ARTIKEL 

YANG UNIK-UNIK PADA PROSES KREATIF CERPEN

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, penyair dan cerpenis.

——————————————————————————————- 

 

  1. Proses Kelahiran Cerpen

 Cerita pendek atau cerpen dapat lahir melalui berbagai proses. Bisa bermula dari pesanan atau lomba yang temanya sudah ditentukan, bisa dari ide cerita yang berasal dari rekaan murni pengarangnya, dapat dari rekayasa imajiner setelah melihat pemandangan unik atau cerita orang-orang di sekitar kita, dapat dari beberapa penggalan cerita dan berita yang digabung dan disusun jadi kisah fiktif, bisa dari kisah nyata yang direka ulang secara kreatif, dapat dari ingatan atau kenangan masa kecil yang diimajinasikan dan diolah kembali menjadi fiksi, dapat pula dari berita menarik di surat kabar yang dikembangkan menjadi fiksi, atau bahkan dari benda yang ditemukan di jalan dan mengusik imajinasi kita.

Tetapi, proses sesungguhnya tentu sedikit lebih rumit dari gambarang yang menyederhanaan prose tersebut. Dan, yang paling penting dari itu semua adalah proses menulis cerpen itu sendiri. Ini merupakan proses yang tidak  dapat diabaikan, karena tanpa ditulis, sebuah cerpen tidak akan pernah lahir. Nah, dalam proses menuliskan cerita pendek inilah kita harus yakin bahwa menulis cerpen itu gampang, dan dapat dilakukan oleh siapapun dengan pengetahuan secukupnya – secukupnya saja – tentang cerpen, yang dapat diperoleh hanya dengan membaca makalah atau buku tipis tentang kiat menulis cerpen serta cerpen-cerpen yang bagus karya orang lain.

Karena sesi ini berbicara tentang proses kreatif, saya akan memberikan contoh prose kelahiran beberapa cerpen, terutama beberapa cerpen terpenting saya, yang memang saya ketahui persis proses kelahirannya, sbb.

 

  1. “Ombak Berdansa di Luquisa” (Harian Kompas, Juni 2004).

—   Suatu hari (1994), saat meliput konflik Timtim, saya sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang mahasiswi Universitas Dili, gadis Indo-Portu. Gadis ini mengaku punya pacar seorang aktifis Clandestin yang berada di hutan.

  • Pada saat yang sama saya mendengar kabar banyak kasus perkosan terhadap gadis Indo-Portu. Ada dugaan kejahatan seksual itu dilakukan oleh tentara, namun berkembang juga dugaan bahwa kejahatan itu dilakukan oleh kalangan Clandestin sendiri untuk memberi citra buruk pada TNI.
  • Dengan semangat keberpihakan pada Indonesia sekaligus pembelaan pada kaum perempuan Timtim, kedua bahan (sumber ide) cerita itu saya gabung, saya rekayasa jadi cerita baru, saya kemas dengan tema “pengkhianatan akhirnya berbuah pengkhianatan juga”, dan jadilah cerpen “Ombak Berdansa di Liquisa”.
  • Tiap cerpen membutuhkan karakter. Agar seru, karena ini cerpen realis, perlu ada tokoh protagonis dan antagonis. Maka saya ciptakan tokoh protagonis Armila (gadis indo Portu, mahasiswi) dan tokoh antagonis Jao (aktifis Clandestin gadungan).
  • Berikutnya, setelah merancang plot (di kepala) yang kira-kira seru, cerita pun saya mulai dari pertemuan Jao dan Armila dalam sebuah pesta dansa di Pantai Liquisa.[1] Agar puitis serta menggambarkan suasana alam dan sosial setempat, maka saya beri judul “Ombak Berdansa di Liquisa”.
  • Saat Armila dan Jao mengobrol di pojok kafe tempat pesta dansa, tiba-tiba ada penggerebekan oleh TNI. Jao lari ke hutan, dan Armila diselamatkan oleh seorang Clandestin bernama Mariana. Nah, saat tidur di rumah Mariana inilah justru kedok Jao terungkap. Jao ternyata seorang Clandestin gadungan yang banyak melakukan kejahatan seksual terhadap gadis-gadis indo Portu. Mariana ternyata adalah istri Jao, yang sudah punya satu anak laki-laki yang wajahnya sangat mirip Jao. Lelaki ini juga menodai beberapa gadis Timtim dan ditinggal begitu saja, dan bahkan diduga kuat pernah membunuh salah seorang korbannya yang sedang hamil. Merasa dibohongi, dan mengetahui kaumnya direndahkan, marahlah Armila. Setelah melalui konflik bantin yang tajam, dia pun berkhianat dengan menunjukkan persembunyian Jao di hutan pada TNI. Jao tertangkap dan dijebloskan ke penjara militer.
  • Endingnya: Armila mendatangi Jao di penjara untuk melampiaskan kemarahannya. Bukan dengan menampar atau memaki-makinya, tapi dengan kata-kata tajam, yang berisi pesan pembelaan terhadap kaum perempuan. Berikut ini kutipan endingnya:

 

Ditunggu sehari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, akhirnya Jao tertangkap juga. Hidup-hidup, dengan paha kiri tertembus peluru. Armila langsung memburunya ke penjara. Lelaki itu menyunggingkan senyum begitu melihat Armila datang. Tapi gadis ini malah mencibir. “Mariana sudah bercerita banyak tentang kau,” katanya dengan mata yang memancarkan kebencian.

“Cerita apa saja dia?” Jao langsung curiga.

“Kau pasti sudah dapat menebaknya. Aku berkenalan dengan anakmu di rumahnya. Juga tentang Isabela yang kau bunuh di tepi hutan setelah kau hamili. Kau pembohong besar, Jao.”

“Bangsat dia!” Mata lelaki itu makin merah menyala.

“Kupikir, ini ganjaran yang setimpal untuk lelaki macam kau. Akulah yang menunjukkan tempat persembunyianmu pada tentara.” Suara Armila datar, tapi kata-katanya menghantamkan pukulan telak.

“Jadi, kau mengkhianati aku, Armila? Kau mengkhianati bangsa Timor! Bangsat kau!”

“Tidak, Jao. Aku tetap setia pada cita-cita perjuangan Clandestine. Tapi, bangsa Timor tidak membutuhkan lelaki seperti kau. Kami membutuhkan para pejuang yang dapat melindungi kaum perempuan, bukan perusak perempuan seperti kau. Kau tak ada artinya bagi masa depan kami, Jao. Selamat tinggal!’’

Dengan wajah tetap membara, Jao terperangah mendengar kata-kata Armila. Pada saat itulah perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan lalaki yang tangannya sedang bergetar geram mencengkeram terali besi.

