MERAMBAH BELANTARA PUISI SEORANG PENYAIR URBAN*
Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pemred Litera
___________________________________________________________________
Puisi adalah belantara yang terbuka. Judul hanyalah tebing penghalang bagi pembaca untuk melihat berbagai kemungkinan makna. Demikian inti kredo penyair Imam Ma’arif pada pengantar buku kumpulan puisi terbarunya, Puisi-puisi Imam Ma’arif, 2022.
Saya agak tergelitik pada kredo itu. Akan tetapi, baiklah, kita lupaka dulu kredo penyair urban ini. Kita coba marambah belantara puisi-puisinya dulu. Kita simak apa saja yang diungkapkan, dan bagaimana ia mengungkapkannya. Apa saja simbol-simbol yang dipakainya, bagaimana keutuhan imajinya, dan bagaimana permainan metafornya. Bagaimana pula ia memandang Jakarta sebagai sumber inspirasi atau sumber ide bagi sebagian besar sajaknya.
Membaca beberapa sajak Ma’arif, semuanya tanpa judul, kita akan memasuki belantara yang unik, dengan imaji-imaji yang menarik. Satu kali kita diajak masuk belantara Jakarta yang penuh pesona urban, kadang kita sekali waktu diajak masuk ke belantara lain, ke dalam diri unikum sang penyair. Karena pesona urban, dalam salah satu puisimya, sampai-sampai seorang ibu membeli Jakarta dan membawanya pulang ke desa:
Seorang Ibu membeli kota di Jakarta.
Ia membawa pulang ke desanya mengendarai kelotok,
menyisir sungai tempat hidup disandarkan.
Anak- anaknya senang bisa bermain- main dengan kota
di rumahnya yang tak lagi sepi. Sekarang mereka bisa
bergaya kota dan membicarakan daerah tertinggal dari rumahnya.
Jika malam, mereka mengejar kunang- kunang
yang berterbangan di jalan raya. Sampai lupa di mana ia tinggal.
“Kota itu mahluk, kelak, akan tumbuh besar dan menjadi ibu bagi kota lainnya,” kata ibunya.
Begitu dibawa ke desa, pesona urban kota Jakarta langsung mempengaruhi keseharian anak sang ibu. Anak itu secara cepat meniru gaya kota (Jakarta), dan tiap malam mengejar kunang-kunang yang beterbangan (lampu-lampu kendaraan) di jalan raya. Ini pertanda bagaimana kuatnya pengaruh gaya kota, budaya urban, pada anak-anak (remaja). Juga pengaruh urbanisme pada kota-kota lain, “Kota itu makhluk, kelak, kelak akan tumbuh menjadi besar dan menjadi ibu bagi kota lainnya.”
Ma’arif mengibaratkan kota sebagai makhluk hidup, dan pengaruh budaya urbannya tidak terbendung. Siapa saja yang melihat tingkah laku kota itu akan terpengaruh, dan pengaruh itu akan terbawa pada kesehariannya. Pengaruh itu akan dengan cepat menjarah kota-kota lain, terutama kota-kota di sekitarnya (Botabek), dan kelak Jakarta akan menjadi ibu bagi Botabek, menjadi Megapolitan.
Penempatan puisi itu pada urutan pertama menandakan bahwa Jakarta menjadi sumber inspirasi utama, sumber ide, sumber imajinasi, bagi sebagian besar puisi Ma’arif. Sebagai penyair urban, ia ingin menyampaikan kesan, perasaan, pemikiran, atau empatinya tentang Jakarta. Coba simak puisi berikut ini:
ada matahari berteduh
di bawah jembatan, menunggu hujan reda
Ia ingin segera menemui cahaya
yang terkepung banjir
di kota ini, daun- daun menjemput akar
telinga mendatangi suara
bisikan lebih terdengar dari ucapan
nalar berjalan pincang
cahaya takut pada bayangan sendiri
ada juga yang abadi jadi patung
ia segera menyelinap membebaskan cahaya
dari kepungan banjir dan kegaduhan
Puisi di atas cukup menarik, tentang matahari yang berteduh di bawah jembatan. Sang matahari ingin menemui cahaya, tapi terkepung banjir dan hujan. Simbol-simbol alam dipakai dalam membangun imaji puisi yang sederhana tapi dalam maknanya. Dengan simbol-simbol alam itu penyair memainkan metafor yang unik, dan menggambarkan satu fokus tentang Jakarta.
Sebagaimana pernah dikemukakan Rene Wellek, puisi yang indah umumnya memanfaatkan simbol-simbol alam (natural symbol) sebagai pembangun imaji (gambaran) keseluruhan suasana puisi. Wellek memang hidup di Eropa dan Amerika pada pasca Perang Dunia II. Tetapi, temuannya tentang penggunaan simbo alam dalam puisi, banyak kita temukan pada puisi-puisi modern di berbagai belahan dunia.
Tentu, penggunaan simbol alam tidak ada kaitannya dengan temuan Wellek. Sejak sebelum ia mengamukakan teorinya, secara alami sudah banyak puisi yang menggunakan simbol-simbol alam. Puisi (pentun) Melayu, misalnya, sudah dari dulu sudah lazim menggunakan simbol-simbol alam. Misalnya puisi tentang cinta sbb:
Dari mana datangnya lintah
Dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari mata turun ke kali
Imam Ma’arif menggunakan simbol-simbol alam tentu bukan karena mengikuti Wellek. Tapi, sebagaimana lazimnya tradisi penulisan puisi, agar indah imajinya, biasanya menggunakan simbol-simbol alam. Kenyataannya, manusia, bagaimanapun urbannya, belum bisa lepas dari alam sebagai habitat kehidupannya. Unsur alam yang selalu dibutuhkan manusia adalah udara segar, oksigen. Tanpa oksigen manusia bisa mati.
