CERPEN 

MENANAM GEDUNG

Cerpen: Achmed Sayfi Arfin Fachrillah _____________________________________________________________________

“Tidak! Padiku adalah yang paling subur.”

“Ha? Mana mungkin padi yang sering dimakan tikus kauanggap paling subur? Coba lihat padiku, tidak akan kau temukan tikus berkeliaran apalagi sampai memakan. Lahannya pun tak kalah saing dengan lahanmu.”

“Eh. Jaga mulutmu! Lahanku ini bekas aliran lava gunung berapi.”

Matahari setinggi tombak di ujung timur, dua nenek itu tetap tak ada yang mau kalah perihal lahan siapa yang paling subur. Sudah hampir satu jam mereka bercekcok di tengah sawah. Namun, tetap tak ada yang mau mengalah. Entah apa yang membuat mereka sampai sebegitunya. Tampaknya, pada retina mereka hanyalah lahan. Cucu, usia, dan tuhan sementara telah alpa pada tempurung kepala mereka. Bagaimana tidak, sarung yang hampir melorot karena simpulannya tidak erat diabaikan demi percekcokan kesuburan lahan.

Sungguh kasihan, pagi yang masih sejati itu telah ternodai oleh napas kebodohan dari mulut keriput dua nenek itu. Andaikan mereka duduk dan bicara baik-baik, mungkin itu lebih baik. Tapi, mau bagaimana lagi, skenario Tuhan tak dapat dielakkan. Barangkali, itu adalah alur yang telah ditentukan. Semakin lama, pedebatan semakin memanas begitu juga matahari yang semakin menyengat. Aroma-aroma bedak juga perlahan memudar termakan waktu.

“Sudah, sudah. Sebentar lagi, padi-padi kalian mungkin akan dimakan tikus dari lahanku.”

Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri mereka, entah dari mana datangnya. Usianya pun tak terlalu tua, itu terlihat dari senyumnya yang ranum laksana senja. Dua nenek itu seketika memaku pandang pada wanita itu.

 

Ilustrasi gambar: pixabay

 

Mereka bertanya-tanya, berpikir lebih dalam mencoba menembus relung luar nalar dan berusaha mencerna lebih halus lagi tentang kalimat wanita itu. Apa maksud wanita ini? Mengapa tiba-tiba ia datang dan menyela percekcokan? Tikus dari lahannya? Apa itu? Mereka terus bertanya-tanya dalam hati.

“Lihatlah, itu tanamanku.” Telunjuk wanita itu mengarah pada gedung tinggi tempat para pejabat berdiskusi. Lebih tepatnya tidur karena kelebihan gizi dari uang rakyat yang dikonsumsi.

“Wah, ada yang tidak beres. Bagaimana mungkin, gedung ia sebut tanaman” Bisik salah satu nenek kepada nenek yang satunya. Namun, wanita itu tetap tersenyum tak menggubris bisikan nenek itu. Serasa merencanakan sesuatu.

Tapi, entahlah mereka berdua menganggap kalimat yang dilontarkan dari tadi hanyalah omong kosong belaka. Lebih baik meneruskan percekcokan daripada bersandiwara dengan wanita yang tak tahu dari mana datangnya. Mendengarkan kata-kata tak masuk akal pada pagi yang masih terlalu dini, menurut mereka hanyalah membuang waktu dengan sia-sia.

“Di sana terdapat banyak sekali tikus. Tapi, tenang, mereka pandai bersuara dan hanya makan uang rakyat jelata termasuk kalian berdua. Jadi, tak ada gunanya bercekcok tentang lahan. Karena sebentar lagi, mungkin, padi-padi kalian akan termakan oleh tikus dari lahanku dan gedung itu akan semakin tinggi, AC-nya akan semakin banyak dan rakyat jelata semakin melarat dan ingat, lahan atau padi kalian hanya sebutir debu dari besar dan luasnya gedungku.”

Lagi-lagi, kata demi kata keluar dari mulut elok wanita itu. Seakan tak ada bosannya ia berbicara, entah apa maksudnya. Dua nenek itu bungkam meski rasa penasaran bersemedi dalam hatinya. Percekcokan lahan seketika hilang terbawa angin pesawahan, rasa geram keduanya juga sirna.

“Apakah dia seorang orator yang salah memilih tempat?” Salah satu nenek kembali bertanya kepada teman debatnya—nenek yang satunya.

“Entahlah. Aku pikir dia sedang frustasi karena suaminya mati atau mungkin habis digauli orang tak dikenal.” Jawab salah satu nenek seraya tersenyum rekah, menampakkan gigi ompongnya.

