CERPEN 

Pak Guru dan Ingatan yang Diburu

Cerpen: Said Kusuma ____________________________________________________________________

Aku sedang menyiapkan modul pelajaran saat kulihat para murid berkerumun mengelilingi seseorang di depan gerbang sekolah.

Aku mengenali orang yang dikerumuni itu sebagai ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) bernama Bang Yatno. Apakah murid-muridku sedang mengganggunya lagi?

“Hey, stop! Jangan ganggu Bang Yatno!” Kuhampiri mereka.

Para murid menurut. Mereka melepaskan pegangannya dari tangan Bang Yatno. Beberapa masih tertawa cekikikan. Lalu seorang murid bernama Edo menjelaskan,
“Ini kan hari Jumat, Pak. Jadwal pelaksanaan senam. Bang Yatno mau kita ajak senam bareng supaya sehat.”

—– Gambar diambil dari Webtoon ——–

—————————————————

 

Aku menggelengkan kepala. “Sudahlah, Edo. Ayo kalian semua minta maaf sama Bang Yatno. Setelah itu segera ke lapangan, senam sudah akan dimulai!”

Murid-muridku menyalami tangan Bang Yatno, yang hanya menanggapi dengan anggukkan kepala sambil tersipu pada setiap ucapan kata maaf dari mereka.

Setelah semua murid meninggalkan lokasi, tinggal aku dan Bang Yatno berdiri berhadapan di depan gerbang. Kupandangi sosok pria separuh baya di hadapanku itu. Wajahnya kusam dan memelas. Rambutnya berantakan. Celana panjang kumalnya digulung sebelah. Matanya menatap sayu ke arah lapangan sekolah yang mulai ramai untuk pelaksanaan senam.

“Maafin anak-anak ya, Bang,” kutepuk bahunya pelan. Bang Yatno bergeming.

“Abang diapain sama mereka, ada yang terasa sakitkah?” Kuperhatikan tiap inci tubuh Bang Yatno, adakah tubuhnya mengalami luka? Aku khawatir para murid bertindak terlalu jauh.

Bang Yatno menggerakkan jari telunjuk kurusnya yang ringkih, ke arah perutnya.

“Abang dipukul perutnya?” Tanyaku prihatin. Duh, Edo dan gengnya memang keterlaluan.

Bang Yatno menggeleng perlahan. “Abang Laper, Dek.”

Ya ampun, lega aku. Tadinya kukira perut Bang Yatno habis dianiaya.

“Bang, kalau lapar nanti saya ambilkan makanan. Tapi saya ikut senam dulu, ya. Abang tunggu di sini, atau Abang mau ikutan?”

Bang Yatno tidak menjawab, hanya menghempaskan pantatnya di atas tanah, duduk bersila dengan mulut menggumamkan sesuatu yang tak terdengar jelas. Aku paham. Rupanya dia memilih menunggu dibawakan makanan di sini.
***

Usai senam, kubawakan seporsi nasi bungkus untuk Bang Yatno. Dia terlihat semringah. Segera dibukanya nasi bungkus itu dan mulai menyantap isinya, tanpa sendok dan garpu, tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu, hingga tandas licin tak bersisa. Tak lupa sisa makanan di jemari pun dijilatinya.

Aku berjongkok di sisinya. Kunyalakan rokok. Kutawari Bang Yatno sebatang tapi ditolaknya halus dengan isyarat tangan.

Bang Yatno sudah lama ‘beredar’ di area sekolah sebelum aku mulai bergabung untuk mengajar di sini. Kuperhatikan para guru dan murid tak pernah merasa terganggu dengan kehadirannya. Dia sering terlihat mengubah ekspresi wajahnya dari sedih lalu mendadak ceria, dan sedih lagi. Kadang dia menangis sendirian tersedu-sedu sambil berulang kali mengucapkan kalimat, “Maafin Bapak, ya, Dek.”

Kabar yang kudengar, Bang Yatno menjadi kurang waras setelah ditinggal istrinya berselingkuh. Bang Yatno hidup berdua dengan anak perempuannya dan anaknya itu terserang usus buntu lalu meninggal karena terlambat ditangani secara medis akibat kekurangan biaya. Pria malang.

Kesan pertamaku terhadapnya, kurasakan pada hati Bang Yatno terdapat luka yang sangat dalam. Matanya memancarkan sinar redup tanda pudarnya harapan. Seolah tak peduli lagi hidup dan mati. Meski pada saat yang sama, mata itu juga memancarkan lembutnya kerinduan yang terasa akrab.