“Matahari”, “cahaya”, “hujan”, “banjr”, “bayangan”, adalah simbol-simbol alam yang cukup pas untuk menggambarkan situasi Jakarta saat banjir. Matahari pun berteduh dan harus menyelinap untuk membebaskan cahaya dari kepungan banjir. Matahari dalam konteks ini hanyalah simbol seseorang yang membawa harapan, rencana, atau cita-cita, yang nyaris padam karena kepungan banjir dan terpaksa berteduh di bawah jembatan. Sedangkan cahaya adalah simbol harapan, rencana, atau cita-cita itu. Dan, semua itu terjadi di Jakarta, dengan latar suasana Jakarta.
Sekarang kita coba simak puisi yang tidak berlatar Jakarta, tentang perjalanan sepiring nasi, berikut ini:
Pernahkah kau dengar perjalanan sepiring nasi
yang berakhir di gerbang mulutmu. Sebelumnya,
ia berdiri di tengah sawah, dipanggang matahari,
disisir angin, dan berendam air.
Ibumu menggendongnya ke rumah untuk ditanak
buat dirimu yang lugu dari sebuah perjalanan.
Sepering nasi telah mengantarmu ke mana saja pergi.
Dapat apa pun kau, ia tak meminta.
Pernahkah kau dengar suara nasi dari piringmu menjerit
karena sawah tumbuh batu-batu?
Sepiring nasi bisa berjalan di manapun, mengantarmu ke mana saja pergi, sebab ia tidak terikat oleh suasana Jakarta, walaupun inspirasi itu bisa saja datang ketika penyair urban ini sedang berada di Jakarta. Bagian akhir puisi ini mengisyaratkan dampak urbanisasi – sawah tumbuh batu-batu (gedung-gedung) — yang merupakan pengaruh kota, pengaruh Jakarta: “Pernahkah kau dengar suara nasi dari piringmu menjerit, karena sawah tumbuh batu-batu?”
Pada puisinya yang lain lagi, penyair ini berbicara secara secara simbolik tentang segerombolan ulat yang memakan apa saja saking rakusnya – mungkin Ma’arif menyindir koruptor – memakan kertas, memakan hutan, memakan batu, memakan logam, minyak, ikan, daun dan tanah mati. Simbol-simbol dan metafor alam (hutan, batu, daun, ikan, tanah mati) dirangaki dalam imaji kerakusan yang menyeramkan:
Segerombolan ulat memakan kertas di dalam gedung.
Jika kertas habis, mereka serentak berangkat ke hutan memakan pohon,
menggerogot batu-batu, memakan logam, menghisap minyak,
berburu ikan di laut. Ulat-ulat memakan apa saja asal menyenangkan.
Tak perduli hutan tinggal satu daun, dan tanah mati.
Mereka tak pernah menjadi kupu-kupu.
Begitulah kurang lebih sajak-sajak Imam Ma’arfi, walaupun ia seorang penyair urban, kesehariannya di lingkungan komunitas Planet Senin, di pusat kota Jakarta yang metropolis, tetap banyak memilih simbol-simbol alam, metafor-metafor alam, imaji-imaji alam, dalam menuliskan pikiran dan perasaannya dalam puisi-puisinya. Mungkin simbol-simbol alam itu (tiap kata dalam puisi adalah simbol) datang dari ingatan (memori) masa kecilnya ketika ia masih tinggal di Desa Gombong (Lamongan, Jawa Timur), yang terakumulasi dengan pengalamannya membaca keadaan selama menjadi manusia urban di Jakarta.
Sajak-sajak berikutnya penyair urban ini mengungkapkan beragam tema, dengan imaji perkotaan, berkolaborasi dengan imaji-imaji alam, yang kadang-kadang bening dan utuh seperti embun pagi, kadang-kadang agak keruh seperti gambar gagal fokus. Tampaknya, seperti masuk belantara, dan diserbu banyak ide, Ma’arif berbicara banyak tentang banyak hal, sehingga tidak fokus.
Sebenarnya menarik untuk membicarakan semua puisi dalam buku kumpulan puisi ini secara lebih detil, dengan contoh-contoh kasus puitik pada tiap puisi, dengan menyebut judul puisi sebagaimana lazimnya membicarakan buku kumpulan puisi. Tapi tidak mudah karena puisi-puinya semuanya tanpa judul.
Tentu bisa dengan mengutip puisi itu secukupnya tiap menemukan kasus puitik. Tetapi, pastilah membutuhkan pembahasan panjang. Jadi, puisi-puisi tanpa judul ternyata menyulitkan juga untuk diapresiasi, untuk dibahas, setidaknya bagi saya. Dengan demikian, apakah akan terus membiarkan puisi-puisi berikutnya tanpa judul, karena sudah telanjur menjadi kredo? Imam Ma’arif bebas memilihnya.
Pamulang, Oktober 2022
*Prasaran untuk diskusi peluncuran buku Puisi-Puisi Imam Ma’arif 2022 di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta, 13 Oktober 2022, pukul 14.00.