PUISI 

ORANG TAK BERNEGERI DI DINDING WAKTU

Sajak-sajak Nanang Suryadi

 ____________________________________________________________

 

ORANG TAK BERNEGERI

 

Di manakah negerimu?

Dia hanya menggelengkan kepala

dan menggumam demikian panjang.

 

Dia menandai peta dengan api

Membakar batas-batas negeri

Membakar batas-batas mimpi

Membakar segala yang mungkin terjadi

Di sini aku dilahirkan, ujarnya

dalam gumam yang sukar dipahami telinga

Kuterjemah gerak bibir dan mata: rakhine, rakhine…

Mungkin dalam kepalanya dia berkata kata:

Tuhan mencipta bumi untuk manusia seluruhnya

Namun manusia membuat batas batas negara

 

Di matanya kau tahu? Airmata dan debu menyatu

Serupa lukisan kesedihan yang tak pernah usai

“Sebutlah aku kanak kanak bengal.

Seperti berulang-ulang mereka ucapkan

sambil tertawa membakar masa lalu kami.”

 

Matanya. Debu.

Gumamnya adalah arak-arakan masa lalu penuh aduh

Anak bengal anak bengal, gumamnya

 

Dimanakah negerimu? Tanyaku lagi

Kepalanya menggeleng

Aku merasakan dia berdiam di hatiku

Di dalam hati

 

Dia berdiam

Hati yang selalu menangis dalam diam

Negeri dimana dia terus bertahan

 

Malang, 6 September 2017

 

 

 

DI DINDING WAKTU

 

Di dinding waktu kau tuliskan

Mungkin cinta yang ingin diabadikan

Di langit harap kau guratkan

Mungkin rindu yang ingin disampaikan

Kau menerka dimana batas

Hingga kau tak melampaui segala yang pantas

Kau menduga gemuruh riuh ada dalam diam

Kau menafsir kekosongan dalam keriuhan remuk redam

Hari ini, kau menulis puisi

Menjenguk diri sendiri

Nun jauh di dalam diri

 

***

 

 

 

 

CINTA PARA PERINDU

 

pada degup yang gugup,

puisi menyimpan rindumu diam-diam,

dalam-dalam

 

kau tahu debar yang tak terkabar,

debar yang akan membakar,

dirimu mempuing jadi, membara api

 

namun para perindu tak pernah jera

menera cinta di dalam dadanya

 

para pecinta merindu pulang,

kembali menatap wajah Kekasih

 

para pecinta merindu Cahaya,

marak menerang di dalam cintanya yang cahaya

 

***

 

 

 

DI LORONG-LORONG KEHIDUPAN

 

mari menelusuri hingga sudut-sudut, berbagai sisi, yang tersisihkan, menerima denyut hidup, kehidupan

simpan saja keluhmu, tataplah wajah-wajah yang tak kenal lelah menantang kesulitan hidup: kerja. kerja. kerja. bersyukur dan berdoa.

tataplah butiran keringat, dan debu yang menempel di keningnya, jemari yang tak henti bekerja, kaki yang tak berhenti bergerak

di lorong-lorong ini, aku rasakan denyut kehidupan, teriakan memaknai hidup, serupiah demi serupiah, keringat dan debu menerpa

“jahitlah sol sepatumu, gantilah baterai jammu, perbaiki remote control tvmu, periksa payung sebelum hujan” aku dengar tenaga kehidupan

serupiah demi serupiah yang membawa berkah, tak cemburu pada segunung harta tak berfaedah. sebutir demi sebutir keringat ikhlas beribadah

“inilah cinta sesungguhnya, merawat kehidupan, semangat hidup, pantang menyerah,”

 

***

 

 

KABUT TURUN DI HUTAN CEMARA

 

kabut turun di hutan cemara, kabut yang mungkin menjelma puisi, suatu ketika

di sinilah surga berada, di negeri sendiri yang sering dilupa

mata separuh terkatup, tapi mengapa kata selalu menggoda, serupa puisi yang memburu makna

“silakan masuk ke mesin waktu, pilih puisi paling nyeri di waktu yang kau pinta,” ujar aimata.

“mungkin engkau ingin mencari misal dari sebuah amsal, kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, rahasianya

inilah jalan-jalan yang dilalui bintang-bintang, lalu lalang mimpi yang jalang”, ujar debu di sepi itu

 

***

 

 

CINTA YANG MENDAMBA

 

rindu yang menggebu, cinta yang mendamba, inilah sujudku, syair-syair yang tak pernah usai dituliskan

apakah udara yang membuat gigil? atau tubuh yang tak kuasa menolak dingin?

doa dan doa. harap dan cemas berbaur dalam degup dada

doa dan doa. pinta atau sebuah pernyataan cinta?

sungguh sukar menghindar puja puji, semata ikhlas mencintaimu sepenuh hati. duh, sungguh sukar sekali

di batas malam, di puncak malam, ada yang bersimbah. airmata mencari muara asinnya

serupa pepohonan yang rebah, demikian tabah dalam lelaku sembah

diam adalah gerak. gerak adalah diam. keseimbangan dalam semesta. diriku debu. diam atau beterbangan. tetaplah merindu

bacalah. tapi aku membaca dengan mata hati yang rabun, mulai membuta. sejukkan dengan embunmu. terangi dengan cahayamu. agar tak lagi aduh

jutaan binatang liar dalam dada dan kepala, demikian gaduh, dan keheningan membuatnya semakin riuh. aku bersimpuh

apakah aku dapat berpaling dari tatapmu setajam itu?

apakah akal atau rasa, menjangkau engkau, yang rahasia

berserah diri, pasrah, takdir menjadi

malam yang diberkahi, malam yang teramat sunyi, memandang diri sendiri, termangu sendiri

 

Juli, 2015

 

 

AKU INGIN MENULIS SAJAK

 

aku ingin menulis sajak

serupa jejak yang ditinggalkan kucing

di tembok tembok

di gerbang pagar

di rerumputan

di perdu

di batang pohon

di dedaunan

 

aku ingin menulis sajak

menera tanda jejak

 

di dalam ingatan

demikian lamat

tentang sebuah alamat

 

darimana aku datang

kemana aku akan pergi kembali

 

Malang, 21 Mei 2020

 

Dr. Nanang Suryadi, S.E., M.M. (lahir 8 Juli 1973) adalah penyair dan akademisi. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi dan esai sastra yang dipublikasikan di berbagai surat kabar, dan beberapa di antaranya telah digubah dalam bentuk lagu oleh Ananda Sukarlan, dinyanyikan oleh Mariska Setiawan. Nanang Suryadi tercatat sebagai salah seorang akademisi di Universitas Brawijaya Malang.

Related posts

Leave a Comment

18 − eleven =