“Bangsaaat! Awas, kubunuh kau, pengkhianat! Perempuan busuuuuk!!!” suara Jao keras sekali, seperti mau meledakkan penjara.

Tapi, Armila terus melangkah pergi, pura-pura tidak mendengar umpatan itu. Hatinya, yang terasa amat pedih, hancur berkeping-keping, lalu menyerpih bagai serpihan ombak yang terus berdansa di Pantai Liquisa.

 

 

  1. “Mawar Biru untuk Novia” (Tabloid NOVA, Mei 2004).
  • Suatu hari saya menemukan setangkai bunga mawar biru dari penjual bunga plastik di Pamulang. Warna birunya yang indah menarik hati kami untuk mewacanakannya sekeluarga. Saya, istri, dan anak-anak, jadi serius mempertanyakan, adakah sebenarnya mawar asli berwarna biru? Mawar biru berhari-hari menteror saya. Wah, ini harus dibuat cerpen, pikir saya.
  • Karena itu bunga, maka harus dikembangkan menjadi kisah cinta. Maka, saya dapatlah ide cerita: seorang gadis (Novia) yang terbaring di rumah sakit dan telah divonis mati oleh dokter meminta hadiah terakhir setangkai mawar biru pada tunangannya (Nurhuda). Maka sang tunangan pun mati-matian mencari mawar biru dan bertekad harus menemukannya sebelum hari kematian Novia.
  • Agar kisahnya tidak sekadar berpusar pada kisah cinta yang romantik dan dramatik, dan agar ada sentuhan sosial serta sedikit mistik, maka saya hadirkanlah karakter seorang pengemis buta, tokoh antagonis sekaligus sebagai “penyelamat”. Sang pengemis minta diantar pulang saat sang pacar lagi sibuk mencari mawar biru. Dan, agar mereka dapat naik KRL sambil mengemis, saya pakailah Taman Monas sebagai salah satu latar. Sang pengemis minta diantar pulang, karena lupa di mana rumahnya. Mereka naik KRL. Di KRL Nurhuda diajak ikut mengemis. Dengan perasaan jengkel dan gelisah, dia menuruti sang pengemis, menuntunnya dari gerbon ke gerbong dengan menadahkan topi butut.
  • Kejutan mistiknya, justru lewat pengemis misterius itulah Nurhuda menemukan mawar biru yang diminta sang gadis. Di jalan setapak menuju kali Ciliwung, pengemis itu tiba-tiba menghilang, dan tak jauh dari Nurhuda berdiri, menyeruak setangkai mawar biru dari semak-semak. Tak jauh dari kaki Nurhuda teronggok pula sekantong uang hasil mereka mengemis, dengan jumlah yang cukup besar.

 

  1. “Leher Kang Barjo” (Harian Suara Merdeka, 1989).
  • Cerpen ini saya tulis untuk mengikuti sayembara menulis cerpen Harian Suara Merdeka 1989, dengan tema tentang persoalan sosial yang sedang aktual saat itu, yang berkaitan dengan kemajuan media komunikasi.
  • Setelah berpikir-pikir cukup lama, maka saya memilih tema dampak televisi bagi masyarakat. Sulitnya, ini adalah tema yang lebih pas untuk ditulis sebagai artikel atau esei. Karena itu, saya perlu menciptakan (merekayasa) cerita yang dapat mewadahi tema tersebut. Semula saya ingin membuat cerita yang realis, tapi khawatir kalah bersaing dengan cerpen lain. Maka, saya buatlah cerpen bergaya parodi karikatural.[2]
  • Saya ceritakanlah sebuah keluar yang tinggal di rumah petak, khas keluarga kampung di perkotaan, yang kamar depannya multifungsi: ruang tidur, ruang tamu, ruang makan, kamar belajar, sekaligus ruang keluarga. Suatu hari keluarga ini membeli TV baru. Namun, bukannya memberi manfaat, tapi malah lebih mendatangkan masalah krusial. Sang ayah (Kang Barjo) kesulitan untuk menempatkan TV tersebut, Kamar belakang penuh, kamar tengah penuh, dan kalau di kamar depan akan sangat mengganggu tidur dan belajar anaknya, karena saat itu menjelang ujian sekolah tapi juga pas ada siaran bola tiap tengah malam. Makaka, karena tak ada cara lain, Kang Barjo pun menempatkannya di plafon ruang tengah, menghadap ke bawah. Nah, tiap malam pula Kang Barjo nonton TV dengan duduk sambil mendongak ke atas.
  • Akibatnya fatal bagi Kang Barjo sekeluarga. Kang Barjo tidak dapat lagi menundukkan kepalanya ke bawah, bahkan menormalkannya menghadap ke depan pun tak bisa. Nah, dengan kepala terus mendongak ke atas Kang Barjo pergi bekerja. Maka tiap hari Kang Barjo selalu mendatangkan kecelakaan, menabark anak-anak di jalan hingga terjungkal ke parit, menabrak penjual es dawet hingga tumpah ruah, dan fatalnya lagi, menduduki paha istri orang di dalam bus kota hingga didamprat dan disuruh turun sebelum sampai tujuan. Di gangnya pun Bu Barjo ikut jadi sasaran kemarahan para tetangga yang jadi korban Kang Barjo. Mereka menganggap Kang Barjo jadi sombong (terus mendongak ke atas) dan kurang ajar (sering menabrak anak dan istri tetangga) hanya gara-gara punya TV baru. Para tetangganya pun sepakat untuk mengusir Kang Barjo sekeluarga dari kampungnya.
  • Pesannya: perlu kesiapan budaya, terutama mental dan moral, masyarakat saat menerima masuknya teknologi atau media informasi serta komunikasi baru. Pesan ini masih pas untuk sekarang, ketika internet lebih banyak dimanfaat untuk chatting, ngeface book, dan melihat gambar/video porno. Begitu juga kehadiran blackberry yang lebih banyak untuk gaya-gayaan para remaja.
  • Alhamdulillah, cerpen ini meriah Juara Pertama.

