ESAI 

REAKTUALISASI FITRAH RELIGIUS SASTRA

Esai Ahmadun Yosi Herfanda, pelayan sastra                                                 

——————————————————————————————

 

Sampai hari ini belum ada definisi yang paling pas tentang religiusitas selain semangat untuk setia pada hati nurani, serta sifat-sifat dan kehendak Yang Maha Agung. Dan, demikianlah sastra religius, adalah sastra yang memancarkan semangat religiusitas tersebut.

Semangat religius adalah semangat sastra yang paling fitrah (hakiki). Sebab,  seperti diyakini oleh Iqbal dan kalangan penyair sufi — juga ditegaskan oleh Mangunwidjaja dalam Sastra dan Religiusitas (1981) — pada mulanya segala sastra adalah religius. Karena itu, religiusitas dapat dianggap sebagai fitrah sastra.

Berdasarkan tesis di atas, maka karya sastra yang riligius dapat      dipandang sebagai karya sastra yang mencoba tetap bertahan pada fitrahnya, di tengah narasi besar sastra sekuler dewasa ini. Dengan demikian, sastra religius dapat dianggap sebagai salah satu upaya resistensi terhadap arus dereligiusitasi peradaban manusia.

***

 

Meskipun tidak menjadi mainstream yang mewarnai permukaan         wacana perbincangan sastra, sastra religius di Indonesia terus berkembang    dengan banyak perambah baru. Ia ibarat kebutuhan manusia tentang      religiusitas itu sendiri, yang selalu berdenyut sepanjang sejarah dan peradaban manusia.

Setelah Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, dan Amir Hamzah tinggal menghuni masa lalu, Abdul Hadi WM kemudian muncul sebagai tonggak terkuat sastra religius Indonesia. Tentu, nama yang juga tidak dapat dilupakan adalah         Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, KHA Mustofa Bisri, dan Emha Ainun Najib. Ketiganya telah membangun tradisi sastra religius yang tetap terasa pengaruhnya sampai sekarang.

Dengan semangat ‘kembali ke poetika Timur’, Abdul Hadi WM menajamkan  makna religiusitas menjadi gairah sufistik yang kembali menyambung benang merah tradisi sastra ini sejak Al Hallaj, Jalaluddin Rumi, Rabiah Al Adawiyah, Hamzah Fansuri, dan Amir Hamzah — mata rantai yang agak terputus pada masa Sutan Takdir Alisyahbana, Chairil Anwar dan Taufiq Ismail.

Abdul Hadi memainkan tradisi sastra sufistik dalam simbolisasi-simbolisasi sederhana namun terkait dengan konsep tasawuf yang kompleks, seperti konsep wahdatul wujud dalam kategori tasawuf union mistica (manunggaling Kawulo-Gusti). Tidak seperti Rabiah, Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, dan  Emha Ainun Najib, yang lebih dikuasai denyut kerinduan untuk “bercinta” (ber-mahabbah) dengan Tuhan dengan sajak-sajak yang sentimental, Abdul Hadi — juga Kuntowijoyo — lebih banyak bermain di tataran tasawuf inteletual.

Pasca-Emha masih dapat dicatat sejumlah penyair religius yang         kadang-kadang juga membersitkan nuansa tasawuf, seperti Jamal D. Rahman, Ahmad Nurullah, Soni Farid Maulana, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A Elwa, Abdul Wahid BS, Hamdy Salad, Abidah El Khalieqy, dan Lukman Asya.

***

 

Salah satu metode untuk menciptakan nuansa religius dalam sajak —    selain semangat untuk setia pada hati nurani dan implementasi sifat-sifat Allah — adalah “menghadirkan Tuhan” ke dalam sajak. Tuhan tidak hanya hadir sebagai Sifat dan Zat yang dicinta dan dirindu, atau diurai hubungan kausalitasnya dengan eksistensi manusia, tapi juga diimajinasikan dalam berbagai “wajah kehadiran” guna mengatasi keterbatasan pemahaman manusia tentang eksistensi Tuhan.

Metode seperti itu pula yang dicoba kembali oleh penyair-penyair religius terkini (pasca-Abidah), seperti Rukmi Wisnu Wardhani, Amin Wangsitalaya, Maftuhah Jakfar, dan Lukman Asya – untuk menyebut beberapa saja. Ini sebuah tradisi penciptaan dengan ranah imajinasi yang terkesan dipilih dengan malu-malu oleh banyak penyair Indonesia terkini, di tengah kecenderungan untuk dianggap sebagai penyair avand garde yang lahir dari dunia urban.

Memang, narasi besar (grand narration) perpuisian Indonesia saat ini — setidaknya yang tampak di permukaan — adalah sajak-sajak dengan imaji-imaji profan yang dipenuhi benda-benda dari keseharaian masyarakat urban, bersama teori-teori sastra urbannya. Namun, agaknya, tarikan fitrah religius sang penyair tetap mengajak proses penciptaan mereka ke danau religiusitas yang sejak dulu memang menjadi fitrah sastra.