***

“Saya kan sudah bilang, tidak mau. Mengapa Bapak memaksa? Lahan itu akan ditanami bunga sesuai permintaan anak saya.”

“Tapi Bu, ini demi kesejahteraan bersama. Lahan Ibu hanya kami minta sedikit untuk perluasan jalan.”

“Saya khawatir lahan itu akan dirampas semuanya sampai tak tersisa.”

“Untuk apa kami merampas lahan yang bukan hak kami, kami hanya minta sedikit. Jadi, mohon segera ditandatangani karena kami tidak bisa berlama-lama di sini.”

“Saya mau Bapak berjanji untuk tidak menyentuh lahan itu kecuali sebagaimana yang terlampir di formulir.”

“Iya, Bu. Saya janji dan saya akan bertanggung jawab atas semua ini.”

Walau sedikit berat menggoreskan pena pada formulir, Sum tetap meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Setelah menandatangani, senyum ranum dari orang berdasi itu tergambar jelas. Sum tidak tahu siapa orang itu. Tapi yang pasti, setelah Suramadu diresmikan, mereka kerap bertandang ke rumah tetangga dan sekarang, Sum yang jadi sasarannya.

Memang, sudah satu tahun berlalu sejak diresmikannya Suramadu. Mula-mula, Sum sangatlah senang mengingat jarak antara Madura dan Surabaya hanya terpisahkan oleh seonggok semen saja. Tidak seperti dulu, waktu masih kecil, Sum harus berdamai dengan lautan di atas sampan, berayun-ayun diiringi ombak yang menikam.

Sekarang sampan tidak diperlukan dan Jawa serasa ada di pelukan. Di balik kesenangan yang tumpah ruah, sama sekali tidak dengan tokoh agama, mereka tak setuju dengan adanya jembatan itu terutama para ulama Bangkalan. Awa-awal, Sum merasa heran dengan kesan mereka, bukankah mereka menjadi lebih gampang bersilaturahmi dengan ulama luar.

Proyek besar-besaran dilakukan. Mulai dari hotel, kolam renang, mall dan sebagainya. Karena itulah, Sum tidak segera menandatangani permintaan lahan sebagi perluasan jalan. Dia takut ini semua akal-akalan semata. Lahannya akan dibangun gedung mewah. Entah itu hotel dan sebagainya.

“Bu, jadi kan? Kita menanam bunga?” Anak Sum merengek menagih janji.

Setelah Suramadu diresmikan, Sum memang berjanji kepada Rina—anak sulungnya untuk menanam bunga bersama sebagai upaya syukuran karena Suramadu telah diresmikan. Mata Sum tak ingin memejam, memaku pandang pada Rina sembari memasang lekukan bibir pertanda mengiyakan.

“Iya, sayang. Setelah pesanan bibit bunganya datang, kita langsung pergi ke lahan untuk menanam.” Jawab Sum. Ia memastikan agar pertanyaan demi pertanyaan tidak kembali terlontarkan. Rina tertawa girang mendapat jawaban yang sangat diharapkan.

Cahaya matahari mulai mengintip dari kelambu jendela yang sedikit terbuka. Sum masih mendapati anaknya lelap dalam mimpi indahnya. Padahal, pesanan bibit bunga sudah datang hanya tinggal menanam lalu tumbuh kebahagiaan dari ceruk hati anaknya yang paling dalam. Sum tersenyum, pikirannya mengawang-awang seraya menatap anak sulungnya.

“Rina masih tidur, sebaiknya aku pergi menengok lahan.” Gumam Sum lirih.

Ia menutup pintu dan mengayun tangan menuju lahan yang hendak ditanami bunga. Juga, ia ingin tahu apakah perluasan jalan telah dilakukan. Di perjalanan, Sum kerap celingak-celinguk mengamati bangunan-bangunan yang dulu merupakan warung soto, surau tempat main kartu, gubuk reyot tempat bernaung kaum lansia, dan sebagainya. Ternyata tak terkira sekarang telah menjelma, rakyat jelata menghilang entah ke mana, tiada jejak seakan ditelan purnama, ribuan praduga menyelimuti hati pribumi Madura.

Di koran-koran banyak puisi bertebar, penyair Madura tak lagi sabar melihat ciri khas habitatnya semakin memudar gegara orang luar yang terlalu liar dan tdak bisa djinakkan. Kini, Madura terasa asing pada retina Sum. Orang-orang yang dulu sering berkelindan manaiki sepeda kayuhan dengan membonceng sekarung pangan, sekarang telah kandas ditelan restoran dan perkantoran. Juga, suara katak air sewaktu hujan telah hampir punah tidak terdengar.