 

  1. “Lek War” (Suara Pembaruan, Oktober 1992).
  • Cerpen ini saya angkat dari pengalaman masa kecil. Di kampung saya, di Kaliwungu, hidup dua orang buta, Anwar dan Slamet. Lek War menjadi muadzin di musala kampung, sedangkan Slamet menjadi tukang pijat. Anwar sayang disayang oleh ibunya dan warga kampung, karena rajin dan tertibnya mengumandangkan azan. Sedangkan Slamet sering dicibir karena lagaknya yang “sok tidak buta”. Tiap menabrak pohon, Slamet suka mengatakan, sengaja ingin memegang pohon untuk mengukur besar batangnya sambil melingkarkan kedua lengannya ke pohon itu. Begitu juga kalau dia menabrak tiang listrik, atau tercebur ke parit. Dengan lagaknya itu Slamet tidak pernah mau memakai tongkat.
  • Nah, saya mencoba menggabungkan dua tokoh nyata dari masa kecil itu ke dalam satu karakter yang luar biasa (Lek War) dan mengemasnya menjadi cerpen bergaya parodi. Saya gambarkan lebih dulu karakter Lek War, melalui deskripsi dan narasi, tentang watak dan lagak lagunya yang “sok tidak buta”. Lalu, agar ceritanya seru, saya kisahkan pada suatu hari, saat hujan turun cukup lebat, Lek War hilang secara misterius. Ibunya dan warga kampung resah, tak ada lagi yang mau menjadi muadzin musala kampung. Mereka pun ramai-ramai mencari Lek War ke mana-mana. Ketika seseorang menemukan sepasang sandal Lek War tergeletak di tepi kali yang sedang banjir, warga pun meminta bantuan Tim SAR untuk mencari Lek War di sepanjang sungai. Tapi, Lek War tak juga ditemukan.
  • Kejutannya: ketika warga nyaris putus asa, tiba-tiba Lek War muncul dari kampung sebelah, berjalan tegap sambil mengepit tongkatnya, layaknya seorang jenderal yang mengepit tongkat komando. Warga pun serentak bertanya,

“Dari mana, Lek War?”

“Nonton wayang di kampung sebelah,” jawab Lek War sambil terus melangkah tegap melewati kerumuman warga kampung.

  • Pesannya: jangan melecehkan orang buta. Siapa tahu dia lebih dapat melihat (dengan mata hati) dibanding Anda yang tidak buta.

 

Dari contoh-contoh proses kreatif tersebut di atas, maka proses kelahiran cerpen dapat melalui beberapa cara, yang jika dirumuskan ke dalam kalimat-kalimat sederhana, antara lain, adalah (1) dari mata turun ke hati, (2), dari penggalan cerita ke kisah rekaan, (3) dari kisah nyata ke imajinasi, (4) dari berita ke fiksi, (5) dari ide cerita ke pengisahan, (6) dari tema ke cerita, dan (7) ilham yang muncul tiba-tiba dari langit.

 

II.  Dari Mata Turun ke Hati

Di antara berbagai proses untuk menulis, di antara berbagai proses kelahiran cerpen, menurut pengalaman, pengalaman empirik – melihat dan mengalami langsung – memberikan sumbangan yang paling besar dalam menulis cerpen. Pengalaman empirik tidak hanya dapat menjadi sumber tematik maupun sumber ide cerita, tapi juga acuan model pengembangan konflik agar tetap logis, sumber latar cerita agar memiliki detil yang kuat, dan sumber model untuk menciptakan berbagai karakter tokoh.

Latar cerita akan cenderung menjadi lemah jika tidak ada acuan keadaan senyatanya yang didapat cerpenis dengan melihat langsung suatu tempat. Karakter tokoh cenderung akan kurang kuat, dan mungkin akan sangat aneh, jika tidak ada model dari dunia nyata yang dilihat atau dipelajari oleh cerpenis. Tentu, terkecuali fiksi fantasi, yang semuanya serba diciptakan, sejak karakter hingga latarnya, karena logika yang diterima pembaca atau penonton adalah logika dongeng atau logika fantasi, seperti misalnya serial Harry Potter, Dora Emon, dan berbagai dongeng kontemporer lainnya.

Pengalaman empiris umumnya datang dari mata, dari melihat. Pengalaman empirik yang lebih dalam adalah melihat sekaligus mengalami langsung, atau terlibat secara emosional. Dari melihat sesuai yang menarik, yang mengusik, hati kemudian akan tertarik, akan berempati, akan mendapat kesan yang sulit dilupakan. Karena itu, agar kita kaya pengamalan empirik, perlu selalu berempati pada lingkungan sekitar, pada lingkungan alam, lingkungan kampung, lingkungan sosial; berempati pada hutan, pada taman, pada bunga, pada pohon, pada rumah-rumah dan bangunan di tepi jalan, pada saudara, pada tetangga, pada kawan kerja, dan sahabat. Dengan terus berempati kita akan mendapatkan banyak sumber model latar, model benda-benda yang menarik, model karakter, dan berbagai cerita yang dapat dikemas menjadi ide cerita untuk cerpen.

Dengan demikian, sumber ide, atau sumber ilham, bertebaran di lingkungan sekitar pengarang, di kampus, di balaikota, di hotal, di pasar, di masjid, warung kopi, di gang-gang kumuh, di trotoar-tortoar pertokoan, di persawahan, di taman bunga, di pinggir kali, di panas terik pantai, di dalam kabut dingin pegunungan, di dalam gerbong kereta api, di dek kapal penumpang, kepadatan bus kota, dan di tengah kemacetan lalu lintas sekalipun.

Dari tebaran sumber ilham itu, yang diperlukan adalah kepekaan sang pengarang untuk menangkap isyarat-isyarat kreatif yang dilihatnya dan kemampuan imajinasinya untuk merekayasa serangkaian cerita (cerpen). Sentuhan imaji akan menggerakkan rangkaian cerita imajinatif, jika sang cerpenis ‘jatuh cinta’ atau terpanggil rasa empatinya pada apa yang dilihatnya. Ibarat orang jatuh cinta, dari mata turun ke hati, sentuhan imaji itu akan menggerakkan imajinasinya untuk membangun dunia rekaan (fiksi/cerpen) yang sering di luar dugaannya. Dan, untuk membuka ruang gerak yang lebih leluasa bagi imajinasi, sang cerpenis perlu duduk beberapa saat di dekat pemandangan unik yang memarik perhatiannya. Amatilah benda itu, imajinasikanlah bahwa benda itu memiliki cerita, sejarah, atau biografi yang unik dan menarik. Lalu, kembangkanlah cerita yang menarik dari benda itu.

Sekuntum mawar yang mekar sendiri di tengah padang rumput, misalnya, bagi cerpenis yang kreatif, bisa menghadirkan berbagai kemungkinan cerita, sejak kisah cinta yang romantik sampai yang tragis. Misalnya, pada suatu musim, mawar tiba-tiba menjadi bunga yang langka. Berhari-hari seseorang mencari mawar itu untuk menyatakan cintanya pada sang kekasih, dan ketika ia menemukan mawar itu di tepi padang rumput, dan membawanya kepada sang kekasih, ternyata ia telah meninggal tertembak polisi saat ikut berdemonstrasi. Dengan rangkaian cerita itu, fenomena alam tersebut tidak hanya diseret ke persoalan cinta yang romantik, tapi juga persoalan politik yang galau.

