JALAN PULANG KE OSAKA
Cerpen: Vito Prasetyo ____________________________________________________________________
Rumah di depan rumahku itu kini telah berpenghuni. Rumah yang telah direnovasi total, sehingga tampak berbeda dengan rumah-rumah di sebelahnya. Ada taman mungil berbentuk asimetris dengan sebuah kolam yang dikelilingi batu-batu. Tanaman-tanaman bonsai yang dipotong rapi, serta jembatan mungil yang menghubungkan kolam dengan teras. Pintu utama menggunakan model pintu geser. Di langit-langit teras, tergantung sebuah lampu dengan kap berbentuk lampion yang bertuliskan huruf kanji. Benar-benar Japanese style house.
———————————–
Gambar diambil dari Lovepic
———————————–
Sebetulnya tak terlalu menyita perhatianku, kalau saja penghuninya adalah pasangan muda seperti aku, yang baru memiliki satu atau dua anak. Tetapi kenyataan bahwa penghuninya adalah sepasang kakek nenek yang sudah berusia sekitar 70 tahun, benar-benar menimbulkan berbagai pertanyaan dalam hatiku. Tak lazim saja menurutku. Biasanya orang-orang tua akan bertahan untuk tinggal dalam rumah lama mereka yang penuh kenangan.
Sebagai perumahan yang baru tumbuh, kebanyakan penghuninya adalah keluarga muda yang masih dalam usia produktif. Mengamati tetangga baru yang agak “berbeda” adalah kebiasaan khas ibu-ibu. Wajarlah kalau aku tidak bisa secuek suamiku.
Setiap hari Minggu sebelum matahari terbit, aku dan suamiku berolah raga pagi keliling kompleks sekalian pergi ke pasar bersih untuk berbelanja. Aku sepakat dengan suamiku untuk mengurangi penggunaan motor dan mobil, apabila jarak bepergian kami kurang dari 2 km. Sebagai warga negara yang baik, kami berusaha memberi contoh untuk mengurangi emisi gas karbon. Dua anakku yang masih berusia 6 tahun dan 2 tahun biasanya masih tertidur pulas, sehingga aku tinggal di rumah bersama pengasuhnya.
Di pertigaan kompleks dekat taman, yang salah satu jalurnya akan menuju ke area sport, kami bertemu dengan mereka berdua. Maksudku, sepasang Opa dan Oma yang tinggal di depan rumahku. Kami pun saling bertegur sapa. Opa Carson terlihat sangat menyayangi Oma Theresia. Terbukti dari genggaman tangannya yang erat di tangan perempuan yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu.
Rasa hatiku yang penasaran menyebabkan sebuah pertanyaan keluar dari mulutku begitu keduanya berlalu dari hadapan kami.
“Sudah tua kok masih seperti pengantin baru saja ya, Pa?”
“Ya seharusnya memang seperti itu, apanya yang aneh?”
“Tetapi kenapa mereka harus pindah ke tempat yang baru?” tanyaku lagi. Suamiku rupanya mulai agak terganggu dengan kecerewetanku.
“Lah mungkin mereka tidak mau merepotkan anak-anaknya to Ma…. Sudahlah, kamu itu sukanya kok mengurusi urusan orang lain?”
Dan seperti biasanya, aku memilih untuk diam, tak lagi berusaha menuruti rasa penasaranku. Kami adalah dua pribadi yang mudah tersulut. Raka, tuan keras kepala dan susah diatur. Aku, si nyonya pengatur dan penuntut. Namun rupanya takdir Tuhan telah mempersatukan kami dalam sebuah mahligai rumah tangga. Kami pun ternyata bisa menjembatani perbedaan di antara kami. Tentu saja tetap ada riak-riak kecil seperti perbedaan pendapat atau pun masalah sehari-hari yang lain. Tetapi semua masalah langsung selesai begitu kami masuk ke tempat tidur.
“Well…. hari ini mau dimasakin apa, Pa?”
“Tengiri masak asam manis….”
“OK….”
Raka menggandeng tanganku. Aku tersenyum kecil, teringat kemesraan Opa Carson dan Oma Theresia yang baru saja kami lihat. Rupanya Raka terpengaruh juga. Hari Sabtu dan Minggu aku selalu menyempatkan diri untuk memasak makanan kegemaran suamiku. Hari Senin sampai Jum’at kami selalu lunch di kantor masing-masing. Bertemu lagi sudah malam, karena selalu terkena macet di perjalanan. Sehingga pada hari-hari biasa aku selalu mengandalkan untuk membeli makanan di luar.