Sum takkan pernah bisa lagi merasakan aroma pedesaan. Takkan pernah.
Firasat Sum buruk, pikirannya serasa dikeruk, dari kejauhan dia melihat bayang orang-orang berlalu-lalang di lahannya. Tak bisa dimungkiri, Sum berlari tergopoh-gopoh menghampiri bayangan orang-orang itu dan ternyata benar, janji hanya ucapan basi, bau layaknya terasi.

Sekarang, Sum bungkam di hadapan lahan yang telah ditumbuhi beton-beton dan kawat-kawat. Lidah Sum kelu, tubuhnya ngilu laksana dipaku dengan palu yang bertalu-talu. Bungkam tidak ada gunanya, membiarkan lidah kelu. Sum pun bertanya dengan kobaran api kemarahan di dadanya.

“Apa yang kau perbuat di lahanku? Berani-berani kau melanggar perjanjian itu!” Tanya Sum beringas, suaranya lantang di hadapan salah satu pekerja bangunan yang sedang membawa gerobak dorong.

“Maaf, Ibu siapa ya? Kami hanya menjalankan perintah dari atasan.”

Dengan muka datar, seolah tak berdosa, pekerja itu menjawab kemudian pergi begitu saja mengabaikan Sum yang seolah boneka berbicara. Ingin sekali ia memberontak pergi ke dalang dan memorak-porandakan suasana. Tapi, apalah daya, Sum hanya seorang wanita, dua sekuriti menyeretnya keluar lahan.

“Dasar orang gila! Menggangu saja.” Begitu ocehan salah satu sekuriti sesudah meninggalkan Sum di lorong yang jauh dari lahannya.

Entah apa yang dikatakan Sum kepada anaknya. Sedangkan, bubur kadung jatuh ke dalam lumpur. Hari itu Sum merasa tak ingin bernapas, hatinya terkupas, hidupnya seperti kopi yang menyisakan ampas. Ia bangkit lalu pulang dengan memasang wajah lusuh, dadanya bergemuruh lagi keruh. Tak sanggup ia mengutarakan kenyataan pada anaknya yang masih bau bawang.

Sungguh tak sanggup. Sum pulang dengan sempoyongan, kerudungnya berantakan tak keruan, orang-orang di pinggir jalan menatapnya heran. Lamat-lamat orang menatapnya, kelopak mata Sum mengisyaratkan kepedihan yang begitu mendalam. Bayang-bayang orang berdasi itu masih lekat besemayam tiada bosan. Kaki Sum terus melangkah dan melangkah.

Rina dengan senyum rekahnya berdiri di ambang pintu. Sum malu, merasa gagal menjadi ibu, pikirannya mati kutu. Bahkan, mengeluarkan satu katapun ia tak mampu apalagi sampai merayu.

Segera Sum bersimpuh di hadapan Rina seraya menggenggam tangannya erat-erat, menatapnya lekat-lekat dan menyembunyikan kesedihan rapat-tapat.

“Ibu dari mana? Apakah Rina bisa menanam bunga sekarang?” Mata Rina berkaca-kaca. Sum sungguh tidak tahu apa yang harus dikatakan sekarang, hingga pikirannya benar-benar hilang.

***

Di sebuah ruangan, Sum terbaring di atas Kasur, tubuhnya meronta-ronta, tangan dan kakinya diikat, mulutnya tak bisa diam melontarkan kata ‘gedung,’ ‘bunga,’ dan ‘Rina.’ sedangkan, Rina di luar ruangan itu menangis sejadi-jadinya.

“Ibu kenapa?” Sambil sesenggukan Rina bertanya, orang-orang di sekitarnya hanya tersenyum menyimpan iba sambil berkata,

“Ibumu butuh istirahat, Nak.” Anak sekecil Rina tentu belum bisa mencerna kalimat itu. Tapi, satu hal yang ia ingat. Untung saja dulu ibunya sempat mengajarinya mengeja sehinga ia pun membaca tulisan yang ada di dinding ruangan, yaitu ‘Rumah Sakit Jiwa.’

Annuqayah Lubangsa, 18/01/2023

 

 

Achmed Sayfi Arfin Fachrillah, penulis kelahiran Cemanis, Andulang, Gapura, Sumenep 29 Mei 2008. Sekarang menjadi santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur. Sedang menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1 Annuqayah kelas VII. Sekarang aktif menulis cerpen dan berdiskusi di serambi Masjid Jamik Annuqayah.

Related posts

Leave a Comment

eighteen − ten =