Melihat seorang gelandangan berkaki satu terkapar di depan toko Cina, seorang pengarang dapat saja membayangkan bahwa gelandangan itu adalah mantan pejuang revolusi kemerdekaan yang kakinya tertembak oleh serdadu Belanda. Maka, mengalirlah kisah mantan pejuang yang tersia-sia akibat ketidakbecusan pemerintah pengurus para veterannya. Melihat sebungkus nasi terinjak-injak berantakan di tengah jalan, seorang pengarang dapat juga mengimajinasikan bahwa nasi itu sebenarnya akan dikirim kepada seorang demonstran penderita sakit mag yang kelaparan dan terkurung di tengah barikade tentara, tapi ketika nasi itu sampai sang demonstran keburu ‘diamankan’ dan nasi itu tertinggal dan terinjak-injak oleh sepatu tentara.

Rekaan cerita yang menarik pun dapat dibangun ketika seorang cerpenis melihat rumah tua yang sepi dan terpisah dari kampung, rangkaian bunga yang tercampak di tepi jalan, celana panjang robek-robek yang dikibarkan pada tiang bendera, pemuda yang merenung sendiri di tepi rel kereta api, wanita cantik yang berdiri mematung sendiri di buritan kapal (ingat adegan film Titanic atau cerpen “Maukah Kau Hapus Bekas Bibirnya dengan Bibirmu” karya Hamsad Rangkuti), atau seorang Muslimah yang tiba-tiba mengganti jilbabnya dengan rambut pirang. Tentu, bahan cerita yang paling otentik adalah ‘biografi’ benda atau kisah nyata obyek cerita itu sendiri, yang dapat diperoleh sang cerpenis dengan mewawancarainya. Teknik observasi untuk memperoleh bahan cerita seperti ini tidak hanya dapat diperoleh dari pemandangan aneh di tepi jalan, tapi juga dari orang-orang di sekitar sang cerpenis. Sehingga, sang cerpenis tinggal mengubah bahan cerita itu menjadi fiksi.

Tentu, agar kisah-kisah fiktif (cerpen) itu menjadi lebih bermakna, perlu diberi sentuhan filsafat hidup, moral, agama, atau ajaran-ajaran kibajikan lainnya. Agar sentuhan itu dapat hadir sebagai pencerah sekaligus pemerkaya batin pembaca, sang pengarang pun harus banyak membaca. Ia harus menjadi cendekiawan yang terus meneteskan kearifan, kebijakan dan makna hidup bagi pembacanya. Karya sastra yang baik, menurut Sutardji Calzoum Bachri, adalah yang memberikan sesuatu (something) kepada pembacanya. Sesuatu it adalah ‘kearifan hidup yang teraktualisasikan’ yang mebuat pembaca sulit melupakannya, karena kesannya yang begitu mendapalam. Dan, agar kisah-kisah fiktif itu menarik, pengarang perlu menguasai teknik-teknik bercerita secara baik, seperti pengaluran atau plotting, dan karakterisasi.

Satu hal lagi yang harus disadari oleh pengarang fiksi (cerpen) adalah bahwa dunia di dalam fiksi adalah dunia rekaan. Memang bisa saja karya sastra diangkat dari kisah nyata, dari cerita kawan atau saudara, dari kisah hiduo mereka atau kisah hidup kita sendiri, dari peristiwa sejarah, dari hasil penelitian, bahkan dari hasil kerja jurlialistik, seperti cerpen-cerpen jurnalistiknya Seno Gumira Ajidarma. Tetepi, seorang penulis fiksi tidak terikat oleh realitas faktual itu. Ia bebas menciptakan dunia rekaannya sendiri dari realitas keseharian yang ditemukannya. Seperti dikatakan Umar Junus dalam Dari Peristiwa ke Imajinasi, realitas yang ada di dalam karya sastra adalah realitas imajinatif, realitas yang sudah mengalami rekayasa ulang menjadi ‘realitas baru’ khas pengarang, yang tidak dapat (dan tidak harus) dibuktikan kebenaran realitas faktualnya.

Memang, sering ada kesamaan antara cerpen dan feature (berita kisah). Sering keduanya ditulis dengan teknik bertutur yang sama, dan sama-sama diperlukan kemampuan imajinasi untuk menyusunnya. Tetapi, keduanya tetap berbeda. Feature tetaplah karya jurnalistik yang harus siap dibuktikan kebenaran faktualnya. Sedangkan cerpen tidak demikian, karena cerpen tetaplah fiksi. Meskipun materi atau ide ceritanya bisa berasal dari realitas yang ditemukan oleh wartawan di lapanga, cerpen bukanlah karya jurnalistik yang harus siap dibuktikan kebenaran faktualnya.

Jika bagi seorang wartawan yang dibutuhkan adalah kecermatannya dalam mencatat serta merekonstruksi realitas faktual ke dalam tulisannya, maka bagi seorang cerpenis (juga novelis) yang diperlukan justru kekuatan dan kebebasan imajinasinya untuk mengembara secara liar ke berbagai kemungkinan di balik realitas faktual itu. Peraih Nobel Sastra, Tonni Morrison, pernah menasihatkan, bebaskanlah imajinasimu mengembara secara liar ke dalam ‘dunia gelap’ di balik realitas yang kasat mata.

 

III. Pengembangan Ide

Kegiatan menulis cerpen, dimulai dari adanya ide – sering juga disebut sumber ilham/inspirasi – yakni sesuatu yang dengan sangat kuat mendorong sang cerpenis untuk menulis (melahirkan) cerpen. Apapun bentuk sumber idenya, apakah hanya penggalan cerita kawan, tema pesanan panitia lomba, benda menarik di tepi jalan, kisah nyata seseorang, berita di surat kabar, ataupun ide cerita yang tiba-tiba turun dari langit – agar menjadi cerpen yang bagus, harus dikembangkan menjadi kisah utuh dengan memanfaatkan unsur-unsur cerita, sejak pembangunan alur/plot, karakterisasi, pemberian latar yang hidup, sampai penciptaan konflik, klimaks dan ending.

Alur atau plot adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu. Ada alur progresif (runtut), ada kilas balik (flash back), dan ada percampuran jalin-menjalin antar-keduanya. Alur dibangun oleh narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action). Narasi adalah pelukisan obyek yang dinamis, penggambaran gerak (action) tokoh-tokohnya, serta pergerakan benda-benda yang menjadi penyebab atau akibat aksi para tokoh cerita. Dengan kata lain, narasi adalah penggambaran obyek yang bergerak, seperti laku tokoh, gerak tangan, gerak bibir, langkah kaki, atau gerak seluruh tubuh. Bisa juga gerak binatang, gerak angin, atau gerak air dari satu tempat ke tempat lainnya.