Salah satu contoh penyair yang memilih mainstream  puisi religius adalah Lukman Asya, hampir semua sajaknya yang terkumpul dalam beberapa buku antologi, kental religiusitas dan bahkan sufistik. Kekaguman dan keterpesonaannya pada Sang Pencipta (Al Khalik) tidak hanya membuatnya mabuk dalam rasa cinta pada Tuhan, tapi juga menyadarkan kefanaan dan ketakberdayaannya sebagai manusia.

Di satu sisi, keyakinannya pada sifat-sifat mulia Sang Pencipta      mendorongnya untuk mewarisi sifat itu dalam perilaku sehari-hari. Tapi, di sisi lain, ia sepenuhnya sadar tetaplah manusia biasa. Dan, karena itu, tidak mungkin menjadi tuhan. Seperti ditegaskan melalui QS Al Ikhlas, Tuhan hanyalah satu (Esa) dan tidak dapat dipersekutukan.

Karena itu, bagi penyair religius — dan siapapun — tidak ada “lowongan kerja” menjadi Tuhan:

 

Bertahun-tahun aku mencari. Tapi

Ibu, tak ada lowongan kerja sebagai Tuhan!

 

Apa yang dirasakan Lukman di hadapan “wajah kehadiran” Tuhan adalah   ketidakberdayaan. Bertahun-tahun ia mencari, tapi begitu menyadari    eksistensinya sebagai manusia fana, maka tidak ada lowongan bagi dirinya untuk menjadi Tuhan, bahkan Tuhan bagi dirinya sendiri. Tuhan yang abadi (baka), yang “tidak berawal” dan “tidak berakhir”, tidak mungkin tergantikan oleh manusia yang fana.

Perasaan kecil, fana, dan tak berdaya itu pula yang diekspresikan sang penyair dalam beberapa sajaknya yang lain, seperti “Milikku Hanya Doa”, dan “Tafakur Daun”. Kita simak kutipan sajak “Tafakur Daun” sbb.

 

Diriku hanyalah selembar daun. Sajak adalah getah kehidupan yang tak

menolak kering tanah nasib bebatuan

Jika semilir datang berkabar dzikir aku cuma bisa mendesah dan menerka

arah mata angin. Diriku sanggup mengenang hujan; menjawab tatapan

matahari. Keringat langit pun kuterima  semenjak aku pucuk di

takdirnya

Jika ada semut yang tualang di tubuhku, kubiarkan ia menyalami

pori-poriku yang sembahyang

 

Tentu, religiusitas seorang penyair tidak hanya dapat diekspresikan dalam rasa kefanaan seperti itu. Religiusitas juga dapat diekspresikan dalam bersitan-bersitan rasa cinta kepada sesama manusia, kepada orang tua atau sanak saudara, bahkan kepada lingkungan alamnya. Sesuai prinsip keberimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas, pilar religiusitas seseorang memang tidak hanya dapat dibangun secara vertikal tapi juga horisontal.

Salah satu pilar horisontal Lukman Asya adalah rasa cintanya yang begitu dalam kepada seorang Ibu, sehingga bayang-bayang sang Ibu mewarnai banyak sajaknya. Sebut saja, misalnya, sajak “Memahami Rumah Sunyi”, “Berkaca Pada Laut”, “Ketika Kalimat Cinta Menjadi Hujan”, dan “Malam Beringsut Seperti Ibu”.

Mencintai serta menghayati eksistensi seorang Ibu, bagi Lukman Asya, juga sekaligus menghayati kefanaan hidup itu sendiri, yang bagai amalam terus beringsut menjadi tua untuk berakhir pada ketiadaan — termasuk diri sang penyair, saat terbaik untuk menyadari dosa. Ini dapat dirasakan pada sajaknya berikut ini.

 

Malam beringsut dan tua seperti ibu

menegur wajahku. Di bawah cahaya bulan disaksikan langit

aku masih judi dengan mimpi sebelum pagi menyembelih puisiku

***

 

Fitrah manusia pada dasarnya adalah religius. Karena itu, persoalan   religiusitas ada sejak manusia pertama — Adam as — diciptakan. Sebab, manusia diciptakan, tiada lain, adalah untuk mengabdi kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama. Misi ini pula yang dibawa para utusan Allah swt, sejak Adam as sampai rasul terakhir, Muhammad saw.

Persoalan religiusitas menjadi kompleks dan penuh tantangan, ketika iblis menolak bersujud pada Adam dan Adam diturunkan ke bumi karena dosanya akibat tergoda iblis. Kini, persoalan religiusitas bahkan makin kompleks dan penuh tantangan, setelah anak-anak Adam menebari bumi dan iblis pun terus mengitari mereka dengan godaan-godaan barunya yang makin ‘post-modernis’.

Namun, justru karena itu, persoalan religiusitas makin tiada habis-habisnya untuk digali dan dituangkan ke dalam karya sastra. Jadi, para penyair yang memilih “jalan” ini tidak perlu khawatir akan kehabisan ide untuk mencipta. Dengan pilihan itu kita justru bisa berharap karya sastra akan tetap ikut memberikan pencerahan bagi jiwa dan peradaban manusia.***

Related posts

Leave a Comment

seven − 1 =