Kepada siapa pun dia selalu menyapa dengan sebutan “Dek” atau “Adek”.

Saat sedang berbicara sendiri pun biasanya ia terdengar seperti sedang bicara dengan entah adiknya, atau mungkin dengan istri dan anaknya, jika benar dia pernah berkeluarga.

“Nanti Bapak belikan mobil ya, Dek,” katanya suatu hari kepada tiang listrik. Atau berujar, “Ah, Adek bisa aja,” sambil tersipu malu pada sebuah tong sampah.

Beberapa kali murid-muridku menggodanya. Sekedar mengajak bicara (yang jarang ia tanggapi) atau mengajaknya menyanyi sambil bertepuk tangan. Bang Yatno biasanya hanya bersemangat ikut tepuk tangan saja, itu pun hanya di awal lagu. Setelah itu biasanya tangannya kembali terkulai dan tetap tersenyum tipis. Kalau dipaksa ikut menyanyi biasanya dia hanya berkata “Jangan, Dek,” kemudian pergi berlalu begitu saja.

Pakaian yang dipakainya itu-itu saja. Kadang di antara muridku ada satu dua orang yang baik memberinya pakaian ganti, bahkan membantunya berganti pakaian. Bang Yatno tidak melawan. Dia tidak pernah melakukan gestur yang membahayakan apalagi sampai mengganggu ataupun menganiaya orang lain.

Pernah suatu kali, saat kegiatan belajar mengajar di kelas sedang berlangsung, kami semua dikejutkan lengkingan jeritannya. Orang-orang berkerumun. Rupanya ada seekor anak kucing yang mati terlindas mobil di tengah jalan dan Bang Yatno sedang menangisinya. Dia meratap “Adeek … huhu, kamu masih mudaa. Belum sempat punya pacaar!!”

Dan cuma sebatas itulah kelakuan Bang Yatno yang paling mengejutkan bagi kami. Selebihnya, ia berperilaku relatif layaknya orang normal.

Setidaknya aku merasa keseharian Bang Yatno lebih tenang dibanding hari-hariku. Masih banyak orang yang memberinya makan meski tak setiap hari. Setelah makan ia bisa bebas tidur di mana pun dan kapan pun ia mau. Tengkurap di teras sekolah pun jadi. Sementara aku tiap hari harus sibuk menyesuaikan pola mengajarku dengan keinginan para murid.

Dulu aku bercita-cita menjadi guru di sekolah negeri. Bukan karena aku menyukai anak-anak, melainkan karena status sebagai pegawai negeri adalah hal yang membanggakan di lingkungan tempat tinggalku. Selain itu menjadi seorang guru yang ditaati dan ditakuti oleh murid-muridnya akan meningkatkan kewibawaan dan kepercayaan diriku di depan orang lain.

Sayangnya untuk mencapai impian itu ternyata butuh pengorbanan tenaga, doa, air mata dan biaya. Pengorbanan yang berakhir sia-sia. Aku gagal pada tahap akhir tes kompetensi. Kala itu ada yang bilang, penyebab kegagalanku ialah karena ‘biaya tambahan’ yang kuberikan jumlahnya tidak sebesar peserta lain yang lulus. Pahit memang.

Untungnya sekolah swasta ini mau menampungku. Sekolah anak-anak orang kaya. Muridnya banyak yang kurang ajar, tapi semua menurut dan patuh kepadaku. Karena seringnya kukabulkan keinginan mereka. Bagi yang mau merokok diam-diam di luar pagar sekolah pada jam istirahat kuizinkan. Asal aku juga diajak, tentu saja. Di sekolah negeri mana bisa aku merokok semauku. Guru-guru lain bukan tak mengetahui hal ini. Tapi mereka tidak berani melapor karena tahu aku anak buah kesayangan dari Ibu Vida, Kepala Sekolah yang memimpin institusi ini. Cukup puji saja kecantikannya setiap hari maka aku diizinkannya merokok asalkan tidak di dalam kelas.

Nah, itu Kepala Sekolah datang. Kubuang sisa rokokku sebelum menghampiri beliau.

“Selamat pagi, Bu Vida, semakin cantik saja.”

Bu Vida tersenyum “Selamat Pagi Pak Hari. Ah, terimakasih, Bapak bisa saja. Oh iya, saya dengar tadi pagi ada insiden Bang Yatno dengan para murid?”

Kulaporkan kronologis lengkap kejadian pagi ini kepada beliau.
“Aman kok, Bu. Bang Yatno tidak terluka, murid-murid juga aman, cuma … yah, namanya juga anak-anak, selalu saja usil.”