Plot pada intinya rangkaian sebab-akibat yang membangun konflik dan menggerakkan cerita menuju klimaks. Ibarat tubuh, plot adalah gejolak jiwa atau ‘kekuatan dinamis’ yang penuh gairah membangun konflik, mesin yang menggerakkan cerita ke arah klimaks dan ending. Di dalam plot inilah tema dikembangkan menjadi persoalan-persoalan yang dihadapi para tokoh, digesek-gesekkan, dibentur-benturkan menjadi persoalan baru yang lebih kompleks, diseret ke puncak krisis, lalu dicari pemecahan (penyelesaian)-nya menuju akhir cerita (ending). Di sinilah kecerdasan dan kearifan pengarang ‘diuji’ oleh persoalan yang diciptakannya sendiri, untuk menemukan solusi yang cerdas dan arif sehingga karyanya mampu memberika sesuatu (something) kepada pembacanya.

Deskripsi adalah pelukisan suasana yang statis, cenderung tetap, seperti suasana kamar yang berantakan, atau bangunan yang luluh lantak pasca-gempa. Dialog adalah kata-kata yang diucapkan oleh tokoh-tokoh cerita. Ada dialog lahir (terucapkan), ada dialog batin (tidak terucapkan). Sedangkan laku/aksi adalah aktivitas fisik, gerakan anggota badan, dan perbuatan tokoh-tokoh cerita.

Sedangkan penokohan atau karakterisasi adalah penciptaan tokoh-tokoh cerita yang dibutuhkan oleh tema dan plot. Contoh sederhananya: untuk tema cinta yang berakhir bahagia, misalnya, normalnya cukup dibutuhkan sepasang kekasih dan orang tua yang akhirnya merestui hubungan mereka. Namun, ceritanya tentu akan datar-datar saja dan sangat tidak menarik. Maka, perlu dihadirkan tokoh antagonis, yang mencoba merecoki kisah cinta mereka, agar tegang dan penuh tantangan, serta membuat pembaca jadi geregetan. Tokoh antagonis juga akan menjadi “penguji” kesetiaan dan kesejatian cinta pasangan tersebut.

Kehadiran tokoh antagonis juga perlu untuk kisah cinta yang tragis, yang membuat hubungan sepasang kekasih itu berakhir getir. Di sinilah diperlukan karakterisasi yang kuat, agar konflik menjadi menarik dan plot bergerak penuh ketegangan (suspense). Karakter tiap tokoh digambarkan melalui narasi, deskripsi, dan dialog. Semakin tajam perbedaan karakter antar-tokoh cerita, akan makin tajam konflik yang terjadi, dan plot akan gampang bergerak ke arah krisis untuk menuju klimaks. Plot menjadi kental, penuh ketegangan (suspense), sehingga cerita tidak bergerak datar, tapi dinamis.

Dalam cerpen konvensional, tokoh protagonis adalah tokoh utama yang biasanya digambarkan serba baik, heroik, dsb. Sedangkan tokoh antagonis adalah penantang tokoh utama, biasanya digambarkan serba jelek, jahat, licik, dan menyebalkan. Namun, dalam cerpen kontemporer, bisa juga tokoh utamanya tidak sempurna, sementara tokoh lawannya malah memberi hikmah atau menyempurnakannya. Adanya tokoh protagonis dan antagonis membuat konflik jadi tajam dan mencekam. Di luar keduanya, ada tokoh pembantu dan figuran.

Tokoh atau karakter apapun di dalam cerpen dapat dihadirkan dari rekaan murni, bisa juga dicarikan modelnya dari orang-orang di sekitar cerpenis. Maka, hati-hati kalau dekat dengan cerpenis. Kalau macam-macam, dan menyebalkan, Anda dapat dijadikan tokoh antagonis di dalam cerpennya.

Pengembangan ide dengan teknik dan unsur-unsur cerita seperti di atas lazim dipakai pada fiksi-fiksi realistik, yang masih memperhatikan pentingnya unsur-unsur cerita secara lengkap, serta mengenal runtutan cerita sejak pemaparan, krisis, klimaks sampai ending.

        Kemampuan untuk mengolah tema melalui unsur-unsur dan teknik bercerita itulah yang lazim menjadi kekuatan fiksi realistik dan fiksi romantik. Namun, jenis-jenis fiksi simbolik, surealis, atau satire, sering tidak lagi memperhatikan kelengkapan unsur-unsur cerita tersebut, dan mencoba menggantikan kekuatan cerita itu dengan kekuatan lain, seperti kekuatan simbol (Danarto), teror logika (Putu Wijaya), atau keunikan imaji surealistik (Seno Gumira Adjidarma).

 

IV. Dari Paparan ke Ending

Dalam teori konvensional, terutama pada cerpen romantis dan realis, alur atau plot cerpen selalu dibuka atau dimulai dari paparan, disusul konflik, memuncak pada klimaks, dan diakhiri dengan ending. Alur yang bersifat progresif taat pada urutan pengisahan yang runtut seperti itu..

Paparan, adalah penggambaran situasi ketika cerita mulai bergulir, baik situasi personal tokoh utama cerita maupun situasi kolektif yang melibatkan beberapa tokoh sekaligus. Paparan biasanya disertai dengan sedikit gambaran latar cerita – tempat cerita berlangsung dan dalam situasi seperti apa. Bisa situasi dalam keluarga, di tengah lingkungan alam, sosial, politik, ekonomi, krisis, atau perang.

Konflik, adalah gambaran ketika mulai terjadi krisis dan para tokoh cerita mulai terlibat dalam perbedaan pendapat, kepentingan, dan tujuan. Para tokoh mulai saling bergesekan dan berkonflik. Perbedaan karakter tokoh akan membuat konflik makin menajam dan mencekam. Konflik bisa saja terjadi secara tersembunyi dalam diri tokoh cerita (konflik batin) atau secara terbuka antar-tokoh cerita (konflik terbuka).

Klimaks, adalah ketika konflik mencapai puncaknya dan membutuhkan penyelesaian. Di sinilah pengarang diuji kecerdasan sekaligus kearifannya dalam menyelesaikan konflik, sekaligus memberi makna pada cerita. Penyelesaian konflik juga memberi peluang bagi pengarang untuk menyampaikan pesan yang diinginkannya.

