Kita harus bujuk Kiai Sepuh.”
“Lagian kita yang mengurusi, bukan Kiai Sepuh.”

Jemu bercampur kesal bukan tidak bersemayam dalam batok kepala perangkat desa itu, apalagi Rakmin yang berposisi kepala desa. Tentu lebih berat. Tapi begitu, seakan-akan ia tidak memiliki taring ketika berhadapan dengan Kiai Sepuh.

“Begitulah sulitnya, kalau satu desa masih ada yang sepuh, apalagi Kiai,” celetuk yang lain ketika bising kambuh lagi.

“Hus…. itu mulut dijaga, beliau itu Kiai Sepuh, petuahnya mudah terkabul.”

“Buktinya apa? Desa kita baik-baik saja.”
“Karena selama ini beliau mendoakan yang baik-baik buat desa ini.”

“Sudah-sudah shu’udzon-nya, kita musyawarah mencari yang terbaik, bukan menjelekkan orang baik,” lerai Rakmin sambil berdiri memerhatikan rekan kerjanya.

Ia tidak mau Kiai Sepuh tahu perdebatan rekan kerjanya. Jika tahu, tidak akan ada restu meski sowan berkali-kali. Kecuali yang diusulkan lebih berpihak kepada masyarakat, Kiai Sepuh akan cepat-cepat menerima.
***

Suatu hari, Rakmin yang berpakain batik Tanjung Bumi memarkir sepedanya di halaman rumah berarsitek kuno. Rumah yang kerap dipercayai sebagai tumpuan barokah untuk melepas lilitan masalah. Ia mengarahkan langkah kakinya ke depan pintu untuk menyampaikan pendapat kesepakatan perangkat desa.
Dalam hati ia sudah tahu, Kiai Sepuh akan keberatan dengan kesepakatan musyawarah perangkat desa, tapi tidak ada salahnya mencoba meski sudah yang keberapa kali. Barangkali dengan keberapa kali ini, Kiai Sepuh bisa menerima karena melihat usaha perangkat desa yang tidak padam meski ditolak beberapa kali.

“Pak kiai, rekan kerja abdhina sepakat untuk menerima orang luar negeri tinggal di desa ini. Bagaimana menurut Kiai?” ia memulai topik setelah selesai mencium punggung tangan Kiai Sepuh.
Kiai Sepuh diam dan menunduk. Kulit keriputnya seolah menandakan ia berumur senja. Ia sudah tahu kedatangan Rakmin untuk menetaskan restunya. Kiai Sepuh tidak langsung menanggapi, ia lebih memilih tawassul dan berdoa sebelum melontarkan kata-kata.

“Apakah itu untuk kepentingan komersial?” Kiai Sepuh bertanya setelah selesai berdoa.

“Kami hanya menerima saja, tidak berpikiran ke sana.” Rakmin mencoba mengelak demi melindungi pendapat rekan kerjanya.

Kiai Sepuh kembali berdoa, ia tidak mau kata-kata yang keluar dari mulutnya bukan pada tempatnya.

“Sudahlah, tugasmu hanya mengabdi dan melayani masyarakat….” tiba-tiba Kiai Sepuh batuk berat, membuat kalimatnya menggantung seketika.
“Lakukan tugasmu, jangan tergiur,” lanjut Kiai Sepuh yang suaranya terdengar sangat sumbang.
Rakmin tidak menanggapi, ia sudah tahu keputusan Kiai Sepuh. Tidak setuju. Sehingga ia lebih memilih pamit untuk menenangkan kondisi Kiai Sepuh. Ia tidak mau terjadi apa-apa kepada Kiai Sepuh.

Kiai Sepuh tahu rencana Rakmin dan perangkat desa. Mereka memanfaatkan orang luar negeri untuk menetap sambil menawarkan petak-petak tanah yang nantinya hasil penjualannya masuk ke kantong sendir sesuai kesepakatan.
Sepeda yang ditumpangi Rakmin hilang di pertigaan jalan.
***

“Terus bagaimana, apa kita terus seperti ini?” kali ini Rakmin bercerita kepada Mamang—lelaki yang siap menerima orang asing di rumahnya.

Kelimpungan duduk manis di benak Rakmin, ia bingung bukan main, apa jabatannya hanya untuk menjadi pelayan masyarakat? Ia tidak begitu menghiraukan. Yang sedang ada dalam pikirannya adalah cara untuk membujuk Kiai Sepuh.

“Kita tunggu ilham saja,” dari wajah datar itu, Rakmin mengeluarkan kalimat pasrah.

“Apa? Tunggu ilham, kamu ngaco.”

Semua kesepakatan sudah Rakmin ajukan, tapi selalu Kiai Sepuh menolak. Andai ia tahu mengapa Kiai Sepuh menolak, sudah ia musyawarahkan ketidaksetujuan Kiai Sepuh itu.