Raka tampak puas dengan makanan yang aku buat. Tengiri masak asam manis, sayur bayam bening, perkedel daging, ditutup dengan desert berupa puding buah mangga yang sudah aku dinginkan di kulkas. Kami sudah selesai menyantap makan siang hari itu, ketika suara bel rumah menggema. Aku melangkah ke luar untuk membukakan pintu.
“Ini syukurannya Opa Carson, Bu….” Tutur seorang perempuan muda berkaus biru.
“Terima kasih Mbak, aduh repot sekali. Dalam rangka apa ya?”
“Pemberkahan ikrar perkawinan…”
“Perkawinannya…siapa?”
“Opa Carson dan Oma Theresia…”
Aku menyembunyikan keterkejutanku dengan mengarahkan pandangan ke arah tutup kotak kardus makanan. Di atasnya bersematkan nama sebuah restoran terkenal. Aku menitipkan ucapan terima kasih, sebelum perempuan muda itu berlalu.
Terjawab sudah rasa penasaranku tentang beberapa mobil yang terparkir di depan rumah, tamu-tamu yang berdatangan dan beberapa pendeta dengan jubah yang khas. Namun timbul pertanyaan yang baru dalam benakku. Pemberkahan perkawinan?
Sebelum kehadiran Opa Carson dan Oma Theresia, rumah itu sudah lama kosong, sehingga catnya sudah banyak yang mengelupas. Hanya sesekali pemiliknya, seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk, datang menengok. Namun kata satpam kompleks, tahun lalu, rumah itu telah dijual kepada seorang pensiunan perwira tentara. Dan rupanya oleh pemilik yang baru, rumah itu telah dibongkar dan diubah menjadi sebuah rumah unik bergaya Jepang. Mungkin Opa Carson-lah pensiunan perwira tentara itu.
Sebulan pertama dia tinggal, aku sudah mulai hapal kebiasan-kebiasaan yang dilakukan oleh sepasang Opa dan Oma itu. Terutama di hari Sabtu dan Minggu saat aku libur dari rutinitas kantor. Pagi-pagi, mereka akan berjalan-jalan keliling kompleks. Siang sedikit mereka akan minum teh berdua di teras. Lalu mereka akan tenggelam di rumah sampai sore. Malam hari, mereka akan keluar rumah dengan mobil. Mungkin untuk makan malam di luar. Namun untuk urusan jalan-jalan keliling komplek, itu selalu rutin mereka lakukan setiap pagi. Dengan mesra, Opa Carson akan menggamit lengan istrinya.
Kata Siti, pengasuh anakku, Seminggu dua kali mereka akan keluar diantar oleh perempuan muda yang belakangan kuketahui bernama Sendy. Opa Carson dan Oma Theresia akan duduk di jok belakang, dan Sendy yang memegang kemudi. Sebetulnya Sendy itu pembantunya atau sopirnya? Atau pembantu yang merangkap sopir? Ah… aku juga kurang mengerti.
Suamiku hanya sesekali membunyikan klakson sebagai pengganti sapaan, saat kami mau berangkat ke kantor dan kebetulan mereka berdua sedang berjalan-jalan ke luar rumah. Dan Opa Carson akan mengacungkan jempol sambil tersenyum. Namun kata Siti, Opa Carson sangat peduli pada anak-anak. Saat mendengar Si Kecil menangis, Opa Carson akan berkunjung ke rumah sambil membawa beberapa lembar kertas. Dibuatnya kertas itu menjadi beberapa bentuk seperti katak, burung, atau kelinci. Diberikannya origami itu kepada anakku yang sedang menangis. Setelah tangisnya mereda, barulah Opa Carson beranjak pulang.
”Mungkin Opa Carson kangen sama cucunya, Bu…” kata Siti suatu hari.
“Memangnya cucunya tinggal di mana?”
“Jauh….Kata Mbak Sendy, anaknya Opa Carson cuma dua. Yang satu di Singapura, satunya lagi di Australia.”
“Kalau berkunjung ke sini tidak pernah mengajak Si Oma?” tanyaku ingin tahu.
“Kata Opa, Oma Theresia sedang sakit.”