Ending, adalah akhir dari cerita yang berfungsi menyelesaikan konflik sehingga cerita bisa ditutup. Dalam cerpen-cerpen konvensional, penulis biasanya mengakhiri ending secara jelas, dengan solusi persoalan yang tegas, dan bahkan sering dengan menghakimi tokoh-tokoh cerita. Misalnya, tokoh yang jahat digambarkan bernasib celaka. Atau nasib tokohnya berakhir tragis. Ada dua macam ending yang umum dipakai dalam cerpen romantis dan realis, yakni happy ending dan sad ending.

Pada era cerpen kontemporen, banyak cerpen yang ending-nya menggantung dan penyelesaian masalah atau penghakiman terhadap tokoh cerita diserahkan kepada pembaca. Begitu juga cara memulai cerita, tidak selalu dari pemaparan, tapi sering juga langsung ke konflik, bahkan klimaks, atau ending dulu; baru kemudian pengarang melakukan kilas balik sambil menyisipkan latar cerita.

 

V. Kerangka Cerita Kadang Perlu

Bagi penulis cerpen yang benar-benar sudah mahir, atau memiliki bakat menulis yang besar, kerangka cerita tidak pernah dianggap penting. Pertama, kerangka cerita sudah terbangun dengan sendirinya di dalam ruang imajinasi (kepala)-nya ketika ia mendapatkan ilham atau menerima sentuhan imaji. Dan, kedua, alur dan plot cerita dibiarkannya berkembang sendiri ketika ia menuliskan kisah tersebut sampai ending. Kerangka cerita justru sering dianggap membatasi keliaran dan kebebasan imajinasinya dalam mengembangkan cerita.

Tetapi, bagi penulis pemula (yang sedang belajar) atau yang kemahirannya pas-pasan, kerangka cerita sering berperan sangat penting. Pertama, kerangka cerita dapat memandu cerpenis ke arah mana cerita akan dikembangkan sampai ending, lengkap dengan arah alur, konflik, plot, penokohan dan karakterisasinya, serta bagaimana suspense (ketegangan) harus dibangun untuk memikat pembaca. Kedua, kerangka cerita dapat meminimalisir kemungkinan kemacetan ketika cerpenis menuliskan dan mengembangkan ceritanya. Dan, ketiga, kerangka cerita dapat membantu memberikan gambaran awal di mana saja cerpenis dapat menyisipkan pesan-pesan cerita.

Dari aspek materinya, kerangka cerita nyaris tidak berbeda dengan sinopsis (ringkasan cerita dari cerpen/novel yang telah jadi), juga tidak berbeda dengan ide dasar cerita (bahan baku cerita untuk dikembangkan jadi cerpen/novel yang sempurna). Hanya, lazimnya, kerangka cerita diberi nomor-nomor yang menggambarkan alur cerita. Beberapa contoh kerangka cerita untuk cerpen adalah sbb.

 

  1. Mawar Biru untuk Novia[3]
  2. Novia divonis oleh dokter bahwa usianya tinggal seminggu lagi karena leokimia yang akut.
  3. Dia minta pada tunangannya, Norhuda, untuk dibawakan mawar biru sebagai bukti cinta yang akan dibawanya mati.
  4. Norhuda berhari-hari, kalang kabut, mencari mawar biru di semua sudut kota. Dia berkesimpulan, mawar biru tidak pernah ada. Tapi Novia yakin pernah melihatnya.
  5. Dalam pencarian, Norhuda bertemu lelaki tua buta tersesat di Monas dan minta diantar pulang ke Lenteng Agung.
  6. Dengan berat hati, Nirhuda mengantar lelaki tua itu naik KRL. Ternyata lelaki itu pengemis dan Norhuda dipaksa ikut mengemis di dalam KRL.
  7. Ketika menyusuri jalan setapat ke rumah orang tua itu, tak sengaja Norhuda melihat sekuntum mawar biru tumbuh liar di tepi jalan.
  8. Lelaki buta itu tiba-tiba raib, dengan meninggalkan sekantung uang dan sepucuk surat bahwa uang itu untuk Norhuda.

 

  1. Ombak Berdansa di Likuisa[4]
  2. Armila bertemu bertemu tunangannya, Jao, dan kawan-kawannya sesama Clandestine di sebuah kafe di tepi pantai Likuisa.
  3. Tiba-tiba terjadi penggerebekan oleh TNI. Armila selamat, sedangkan Jao dan kawan-kawannya tidak diketahui nasibnya.
  4. Karena kemalaman, Armila menumpang tidur di rumah Mariana, seorang bartender yang juga aktifis Clandestine.
  5. Di rumahnya, Mariana membongkar kedok Jao, yang ternyata punya seorang anak dengannya. Jao ternyata seorang lelaki buaya, yang juga pernah menghamili dan membunuh aktifis lain.
  6. Kedok Jao itu mengubah rasa cinta Armila menjadi kebencian yang mendalam. Demi membela sesama kaum perempuan, ia melaporkan tempat persembunyian Jao kepada TNI.
  7. Jao akhirnya tertangkap, dan Armila mendatanginya di penjara untuk membalas sakit hatinya pada lelaki itu.

 

Dengan materi yang sama dan sistem penulisan yang berbeda, yakni dengan menghilangkan numerisasinya, kedua kerangka cerita di atas dapat diubah menjadi mirip sinopsis cerita atau ringkasan cerita. Sedangkan dengan mempersingkatnya lagi, kedua kerangka cerita tersebut juga dapat diubah menjadi ide dasar cerita atau ide cerita. Untuk kerangka cerita “Ombak Berdansa di Liquisa”, misalnya, ide ceritanya adalah “seorang aktifis Clandestine membelot ke Indonesia karena dikhianati oleh tunangannya, dan karena dendam dia menjebloskan tunangannya itu ke penjara”. Sedangkan temanya adalah “pengkhianatan yang berbuah pengkhianatan” atau “barangsiapa berkhianat akan memetik pengkhianatan juga”.

Contoh-contoh di atas adalah kerangka yang dikembangkan dari ide cerita. Dapat juga kerangka cerita ataupun cerpen dikembangkan dari tema. Artinya, tema cerita ditentukan dulu, lalu dibuatkan kerangka atau rangkaian ceritanya. Ini seperti kalau kita mengikuti lomba penulisan cerpen dengan tema yang telah ditentukan. Sedangkan cerpen yang didasarkan pada ide cerita, temanya akan terumuskan dengan sendirinya bersamaan dengan pengembangan ide cerita itu menjadi cerpen.

