PERISTIWA 

Media Seni dalam Pusaran Perubahan

YOGYAKARTA (litera) – Senin pagi 08 Agustus, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) mengadakan Sarasehan Seni Budaya bertajuk Dinamika Media Seni Kita, di ruang seminar lantai satu. Setelah melakukan registrasi, peserta diberi majalah Mata Jendela volume X VII nomor 2 – 2022, dengan headline Ndeso in the New Cool oleh panitia sarasehan. Mata jendela merupakan majalah tua yang berfokus pada seni budaya dan berkiprah di Kota Gudeg.

Kali ini Mata Jendela mengulik tema mengenai bagaimana loyalitas suatu desa dengan berbagai morfologi, karakter dan ciri khasnya menjadi sabuk pengaman identitas budaya di tengah pusaran budaya modernism era digital (4.0). Di dalam majalah tersebut, terdapat tujuh rubrik liputan mendalam (indepth) yang membahas mengenai dinamika kebudayaan desa beradaptasi di tengah industri kreatif yang serba digital.

Salah satunya liputan dari Hans Salvatore dengan judul Semua akan Koplo pada Waktunya (Mata Jendela, hlm: 11), mengulik bagaimana musik koplo yang identik dengan masyarakat menengah bawah dibaca ulang lewat perjalanannya yang kini tengah menjadi musik yang menginflueze  sebagian besar masyarakat Indonesia. Di samping itu, nilai-nilai kultural, adat dan norma yang seperti apakah yang perlu diedukasikan di tengah gempuran dinamika tersebut. Respon-respon akan hal itu lah yang coba diangkat oleh Hans Salvatore selaku seorang pemerhati seni musik.

Tiba pukul 10.00 WIB, diskusi dimulai. Ada 30 peserta perwakilan dari instansi yang menghadiri Sarasehan Seni Budaya pagi itu. Dimoderatori oleh Mbak Wijil, dengan tiga narasumber yang telah lama bergelut pada bidangnya masing-masing, yaitu Satmoko Budi Santoso, Taufiq Nur Rachman dan Latief S Nugroho.

Pada diskusi kali ini, Satmotoko Budi Santoso selaku pimred Mata Jendela membawakan makalah yang berjudul Kiprah Mata Jendela sebagai Media Seni Budaya di Yogyakarta. Telah sepuluh tahun Satmoko Budi Santoso mengabdikan diri untuk Mata Jendela. Perjalanan sepuluh tahun lah yang  mempertajam peta ingatan dalam merekam serta mengurai dinamika Majalah Seni Budaya Yogyakarta ini dalam menghadapi perubahan zaman pada tiap-tiap dekadenya.

Majalah yang lahir sebagai respon atas Polemik Kebudayaan Pujangga Baru (1933), sejak tahun kelahirannya telah membuat pilihan aktualisasi pada contentnya. Dipaparkan oleh Satmoko, liputan mendalam (indepth) dengan narasi yang mengalir dam sastrawi menjadi fokus isi yang dipilih. Dengan rasionalisasi bahwa antologi liputan mendalam dengan satu tema tertentu merupakan format tulisan yang dianggap mampu memediasi bagaimana agar tulisan menjadi tahan lama, atau dianggap sebagai format yang mewadahi untuk menampung ulasan atau kajian fenomena sosial budaya dari masa ke masa, sehingga dapat digunakan sebagai referensi telaah pustaka untuk kemudian dapat dikritisi secara terbuka oleh penulis-penulis selanjutnya.

“Dinamika diskusi atau perdebatan wacana maupun intelektual menggunakan media tulisan itu lah yang terus berusaha kita bangun. Sebab, dengan adanya dialektika pemikiran yang terus lahir, itu kan yang menandakan kebudayaan dan kearifan berpikir kita mewakili suatu bangsa tidak stagnan,” ulas Satmoko.

Dalam diskusi yang berdurasi dua jam itu, Taufiq Nur Rachman selaku sejarawan dan pemerhati literasi mengungkapkan perihal korelasi antara majalah seni budaya Yogyakarta dengan pilihan aktualisasi content yang ternyata sangat erat bersangkutan dengan perjalanan umur Mata Jendela.

Majalah-majalah bergenre Seni Budaya yang seumur dengan Mata Jendela telah banyak yang tutup dan tak lagi terbit, meskipun pada masa itu menjadi referensi bacaan yang sangat tersohor. Adapun beberapa majalah seni budaya yang seumur dengan Mata Jendela di antaranya adalah: Djawa Baroe, Miembar, Seiasat, Basis, Arena, Horison dan Lumbung Pagi.

“Di tengah iklim 4.0 yang serba kreatif dan serba digital, saat semua media cetak telah mengalami senjakala dan tutup, maka media cetak harus terus adaptif namun tetap mempunyai ciri khas, agar bisa bertahan. Sebab, meski senjakala media cetak nampak makin serius, akan tetapi majalah adalah sebuah dokumen yang berisi arsip perjalanan kebudayaan bangsa,” tutur Taufiq.

Di samping itu, Latief S Nugraha menambahkan bahwa tema-tema atau kajian seperti sastra anak Nusantara, film Nusantara, rempah Nusantara, seni tradisi, filologi, kronik maupun arkeologi menjadi tantangan tersendiri bagi generasi milenial yang mana tema-tema ini masih belum banyak tersentuh.

“Kolaborasi antara menggali kearifan peninggalan leluhur kita dan khasanah sistem keagamaan, sosial, budaya pun seni dengan iklim kreatif dan peradaban yang terus berkembang, sebenarnya pembacaan akan hal tersebut terus menerus dibutuhkan, maka kolaborasi diskusi dan gelar karya antar generasi dan antar lokus gerak itu sangat diperlukan,” pungkas pemerhati media Latief S Nugraha nan menjadi pengunjung dari diskusi Sarasehan Seni Budaya Yogyakarta edisi Agustus 2022 ini. @ afin nur fariha

______________________________

Afin Nur Fariha, seorang penulis lepas yang memulai perjalanan menulis dari Komunitas Jurnalis Muda Kota Kediri (Kojurda), mengembara di Yogyakarta dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Arena, Sastra Bawah Pohon dan Aksara Semesta. Melanjutkan karir menulis di Jakarta dalam wadah Perempuan Muda Menulis. Kini sembari melakukan kajian sastra rutin di Rumah Kata juga mengajar di SMK Peradaban Desa.

Related posts

Leave a Comment

ten − 1 =