“Terimakasih, Pak Hari. Bapak memang guru andalan saya. Cuma Bapak yang bisa menjaga murid-murid sekaligus mengamankan Bang Yatno,” Bu Vida tersenyum makin lebar.

“Ah, ini kan berkat bimbingan dari Ibu juga,” aku merendah.

“Oh iya, Pak, sepuluh menit lagi saya ada rapat dengan tamu. Tolong pastikan murid-murid tetap beraktifitas dengan tertib, ya. Terutama kelas 8-2 karena bersebelahan dengan ruang rapat. Nah, itu tamunya sudah datang.”

“Baik, Bu.” Aku mengangguk dan mengawasi langkah beliau menuju ruang rapat. Bu Vida terlihat menyambut kedatangan seorang tamu bertubuh besar dan berkumis tipis. Agaknya dia seorang pejabat dari Dinas Pendidikan. Baiklah, sekarang aku menuju kelas 8-2 untuk memastikan ketertiban murid-murid di sana.
***

Pintu ruang rapat menutup perlahan. Dua orang di dalamnya memulai percakapan.

“Laporannya sudah siap?” Sang tamu bertanya.

Bu Vida mengeluarkan setumpuk berkas file.
“Sudah, Dokter Dwi. Langsung saya bacakan saja ya”.

Sang tamu mengangguk dan Bu Vida mulai membaca. “Subjek satu, Haryatno. Pria, usia 45 tahun. Biasa dikenal dengan sebutan Bang Yatno. Diagnosis; amnesia disosiatif akibat depresi pasca kematian putrinya. Kondisi setelah pendampingan selama dua bulan berangsur membaik, status medis fisik stabil, tapi masih belum mampu mengenali identitasnya sendiri atau mengingat siapapun yang pernah dikenalnya”.

Bu Vida melanjutkan “Subjek dua, Haryadi. Atau yang terkenal dengan julukan Pak Guru. Pria, usia 35 tahun. Pasien baru yang juga merupakan adik kandung dari subjek satu. Saat ini status Haryadi dijadikan sebagai tandem atau subjek pendamping dari kakaknya. Ditemukan keluarganya dalam kondisi pingsan akibat mencoba bunuh diri melompat ke jurang dengan kondisi medis gegar otak cukup parah. Diagnosis; amnesia disosiatif akibat benturan keras ditambah depresi tingkat lanjut usai gagal dalam ujian tes kompetensi guru sekolah menengah, terutama setelah gagal mengembalikan dana yang dipinjam dari kakaknya, Haryatno. Padahal Haryatno saat itu dalam kondisi sangat membutuhkan uang untuk biaya pengobatan putrinya yang akhirnya terlambat ditangani dan meninggal di rumah sakit.”

Sang tamu memotong, “Sebentar, Dok. Apakah Pak Guru Haryadi menyadari program pendampingan ini, dan mampukah ia bekerja sama dengan baik?”

“Sejauh ini kedua subjek masih belum saling mengenali kembali satu sama lain. Keduanya kehilangan sebagian besar ingatan mereka. Tapi Pak Guru kooperatif. Dia selalu menganggap para staff perawat sebagai murid-muridnya. Saya sendiri dianggapnya sebagai kepala sekolah. Perilakunya pun santun. Satu kendala minor adalah kecanduan rokoknya yang cukup berat dan saat ini masih kami coba atasi.”

“Bagus! Jika demikian program pendampingan sesama pasien berjalan sesuai rencana. Silakan dilanjutkan ke fase berikutnya ya, Bu Dokter,” Pungkas Dokter Dwi sambil berkemas.

“Baik, Dok,” Bu Vida tersenyum dan menutup file berkasnya yang bertuliskan:
HARYATNO – HARYADI.
*****

 

Said Kusuma terlahir di Solo, Seorang pecinta sekaligus praktisi seni musik, seni rupa, dan seni sastra. Peraih juara III Anugerah COMPETER Indonesia 2023 ini telah menulis 20 karya yang tergabung dalam berbagai antologi puisi dan cerpen. Dapat dijumpai karya-karya lainnya di akun IG @said_serigalla, @gelometris & akun FB @said_serigalla, suarakrajan.com, negerikertas.com, dsb. Saat ini tergabung dalam COMPETER INDONESIA, Kelas Puisi Bekasi, Kelas Puisi HUMA, AIS, dan Komunitas Penikmat Puisi.
Email : modaroae@gmail.com

Related posts

Leave a Comment

twenty − 12 =