Tema adalah nilai-nilai positif yang akan direaktualisasikan oleh sang pengarang melalui cerpen untuk disampaikan kepada pembacanya. Tiap tema akan membuka lebih banyak kemungkinan cerita yang berbeda. Misalnya, tema “Cinta sejati akan membuahkan kebahagiaan” atau “kebaikan akan selalu dapat mengalahkan keburukan”, dapat dikembangkan menjadi banyak versi cerita, tergantung kemampuan imajinasi masing-masing cerpenis.

 

VI. Langkah-langkah untuk Pembelajaran

Berlatih menulis cerpen dapat dimulai dari latihan membuat cerpen sekaligus secara utuh. Tetapi, dapat juga dimulai dari berlatih membuat unsur-unsur cerita terkecil, kemudian setelah mahir, baru dicoba secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dapat dipakai oleh siapa saja yang sedang belajar menulis cerpen, dan juga dapat dipakai ketika seorang pengajar melatih para siswa menulis cerita pendek.

Berikut ini adalah panduan (urutan langkah-langkah) sederhana latihan atau pembelajaran membuat cerpen tahap demi tahap dari unsur-unsur cerita terkecil:

  1. Berlatih membuat narasi, dari satu kalimat, hingga satu aline, jadi laku tokoh cerita.
  2. Berlatih membuat deskripsi, dari satu kalimat hingga alinea jadi latar tempat, sosial, dan budaya.
  3. Berlatih membuat deskripsi dan narasi untuk menggambarkan karakter tokoh – protagonis dan antagonis.
  4. Berlatih menggabungkan narasi dan deskripsi, jadi laku tokoh dengan latar tempat.
  5. Berlatih membuat adegan, laku lebih dari satu tokoh yang saling berinteraksi, tanpa dialog, dengan latar tempat.
  6. Berlatih membuat dialog, dari biasa hingga berkonflik.
  7. Berlatih membuat adegan yang menggabungkan narasi, deskripsi dan dialog yang berkarakter kuat.
  8. Berlatih membangun konflik sampai klimaks (krisis) dengan berbagai persoalan yang dihadapi para tokoh cerita.
  9. Berlatih memecahkan persoalan yang dihadapi para tokoh cerita dalam cerpen dengan berbagai kemungkinan penyelesaian atau ending
  10. Berlatih membuat kerangka cerpen, lengkap dengan tokoh, karakter, paparan, latar, konflik, klimaks dan endingnya.
  11. Berlatih mengembangkan kerangka menjadi cerpen utuh.
  12. Mencoba menulis cerpen secara utuh tanpa kerangka.

 

Bagi yang sangat berbakat, dapat saja tahapan-tahapan tersebut dilewati, dan langsung belajar menulis cerpen secara utuh, setelah sedikit mempalajari tentang hakikat cerpen, dan unsur-unsur cerita dalam cerpen.

Jika sudah sudah melewati langkah-langkah pembelajaran tersebut di atas, atau secara minat, bakat dan mental sudah siap menulis cerpen secara utuh, sebagai latihan, ide-ide cerita dan penggalan “adegan nyata”, pemandangan unik, atau tema-tema, berikut ini dapat dicoba dikembangkan menjadi cerpen secara utuh.

 

  1. Dari ide cerita sbb.
  2. Seorang nelayan Pelabuhan Ratu ditemukan selamat terdampar di Pulau Chrismas setelah perahu ikannya hilang tergulung tsunami.
  3. Seorang TKW asal Sukabumi berhasil dibebaskan dari hukuman mati setelah jadi tersangka pembunuhan di Malaysia.
  4. Seorang remaja putri memilih membatalkan pertunangannya, karena pacarnya tersangkut kasus narkoba.
  5. Sepasang calon pengantin gagal menikah karena rumah mereka tiba-tiba tergenang lumpur panas Lapindo.
  6. Resepsi pernikahan bubar, karena tiba-tiba pengantin lelaki ditangkap polisi dengan sangkaan terlibat terorisme.

 

  1. Dari penggalan adegan yang unik sbb.
  2. Seorang perempuan, dengan sebilah pisau terhunus di tangan, tiba-tiba masuk rumah tetangganya sambil berteriak-teriak memanggil seseorang.
  3. Seorang gadis berdiri mematung di bibir jembatan penyeberangan, dan nada-nadanya mau bunuh diri.
  4. Seorang ibu berteriak-teriak di atap rumah sambil memanggil-manggil anak perempuannya.

 

  1. Dari pemandangan yang mengusik sbb.
  2. Rangkaian bunga tampak tercampak di depan pintu rumah mewah.
  3. Seorang anak perempuan tertidur sendiri di teras toko.
  4. Sebuah boneka tergantung-gantung di jendela rumah tua yang kosong.
    1. Dari pilihan tema sbb.
    2. Cinta sejati akan berbuah kebahagiaan.
    3. Perkawinan tanpa cinta akan berakhir derita.
    4. Bau busuk perselingkuhan akhirnya tercium juga.
    5. Sepandai-pandai menyembunyikan istri muda, istri tua akhirnya tahu juga.
    6. Kesetiaan yang tulus berbuah kebahagiaan rumah tangga.
    7. Sepandai-pandai tupai melompan pada saatnya akan jatuh juga.

 

       VII. Memilih Gaya Cerpen

Pada awalnya, cerita pendek hanya mengenal gaya realis dan romantis. Kemudian berkembang cerpen-cerpen simbolik dan surealis. Cerpen realis adalah cerita pendek yang mengangkat kenyataan sosial yang getir[5], nyaris secara apa adanya, dengan akhir yang umumnya menyedihkan  (sad ending), bahkan tragis (tragic ending). Cerpen romantis adalah cerita pendek yang menggambarkan realitas serba ideal yang dicita-citakan, serba indah, serba cantik, penuh perasaan, mendekati dongeng, dan umumnya berakhir dengan happy ending.[6] Karena itulah, cerpen romantis sering disebut sebagai ‘dongeng kontemporer’, atau metamorfosis dongeng.[7]

Berbeda dengan cerpen realis dan romantis, cerpen simbolik tidak menggambarkan ‘dunia rekaan’ secara realis atau natural, tapi melalui simbol-simbol. Misalnya, cerpen-cerpen sufistik Danarto, atau beberapa cerpen saya dalam kumpulan cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, Jakarta, 2004), misalnya “Luapan Cinta untuk Kampret”. “Wangsit Pak Lurah”, dan “Penyakit Leher”.  Sedangkan cerpen surealis menggambarkan realitas yang jungkir balik dan melawan logika. Misalnya, cerpen Putu Wijaya yang menggambarkan tokoh cerita yang kepalanya tertinggal di Singapura tapi tidak mati, atau cerpen Seno Gumira yang menggambarkan seseorang yang memotong cakrawala senja untuk hadiah ulang tahun kekasihnya dan potongan itu menyala di saku bajunya.

