URTIKARIA SUARAMU BEGITU ABSURD
Puisi-puisi: Faustina Hanna ____________________________________________________________________
URTIKARIA
(Jika begini tidak boleh bertambah dingin, di sebuah kamar)
/1/
tanpa sekat
aku tidak berpura-pura
melarikan langsung lengkung mata milik boneka kayu,
dari kulit berbeda yang hendak tumbuh,
kambuh
−seperempat jam, sebelum malam. seperti baru saja siap
disinggung punggung para penumpul waktu. seperti tiada
kehendak untuk menjauh.
/2/
tengoklah kini
ke sisi kiri, sebagian jelas merentas ruam merah, hampir
meluas. di tengah, mereka memilih bersetia
pada si merah hati yang meminta disangkarkan kembali, esok
pagi. si merah hati yang peran sesungguhnya kian diragukan
dalam memaknai setiap khidmat warna-warna
rahasia.
(sementara sisanya, kurasa cenderung yakin untuk mabuk
pada merah yang telah murni, dan menyendiri)
/3/
telah teramat pelik kubatalkan, batin kedua antena yang tampak
gusar memancar untuk sekadar gemetar –sisa gudang; undangan
kiamat hujan
menatap dalam, lalu menyentuhnya perlahan
: gatal segar yang seketika hadir, menggandakan beban bayang
memutar-mutar keterasingan rasa dingin, dalam diri.
/4/
sejatinya, penabur gelisah badan
belumlah sampai disebarkan,
ke luar ketap bibir.
barangkali, masih menunggu bukti butir obat menyatu,
bercengkerama dengan arak-arakan darah, serta pengikat
paling gigih
−cincin batu ungu
SUARAMU BEGITU ABSURD
k.j
sungguh takjub. gadis-gadis belia tampak menenteng antusias keranjang yang hampir penuh diisi suaramu. kemudian, kerumun lampion yang sudah robek bagian perutnya itu tak diperbolehkan cemburu ketika suaramu lantas digelar begitu saja: mengungguli segala yang berjingkrak terang dalam temaram. mengunyah halaman per halaman dari diary musim yang paling merdu, yang paling pribadi.
jika sekarang nyatanya suaramu begitu hidup, maka aku hendak diizinkan membangun jembatan panjang di antara ruas-ruas basahnya. namun tentu siapa pun tak boleh menggambar kulit pisang misalnya −yang bakal mencemari keindahannya, atau yang bakal membuai gadis-gadis belia tadi jadi tergelincir ketika dipasung kedua matanya−
sedang usus lampion masih terlampau sendu, dan beruntun mencurah sumpah bercampur darah.
aih; aku tiada pernah bosan hinggap pada kebun suaramu. membayang tentang segenap kemungkinan (tentang banyak buah yang sebentar lagi matang). lalu barangkali buah-buah itu akan tumbuh lengkap dengan anggota tubuh yang lain:
ya, barangkali seperti mata, dahi, pelipis, hidung, ujung bibir, dagu, leher, lengan, jari, dan seterusnya. hingga aku merasa telah cukup untuk ditinggali sebagai kediaman yang sedikit absurd.
jika nanti tiba saat suaramu mesti padam, kami tahu −kau seperti berwasiat kecil−
agar tak ada yang berusaha memonopoli, atau pun saling mendahului dalam berebut renik bangkainya.
Faustina Hanna, lahir di Jakarta, 5 April 1987. Penikmat seni-budaya dan kearifan lokal. Sehari-hari bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, aktif menulis puisi, freelance Graphic Design, dan menekuni dunia kuliner Nusantara. Sajak-sajaknya terbit di Republika, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra, Lombok Post, Bali Post, Tribun Bali, Nusa Bali, Pos Bali, Pos Kupang, Radar Cirebon, Radar Lampung, Radar Mojokerto, borobudurwriters.id (Borobudur Writers & Cultural Festival), magrib.id, berandanegeri.com, beritabaru.co, Cerita Net, PustakaEkspresi.
Beberapa sajaknya tergabung dalam antologi komunal Kutukan Negeri Rantau (Forum Sastra Bumi Pertiwi, 2011), Jembatan Sajadah, Kabar dari Negeri Seberang (UmaHaju Publisher, 2012), Kursi Tanpa Takhta (Writing Revolution, 2012), Berbagi Kasih (Penerbit Sahabat Kata, 2012), Antologi Bersama Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas Kopi Andalas (2012), Nostalgia Filantropi Tiada Terbalaskan (Penerbit Jendela Sastra Indonesia, 2020).
Menjuarai lomba penulisan puisi, di antaranya: Juara 3 Sajak TKI (UmaHaju Publisher, 2012), Juara Harapan 1 “Ekspresikan Dirimu dengan Puisi” (Writing Revolution, 2012).