Pada awal bulan kedua dan ketiga, aku dikejutkan lagi oleh mobil-mobil yang diparkir di jalanan depan rumah. Tamu-tamu yang berdatangan ke rumah Opa Carson, mungkin cukup jauh, dari luar kota. Lalu Mbak Sendy kembali datang ke rumah untuk mengantarkan sekotak nasi.
Pemberkahan perkawinan lagi? Opa Carson masih sering berjalan-jalan keliling komplek bersama istrinya, Tetapi sekarang Oma Theresia tidak digandengnya, melainkan didorongnya menggunakan sebuah kursi roda. Rupanya Oma Theresia sakitnya bertambah parah.
Memandang kedua orang tua itu seakan telah mengingatkanku kembali kepada kedua orang tuaku yang telah tiada. Juga kepada mertuaku yang jauh di Medan sana. Kadang aku ingin mengundang Opa Carson dan Oma Theresia secara khusus ke rumah. Atau aku sendiri yang beranjang sana ke rumahnya. Tapi kapan? Aku selalu sibuk di kantor. Sementara hari Sabtu dan Minggu seringnya aku punya acara sendiri bersama Doni dan anak-anak. Tetangga yang lain juga kelihatannya kurang peduli kepada mereka.
Kalau pun ada yang peduli, paling hanya karena terdorong oleh rasa penasaran belaka. Seperti yang dilakukan oleh tetangga yang rumahnya paling ujung. Ia pernah bertanya kepadaku saat bertemu denganku di hari Sabtu, “Eh Mbak Erna… Itu tetangga depan rumahmu siapa namanya?”
“Opa Carson sama Oma Theresia….” jawabku singkat.
“Itu perempuan muda yang tinggal bersamanya itu anaknya atau cucunya ya? Kok masih muda sekali?”
Suatu hari, tetangga samping rumah tiba-tiba datang berkunjung ke rumah. Rupanya ia hanya ingin bertanya-tanya tentang Opa Carson.
“Jeng Erna, tetangga depan rumah itu kok sering mengadakan pesta perkawinan, yang kawin siapa sih?”
“Katanya sih, Opa Carson sama Oma Theresia,” jawabku sambil tersenyum.
“Orang tua kalau sudah pikun memang suka aneh-aneh ya? Masa pernikahan setiap bulan sekali, jangan-jangan….”
“Jangan-jangan apa Bu Yuni?”
“Pembantu kok penampilannya bersih seperti itu? Jangan-jangan dia itu istri mudanya Si Opa, lalu ia merasa bersalah sehingga setiap bulan mengulangi kembali ikrar perkawinannya dengan si istri tua?”
“Ah masa, setua itu…..”
“Eh jangan salah… sekarang banyak obat herbal lo Jeng….” Tetanggaku terkikih.
Aku hanya tersenyum sambil berkata,
”Sepengetahuan saya, Opa Carson sayang sekali kok sama Oma Theresia…”
Awal bulan keempat, tetangga depan rumah masih menyelenggarakan upacara pemberkahan perkawinan lagi. Tapi sehari sesudahnya, tampak sebuah mobil ambulance meraung-raung meninggalkan rumah unik bergaya Jepang itu.
Aku yang baru saja pulang dari pasar bersih sangat terkejut. Bu Yuni tetangga sebelah rumahku menjawab rasa penasaranku dengan ceritanya yang terbata-bata, “Oma Theresia sakitnya bertambah parah, makanya dibawa ke rumah sakit…”
“Oh ya? Kasihan sekali ya Bu…”
Namun ketika beberapa hari kemudian rumah itu tetap sepi, aku jadi merasa kehilangan beberapa hal. Senyum tulus dari Opa Carson. Juga suara kursi roda yang didorongnya keluar dari gerbang rumah, saat embun belum lagi menguap ke udara.
Lagi-lagi aku harus mencari tahu ke rumah Bu Yuni, tetanggaku Si pencari berita itu. Rupanya ada cerita baru tentang keluarga Opa Carson.
“Bu Yuni tahu, Oma Theresia dirawat di rumah sakit mana? Saya kok kepengin menengok ya Bu…”
“Wah…. kalau sekarang ya sudah terlambat Jeng…”
“Loh…. kok?”
“Iya, pokoknya kata perawatnya Oma Theresia itu. Oma sudah meninggal Jeng…”
“Meninggal?”
“Iya, tetapi jasadnya langsung di bawa ke Singapura. Katanya mau diperabukan di rumah anaknya yang pertama.”
