PUISI 

Subuh dengan Kretek di Tangan

Puisipuisi Ahmad Rizki

___________________________________________________________________

 

SUBUH DENGAN KRETEK DI TANGAN

Nyanyian ayat suci menggema
ke penjuru kampung, sebatang
kretek di tangan terasa
nikmat dan menyenangkan.

Orang-orang mengatakan komposisi cengkih dan tembakau (yang dirakit dengan tangan) yang pertama kali nongol di Kudus 1900-an itu sengaja diciptakan Haji Djamari (atau nama-nama yang tak kusebutkan lainya) dengan itikad pengobatan. Barangkali, De Kretek Konning dengan Tjap Bal Tiga (nama asli Nitisemito) juga berpikir demikian.

Orang-orang percaya Roro Mendut dengan klobot yang terkena lidahnya akan terbayang erotisme. Orang-orang percaya bahwa Sultan Agung pernah mencicipi kretek buatannya. Orang-orang juga mengatakan Rara Mendut sangat mandiri dan teguh pendirian.

Nyanyian ayat suci menggema
ke penjuru kampung, sebatang
kretek di tangan terasa
nikmat dan menyenangkan.

Orang-orang mengatakan Portugis (kira-kira tahun 1600-an) datang ke Nusantara dengan membawa tanaman tembakau. Orang-orang juga mengatakan Cornelis de Houtman membangun perkebunan tembakau di Banten—begitu juga (Deli Maatschappij) tembakau Deli didirikan. Orang-orang mengatakan program tanam paksa sangat berkaitan dengannya.

Nyanyian ayat suci menggema
ke penjuru kampung, sebatang
kretek di tangan terasa
nikmat dan menyenangkan.

Orang-orang mengatakan tembakau sudah purba umurnya. Orang-orang mengatakan tembakau jadi perlawanan farmasi dunia. Orang-orang mengatakan cukainya besar jumlahnya. Orang-orang mengatakan rasanya luar biasa.

Nyanyian ayat suci menggema
ke penjuru kampung, sebatang
kretek di tangan terasa
nikmat dan menyenangkan.

Ciputat, 2020

 

Ketika kuteguk kopi

Ketika kuteguk kopi, pintu
dimensi membawaku
kepada Ethopia, tapi juga mampir
ke pemukiman Suku Gala. Dari

rasa pahit yang itu, tak kulihat
permusuhan antarnegara, tapi
celakanya Paus Clement VIII
melarangnya. Barangkali
pedagang muslim meneguk
kopi untuk menahan gelombang
laut yang kejam, atau sekadar
untuk menghitung penghasilan
pada siang hari Selasa.

Ketika kuteguk kopi, suara
Ibnu Sina terdengar
menegurku sebanyak dua puluh
tiga kali, dan Kiva Han mengejekku
sambil tertawa.

Betapa melankolia bermalam di Venice, dan menghirup wewangian Ceylon, dan membayangkan Louis XIV bertemu Edward Lloyd’s, dan Charles II murka, dan 800 kedai kopi berjejeran di Soho, dan Café de Procope berdiri, dan Belanda membawanya dari Mekkah ke Bogor, dan lambat laun Louis XIV mengizinkan tanaman itu di Jardin des Plantes, dan kedai kopi Florian bertahan di Florence.

Betapa asyiknya melihat Gabriel du Clieu dan Francisco de Mello membawa biji kopi ke Martinique dan Brazil. Atau Johann Sebastian Bach dengan Coffee Cantata yang menyajikan perjalanan spiritualitas. Atau ketakutan Bir nasional Jerman kepada kopi. Atau Fernando Illy berhasil membuat mesin espresso. Atau kedai kopi 1920 meledak di Amerika. Atau New York dengan La Pavoni. Atau Brazil dengan Nestle. Atau tentara perang Amerika membawa kopi untuk ditawarkan kepada segenap negara.

Ketika kuteguk kopi, gerai
Starbucks 1971 dibuka, tapi
wewangian dan rasa tetap sama.
Dari

kenikmatan rasa pahit
dan lika-liku sejarahnya, tak
kulihat permusuhan di antara manusia,
tapi celakanya komoditas tetap
serakah dan persis seperti neraka.
Barangkali tak pernah musnah
kopi dari dunia, hanya menghilang
akibat persaingan dagang dunia—
itupun kalau masih ada harganya.

