PUISI 

PRASASTI KOPI RUMAH KITA

Puisi-puisi: Vito Prasetyo ____________________________________________________________________

 

Puisiku Berdoa Hingga Lupa Memberi Judul

hingga dadaku terluka, ketika cinta itu kautanam di pohon kemarau
berapa musim lagi hujan membasuhnya dan tumbuhkan daun-daun berkilau cinta
hanya cawan waktu, memisahkan rindu dan gelisah. mata kita hanyalah tempat menyimpan segala isyarat
bukankah bait-bait majas merapal doa, menghitung kemarau dan hujan di baris-baris shaf, yang menyulam alif-ba’-ta’
tak selamanya hujan itu butiran air bening yang mengalir di pelupuk mata
tak selamanya kemarau itu, dahaga yang menggumpal di kedangkalan sujud
puisi bukanlah tempat keabadian, dimana diksi selalu mengingkari lafal-lafal bersih
cinta mungkin terlalu sakral untuk memisahkan rindu dan gelisah
seperti hujan dan kemarau yang mengudar langit di antara pelepah siang-malam
masih adakah pintu labirin untuk membiarkan rindu dan gelisah
jalan beriring di persimpangan doa
membiarkan sedih dan gembira terkatup dalam kesunyian sepi
dalam diam, puisiku kadang beranjak, mengembara dan berkelana menuju batas yang tak berwujud, hingga sayap sajakku patah, menunggu peziarah taburkan cinta di pusaraku
apakah kematian itu harus dimaknai dengan diamnya rindu dalam keabadian
adakalanya kita tak mampu menghadirkan kembali waktu yang paling berharga dalam menuntaskan kegelisahan, dimana waktu itu menjadi dimensi yang mengurung kita dalam sepi dan kerinduan yang teramat dalam
jika hari ini puisiku tak terbaca, itu karena bersujud dan bermunajat
sebab dengan doa, puisi tak harus melafalkan judul

Malang, 2022

 

Rumah Kita

Merapatkan dingin lewat malam yang diam
angin pun menerobos, menghentak pikiran
sebagian aksara terbaring membaringkan segala penatnya

Di sini
kutulis seutas gelisah
menggenang pada pelupuk awan tipis
hingga mataku tak lagi mampu
menatap batas langit

Lewat rintihan malam
desah napasku telah tertumpah
terbaring pada bait-bait usang
tanpa makna meninggalkan bibir ranum
sehelai kertas

Menghanyutkan jiwa, dalam petaka tanpa akhir
membuat sajakku menggurat letih
Bukankah aku pernah menikam langit
membakar cahaya saat mengembara di padang tandus
dan meninggalkan tanah-tanahku
membiarkan padang ilalang tumbuh
rumahku pun bagai kehilangan nyawa

Waktu telah menghapus semua jejakku
musim berganti musim
seharusnya kuingatkan langkah-langkahku
dalam sebuah sajak baru, penuh cinta

Kubuka lembaran kertas
seperti menghangatkan sebuah kematian tertunda

Sepucuk makna membuatku terkesima
kawanku, Jalaludin Rumi
pernah menitip pesan
“jika engkau suka, pakailah jiwaku, agar sajakmu bermunajat dalam doa”

Malang – 2021

 

Prasasti Kopi

mereguk cahaya
rebahkan dahaga
menyudahi luka yang menguak
perjalanan ini tak pernah usai
di kelokan jalan satukan tempayan resah
dan di penghentian rindu
janji lama telah menanti jawaban

sajak-sajak kita beranjak
menelusuri sudut kota
di pertemuan ruang yang kita sebut café
tempat merumuskan janji itu
tatapan kita, lalu-lalang
membakar gelisah, peluh mengalir deras

meja dan kursi, memandang kebodohan kita
pada secangkir kopi, kita tawarkan cinta
angin pun tergelak di telatah cengkerama
seakan barisan parade, pembentuk kata-kata
rapat dan gegap gempita
di antara kata-kata kita
kian pudar, melepuh zaman
asap pun serupa gincu
di bibir indah cangkir kopi
mengundang keberingasan kita melumatnya

adalah aroma yang membuat aku dan dirimu
seperti diksi berjalan lalu-lalang
tertuang di selembar prasasti
yang mengakhiri percakapan resah dan gelisah
menjadi sebuah puisi, meski kopi tetap pahit

Malang, 2022

 

 

VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kab. Malang– Pernah kuliah di IKIP Makassar.
Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat budaya.
Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa telah dimuat media cetak lokal, nasional, dan Malaysia.
Termaktub dalam Buku ‘APA DAN SIAPA PENYAIR INDONESIA” (tahun 2017)

 

 

Related posts

Leave a Comment

18 − ten =