“Lalu Opa Carson?”
“Wah…. Jeng Erna ketinggalan berita lagi. tiap hari ngantor sih, jadi tidak tahu kalau Opa Martin sudah ikutan pindah ke Singapura. Hari Jumat kemarin ia berkemas.”
Aku tertegun. Rupanya cerita ini benar adanya, waktu ia berkata, “Opa Martin sudah pindah Bu….”
“Pindah ke mana? Ke rumah sakit menunggui istrinya?”
“Kurang tahu Bu, yang jelas tidak akan tinggal di rumah itu lagi ….”
Setelah kepergian mereka, hari Minggu terasa berbeda. Tidak ada lagi suara kursi roda yang didorong oleh Opa Carson keluar dari rumah. Aku tidak lagi bisa berharap untuk bertemu dengan mereka di pertigaan kompleks dekat taman. Tiba-tiba aku jadi menyesal, kenapa kok dulu tidak berusaha untuk mengobrol dengan mereka. Sebetulnya hari Sabtu dan Minggu aku punya kesempatan untuk mengobrol dengan mereka, tetapi aku memilih cuek.
Namun siang harinya aku dikejutkan oleh kedatangan Mbak Sendy ke rumah. Waktu itu aku sedang duduk-duduk di teras rumah. Kulihat Mbak Sendy mengeluarkan sesuatu dari mobil. Sebuah kardus besar.
“Permisi Bu Erna, ini ada titipan dari Opa Carson.”
“Oh iya, terima kasih. Duduk dulu di dalam yuk, Mbak Sendy.”
Mbak Sendy tidak menolak tawaranku. Dia juga mau menjawab semua tanya yang selama ini mengusikku. Rupanya Oma Theresia menderita penyakit stroke, yang menyebabkan ia menjadi amnesia. Oma Theresia tidak pernah ingat bahwa ia sudah menikah dengan Opa Carson. Untuk menyenangkan hati istrinya, setiap sebulan sekali Opa Carson mengundang bhikkhu untuk memperbaharui ikrar perkawinan mereka. Satu-satunya yang diingat oleh Oma Theresia hanyalah kampung halamannya di Osaka, Jepang. Raganya yang sakit-sakitan tidak memungkinkan lagi bagi Oma Theresia menengok kembali kampung halamannya. Untuk itulah Opa Carson membangun sebuah rumah bergaya Jepang untuk istrinya.
Aku membuka kardus yang dibawa oleh Mbak Sendy.
“Origami burung bangau?”
“Jumlahnya 724 Bu Erna, jadi kurang 276 lagi supaya genap menjadi seribu.”
“Kenapa harus seribu?” Tanyaku tak mengerti.
“Kalau ada seribu bangau, maka akan terkabul keinginan si pembuat origami. Meski Opa Carson tahu bahwa umur istrinya tidak akan lama lagi, tapi Opa Carson tetap menginginkan sebuah keajaiban.”
Aku tidak mengerti maksud Opa Carson memberikan origami bangau itu. Mungkin agar bisa dibuat mainan oleh anakku. Mungkin pula Opa Carson ingin agar aku menggenapkannya menjadi seribu. Apapun maksud Opa Carson, yang jelas diam-diam aku merasa kehilangan juga. Betapa setelah menikah, kita memang harus berkali-kali jatuh cinta, tetapi pada orang yang sama.
Genap 3 bulan sudah rumah bergaya Jepang itu tidak berpenghuni. Kata satpam kompleks, Opa Carson telah meninggal saat membawa abu istrinya ke kampung halamannya di Osaka. Benar-benar cinta yang sulit dicari tandingannya.
Namun di suatu minggu pagi yang dingin berkabut, aku terbangun oleh suara-suara gerit roda dari logam yang beradu dengan jalanan di depan rumah. Penasaran, aku sibak tirai jendela. Dan rambut-rambut di kulitku tiba-tiba meremang. Kulihat sosok lelaki tua yang sedang mendorong sebuah kursi roda. Di atasnya duduk seorang perempuan tua bermata sipit. Tirai segera kututup dan refleks, aku membalikkan tubuhku. Jantungku berdebar-debar.
*****
VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kab. Malang– Pernah kuliah di IKIP Makassar.
Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat budaya.
Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa telah dimuat media cetak lokal, nasional, dan Malaysia.
fb/vito.prasetyo — Instagram: @vitoprasetyo5– Twitter: @prasetyo_vito