Secara konvensional, tipologi cerpen diikat oleh prinsip-prinsip estetik, sejak teknik bertutur (deskripsi, narasi dan dialog), plot, penokohan dan karakterisasi, konflik dan klimaks, serta penyelesaian atau ending. Prinsip-prinsip estetik itu menjadi kekuatan utama cerpen realistik dan romantik. Cerpen realistik atau romantik yang tidak mematuhi prinsip-prinsip estetik itu akan menjadi cair atau datar. Sedangkan cerpen simbolik memiliki kekuatan yang agak berbeda, yakni pada ketepatan dan orisinalitas simbolisasinya. Begitu juga cerpen surealis, seperti karya-karya Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma, lebih mengandalkan kekuatan pada orisinalitas imajinasi surealistiknya. Meskipun tetap dibutuhkan kepandaian untuk merangkai cerita, tetapi plot, konflik, klimaks, dan ending, menjadi tidak terlalu penting.

Di antara keempat gaya di atas, banyak juga cerpen yang bernada satir, yakni cerpen yang ditulis untuk menimbulkan cemooh, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kebodohan manusia beserta pranatanya, dengan tujuan untuk mengoreksi penyelewengan dengan cara mengejek dan menertawai obyek cerita guna menimbulkan sikap kritis dan kemarahan terhadap penyelewengan tersebut. Beberapa cerpen sosial-keagamaan Danarto dapat dimasukkan ke dalam gaya ini. Selain bergaya realis, cerpen satir juga sering bergaya simbolik.[8] Sebagai contoh adalah cerpen saya berjudul “Leher Pak Barjo” dan “Dasi Kampret”.[9]

 

VIII. Penutup

Pada akhirnya, kegiatan yang paling menentukan keberhasilan seorang cerpenis pada akhirnya adalah menulis dan menulis itu sendiri. Boleh saja seseorang mengumpulkan ratusan ide cerita, tapi kalau tidak pernah dituliskan tidak akan pernah satupun menjadi cerpen. Boleh saja seseorang membaca puluhan buku tentang menulis cerpen, tapi kalau tidak pernah berani menulis cerpen ia tidak akan pernah bisa menulis cerpen. Ibarat berenang, satu-satunya jalan untuk dapat berenang adalah mencebur ke air dan berenang. Mari kita coba!

 

  •     Jakarta, 20 September 2011/2022

        Dikembangkan dari materi kuliah Creative Writing, UMN Serpong, Semester Ganjil 2011.

 

 

 

  • Daftar Pustaka
  1. Ajidarma, Seno Gumira, Jazz, Parfum dan Insiden, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996).
  2. Ajidarma, Seno Gumira, Saksi Mata, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994).
  3. Danarto, Adam Makrifat kumpulan cerpen (Pustaka Jaya, Jakarta, 1982)
  4. Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2001)
  5. Eddy, Nyoman Tusthi, Kamus Istilah Sastra Indonesia (Nusa Indah, Ende, 1991).
  6. Hasanuddin WS, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia (Titian Ilmu, Bandung, 2004).
  7. Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, Jakarta, 1997).
  8. Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, Jakarta, 2004).
  9. Herfanda, Ahmadun Yosi, Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004).
  10. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Dokumen Jibril, antologi cerpen penulis perempuan Indonesia (Penerbit Republika, Jakarta, 2004).
  11. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Pembisik, antologi cerpen Republika (Penerbit Republika, Jakarta, 2002).
  12. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Kota yang Bernama dan Tak Bernama, antologi cerpen Temu Sastra Jakarta 2003 (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003).
  13. Herfanda, Ahmadun Yosi, dkk., ed., Yang Dibalut Lumut, antologi cerpen Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 (Direktorat Kepemudaan, Dirjen PLSP, Depdiknas, Jakarta, 2003).
  14. Ismail, Taufiq, dkk., ed., Horison Sastra Indonesia: Kitab Cerpen (Horison dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001).
  15. Kelana, Irwan, Setangkai Mawar Terakhir (Bening Publishing, Jakarta, 2004)
  16. Rampan, Korrie Layun, Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia (Grasindo, Jakarta, 2005).
  17. Sumardjo, Jakob, Segi Sosiologi Novel Indonesia (Pustaka Prima, Bandung, 1981).

[1]              Menurut bupati setempat saat itu, Ghafar Sarmento, pada akhir pekan warganya suka mengadakan pesta dansa di Pantai Liquisa.

[2]              Parodi adalah cerita atau penggambaran sesuatu dengan nada yang lucu dan cenderung satire (getir). Sedangkan karikatural adalah gambar atau cerita yang bersifat karikatur, yang lucu dan bertujuan menyindir masyaratkat atau penguasa.

[3]              Contoh jadi cerpen ini ada di dalam kumpulan cerpen Badai Laut Biru (Ahmadun Yosi Herfanda, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, halaman 21-32), dan pernah dimuat di Tabloid Nova edisi 24 Oktober 2004.

[4]              Contoh jadi cerpen ini ada dalam buku kumpulan cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Ahmadun Yosi herfanda, Bening Publishing, Jakarta, 2004, halaman 29-43) dan pernah dimuat di Harian Kompas, 27 Juni 2004.

[5]              Contoh paling gampang untuk ini adalah cerpen aya berjudul ”Balada Sang Korban” dalam kumpulan cerpen Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, halaman 95-104).

[6]              Contoh paling pas untuk ini adalah cerpen-cerpen pop dan cerpen-cerpen remaja, termasuk cerpen-cerpen remaja Islami seperti karya-karya Asma Nadia dan Irwan Kelana, misalnya yang terkumpul dalam Kelopak Mawar Terakhir (Bening Publishing, Jakarta, 2004)

[7]              Anggapan cerpen sebagai metamorfosis dongeng pernah dikemukakan oleh Korrie Layun Rampan dalam Tkoh-Tokoh Cerita Pendek Indonesia (Grasindo, Jakarta, 2005, halaman xi).

 

[8]              Banyak cerpen saya dalam kumpulan Sebelum Tertawa Dilarang (STD, Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (SKdSK, Bening Publishing, Jakarta, 2004), dan  Badai Laut Biru (BLB, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004) dapat dimasukkan sebagai cerpen satire, misalnya cerpen “Ngidam Sang Istri” dan “Luapan Cinta untuk Kampret” (dalam SKdSK, halaman 85-99 dan halaman 165-175), serta “Kiblat Mak Iyah” (dalam BLB, halaman 11-19)

[9]              Kedua cerpen ini ada dalam buku kumpulan cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (bening Publising, Jakarta, 2004).

Related posts

Leave a Comment

17 − 2 =