Ketika kuteguk kopi, abad
tergelincir di gilingan mesin kopi,
tapi kenikmatan masa depan
tercampur di antaranya. Dari

gelas-gelas kopi yang dipesan
orang-orang masa kini, tak
kulihat kemurungan di matanya,
tapi pergulatan persis tak ada bedanya.
Barangkali tak ada kopi
yang terakhir di bumi, hanya saja
manusia yang pasti akan binasa dan
tak mungkin menikmatinya lagi.

Ciputat, 2019

 

Kutemukan Bossa Nova di Ciputat

Malam jatuh di fly over samping
Plasa Ciputat. Iringan gitar
Joao Gilberto dengan chord
miring persis Jaz, kutemukan
di Brazil 1950-an, orang-orang
menyebutnya sebagai Jaz Brazil,
Latin dan Samba. Dari

Tom Jobim dengan Garota de Ipanema yang memunculkan mitos nona Heloísa Pinheiro, atau Astrud Gilberto, atau Baden Powell Aquino dengan Estudos, atau Babel Giberto, atau Carlos lyra, atau Buarque, atau Edu lobo dan Maria B dengan Edu Bethânia, atau Elis Regina dengan O Bem do Amor dan Em Pleno Verão, atau Elza Suares, atau Gal Costa dengan Fantasia, atau Gilberto Gil (seorang pemusik sekaligus politikus) dengan Realce, Tropicália: ou Panis et Circencis, Expresso 2222, atau Hermeto Pascoal, atau O Amor, O Sorriso e a Flor, atau Lisa Ono (seorang perempuan Brasil yang besar di Tokyo) dengan Dream, atau Marcos Velle, atau Nara Leão Vento de Maio, atau Paula Morelenbaum, atau Rosa Passos, atau Antonio Pecci Filho (dikenal sebagai Toquinho) dengan Bella la vita, Doce Vida, Le storie di una storia sola, atau sampai Vinícius de Moraes (O Poetinha) dengan Canção do Amor Demais, semua dirasa cukup nikmat didengarkan.

Malam jatuh di fly over samping
Plasa Ciputat. Nyanyian Bossa Nova
terdengar proaktif dari kemacetan
dan gemuruh bintang-bintang.

Barangkali gitar klasik, drum perkusi, cabasa, surdo,
dan clave, dan vokalis mirip opera membawa sejarah
kegembiraan, kemegahan dan kesepiannya. Katanya,

Bossa Nova menjadi musikalitas orang-orang Borjuis
dengan makanan-makanan yang tak masuk akal harganya,
dan menjadi penunjang eksistensi Brazil di Muka dunia.
Atau John Coltrane mncoba eksperimen Jaz dengan unsur
Bossa Nova untuk memanjakan pendengar Jaz Amerika serikat.
Atau menjadi oposisi kelas pekerja dengan Música popular brasileira.

Malam jatuh di fly over samping
Plasa Ciputat. Iringan
suara Rafika Duri dengan Tirai, Tersiksa lagi (lagu asli dari
Utha Likumahuwa), dan suara-suara lainnya yang tak dapat
kusebutkan satu persatu, barangkali terasa sepi
dan nikmat daripada gemuruh lampu jalanan.

Malam jatuh di fly over samping Plasa Ciputat.
Alangkah damai menikmati komposisi samba
dengan chord 7, 9, atau variasi 1, 2 dan 3 dengan
piano dan 4, 5 dan 6 dengan gitar, atau tempo 139-an,
atau ketukan side stick, atau gabungan keromatik dan arpegio.

Malam jatuh di fly over samping
Plasa Ciputat.

Iringan gitar
Joao Gilberto dengan chord
miring persis Jaz, kutemukan
di Brazil 1950-an, orang-orang
menyebutnya sebagai Jaz Brazil,
Latin dan Samba, tapi kini
kutemukan suaranya di Ciputat.

Ciputat, 2021

 

 

Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya termaktub di media daring. Buku puisi yang terlanjur terbit, SisaSisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan di Instagram @ah_rzkii email ahrizki048@gmail.com

Related posts

Leave a Comment

three × 2 =