“Memangnya apa yang ditakutkan Kiai Sepuh?”
“Beliau tidak mau jika ada orang asing masuk ke desa kita.”
“Kita ‘kan hanya menerima sebagai tamu saja, tidak lebih.”
“Kau benar.”
“Lalu?” sanggah Mamang setelah pernyataannya dibenarkan.
“Beliau hanya menjalankan amanah bujhuk.”

Mamang bingung harus berucap apa. Ia tidak tahu jika keinginan Kiai Sepuh mempertahankan wasiat tetua terdahulu. Karena, jika bukan wasiat bhujuk dan Kiai Sepuh sebelumnya, sudah banyak orang-orang desanya merantau mengadu kehidupan di daerah orang. Sebab itu, Kiai Sepuh tidak mau jika hal itu terjadi.

“Aku muak dengan petuah Kiai Tua itu.”
Rekan kerjanya—Mamang, bagian kesejahteraan—pergi pamit untuk mencari cara lain. Jika tidak menemukan secara kesepakatan, kesesatan menjadi jalan terbaik baginya.
***

Di saat hatinya dirundung resah dan gundah tidak kunjung pindah. Rakmin memutuskan untuk kembali sowan ke Kiai Sepuh. Kedatangannya kali ini untuk menggagalkan rencana penerimaan orang luar negeri yang berkunjung untuk menetap di desanya.
Ia tidak mau jika di kemudian hari Kiai Sepuh mendoakan tidak baik kepada dirinya. Karena itu, sebelum semuanya menjadi bubur, ia lebih memilih pendapat Kiai Sepuh—walau penuh usaha ekstra untuk memutuskan ketika musyawarah—untuk tidak menerima tamu orang luar negeri. Bahkan ia curiga, kekokohan tidak setujunya Kiai Sepuh untuk menerima orang luar negeri—bisa saja Kiai Sepuh beranggapan—datang untuk observasi, lalu kemudian melakukan transaksi dengan harga menggiurkan. Bisa saja, petak-petak sawah akan lepas begitu saja dengan tumpukan kertas berwarna merah.

“Abdina sudah memutuskan untuk menolak kedatangan orang luar negeri Kiai,” suara Rakmin serak basah karena menahan banyak malu.

“Itu keputusan yang bagus,” ucap Kiai Sepuh seketika.

Ia tidak sanggup menahan malu, karena jika bukan Kiai Sepuh yang merestuinya untuk mencalonkan kepala desa, mana mungkin ia akan memenangkan pemilihan suara itu dua tahun lalu.

“Aku tahu apa yang dipikirkan perangkat desa yang tak lain rekan kerjamu.”
Rakmin menunduk mengingat musyawarah yang pernah ia lakukan.

“Mereka hanya ingin menggelapkan uang hasil penjualan tanah bukan. Karena rekan-rekan kerjamu ingin mempromosikan tanah-tanah warga,” tutur Kiai Sepuh panjang sambil meminum air di dekatnya.

Rakmin hanya mampu mendengarkan, ia tidak mengelak sedikitpun penjelasan Kiai Sepuh. Harusnya ia benar-benar mendengarkan dan mempertimbangkan petuah Kiai Sepuh di awal-awal penolakannya, karena Kiai Sepuh lebih tahu apa yang akan terjadi.

“Lagian aku tidak ingin kau menjadi boneka perangkat desa yang gila harta.”
Ia mengangguk takzim sambil berpikir, meski Kiai Sepuh bukan perangkat desa, petuahnya perlu menjadi pertimbangan untuk keselamatan umat dari orang-orang bendera merah. Ruangan pengap itu sepi setelah Kiai Sepuh menyetujui maksud kedatangannya. Tak lama kemudian, ia melihat Kiai Sepuh batuk berat, bahkan orang yang sangat ia hormati beberapa kali hendak muntah.

Di antara batuknya, keluar samar-samar percikan darah dari mulut Kiai Sepuh. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada orang berjasa di depannya. Seketika ia teringat sikap Mamang beberapa hari yang lalu.***

 

 

Muhtadi ZL, mahasiswa Hukum Ekonom Syariah (HES) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) dan Santri PP. Annuqayah Lubangsa, Guluk-Guluk, Sumenep Jawa Timur. Aktif di beberapa komunitas literasi Sangkar Kata, Komunitas Cinta Nulis (KCN), Komunitas Penulis Kreatif (KPK), Lesehan Pojok Sastra (LPS) dan Organisasi Ikatan Santri Annuqayah Jawa (Iksaj) Menulis Esai, Cerpen dan Resensi yang sudah tersebar diberbagai media luring mapun daring. Email: azzamdy09@gmail.com. IG: muhtadi.zl09

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

seventeen + three =