KEPADA KARTI PADA AKHIRNYA
Puisi-puisi: Humam S. Chudori ____________________________________________________________________
AKU BUKAN LAGI BURUNG HANTU
(bagi perempuan terluka)
setiap malam aku menginginkan kehadiranmu, padahal tak mungkin terjadi. sudah puluhan tahun kita tak bertemu, berpisah tanpa alasan yang jelas. aku pernah berharap ada keindahan setiap malam, seperti dulu. malam penuh warna. ketika burung hantu mencumbu kupu-kupu. baru terasa kini aku hidup dalam kebohongan. mencintaimu karena berjudi. bertaruh untuk sepasang sepatu.
antara kanak-kanak dan remaja ada batas yang tak terlihat. rasa cinta itu membantu melewati batas itu. satu hati, satu jiwa, satu cinta, tapi kita tidak pernah dipersatukan tuhan. di dunia ini, kadang ada yang tak bisa menerima kenyataan, seperti aku ini.
khilafku cuma salah niat dalam mencintaimu. tapi hukumannya seumur hidup. kini aku bagai burung hantu dengan sayap terpotong. jatuh terjerembab ke tanah.
kekasih, aku bukan lagi burung hantu yang dulu. yang mampu membuatmu menjadi kupu-kupu. indah. cantik. menawan, memesona, dan menggairahkan hidup. burung hantu tak suka berlian. meski penuh kilau dan membanggakan.
Kekasih, kita bisa membuat bubur dari nasi, tapi tak mungkin membuat nasi dari bubur.
Pondok Maharta, 2021-2022
KEPADA KARTI
hati ingin berdendang
bibir hendak berkata
tangan mau menulis puisi
jika kau datang malam ini
siang dan malam
pikiranku hanya padamu
kudengar suaramu dengan cinta
akan kupilih bunga nan cantik
agar kau dengar nada hatiku
kau adalah impianku
memikirkan dirimu
membuat musim indah.
12 September 2021,
PADA AKHIRNYA
Pada akhirnya setiap aktivitas manusia berujung kematian. Seperti daun yang tumbuh lalu mengering. jatuh. Padahal daun-daun itu selalu menyerap sinar matahari. mencipta irama alam dengan tarian yang diiringi tiupan angin. selalu gembira.
Pada akhirnya setiap daun yang bertahan pada ranting akan tetap menguning. rontok. kendati tak ada badai yang menggoncang tempat ia melekat. Namun, selama melekat di ranting ia tetap melakukan perjuangan dan perdamaian.
Pada akhirnya setiap insan harus mengembalikan kehormatan dirinya sebelum bersua dengan Sang Pencipta. Bertemu dengan Maha Pencipta bisa dilakukan bila sepanjang hidup terus berupaya mematuhi aturan, wujudkan cita-cita, dan membangun kebenaran sejati. kebenaran sejati adalah pengorbanan. Tanda cinta kepada-Nya.
Pada akhirnya perjalanan hidup adalah tidak harus tunduk pada keputusan kita. Dan kita tidak perlu menyesalinya. Semua sudah tertulis dalam skenario-Nya.
2022
HUMAM S. CHUDORI, lahir di Pekalongan, 12 Desember 1958, menempuh pendidikan SDI Kauman, SMEP Negeri, SMEA Negeri (semuanya di Pekalongan). Selama menempuh pendidikan di SMEA Negeri Pekalongan (1975 – 1977) mendapatkan beasiswa dari Gubernur KDH Jawa Tengah. Tahun 1978 hijrah ke Jakarta. Beberapa kursus pernah diikutinya a.l.: Mengetik, Tata Buku A-1, A-2, B, APM A-B, Bahasa Inggeris, Dasar-dasar Manajemen Umum, Dasar-dasar Manajemen Keuangan.
Tahun 1982 melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta. Mengambil jurusan Jurnalistik.
Tahun 1989, memutuskan untuk tidak tergantung terhadap satu tempat kerja. Sejak itulah, ia hidup dari menulis karangan (puisi, cerpen, artikel ) dan telah dimuat di pelbagai media cetak – pusat dan daerah.
Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain: Dua Dunia, Barangkali Tuhan Sedang Mengadili Kita, Perkawinan.
Novelnya: Sepiring Nasi Garam, Bukan Hak Manusia, Shobrun Jamil, Rezeki, Hijrah, Kontradiksi di Dalam Batin.
Kumpulan puisi: Perjalanan Seribu Airmata, dan sejumlah antologi.
Keseriusannya menulis fiksi membuat Riwayat hidupnya tercantum dalam beberapa buku antara lain: Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (edisi 2), Leksikon sastra Jakarta, Setyasastra Nagari, Apa dan Siapa Penyair Indonesia, Leksikon Susastra Indonesia, Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten, dll.