(Tidak) Ada Surga di Kaki Ibu
Cerpen: Kak Ian _______________________________________________________________
Semua pasang mata mengarahkan kepadaku. Di ruang tamu, aku seperti terdakwa yang tidak bisa lagi untuk beralibi. Tak berkutik dan terpojok.
Alibi-alibi yang kukatakan kepada mereka dianggap hanya sebagai dongeng peneman tidur. Esoknya membosankan bila diulang-ulang lagi diceritakan. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa saat ini.
Mereka benar-benar menganggapku sebagai sanderanya saja. Bila aku tidak menuruti kata mereka terpaksa membusuk di tempat pesakitanku saat ini.
“Apa susahnya sih kamu mengiyakan ucapan Ibu. Hanya mengiyakan saja? Tho, esokkannya kamu mangkir dari apa semestinya kami tidak akan lagi mengusik kehidupanmu! Terpenting Ibu tidak lagi kumat sakitnya lantaran memikirkan anak bungsunya yang keras kepala seperti kamu ini.”
“Lagi pula apa sulitnya sih hanya menyenangkan hati Ibu untuk sekali ini saja. Ia bisa bahagia melihat anak laki satu-satunya di keluarga, menikah sesuai dengan pilihannya. Itu juga sudah lebih dari cukup untuknya.”
“Sudahlah kamu jangan keras kepala lagi. Kamu ingin mendapatkan surga atau tidak? Atau, ingin melihat mayat Ibu terbaring di hadapan kami, karena kamu susah diatur dan tidak disayangi oleh kami semua. Jika kamu ingin surga ya sudah turuti apa keinginan Ibu. Tho, acara pernikahanmu nanti kami yang atur semua. Kamu tinggal terima beres saja dan dapat restu dari Ibu, kami sudah sangat bahagia sebagai kakak-kakakmu ini.”
Mereka seakan-akan mengultimatum padaku. Aku lagi-lagi seperti tidak memiliki hak jawab saja sebagai terdakwa.
Akhirnya aku memberanikan diri juga untuk menjawab. Walaupun aku tahu pasti tetap kalah oleh mereka atas hak jawabku.
“Aku tidak ingin membohongi hatiku. Aku sebenarnya memang tidak suka atas perjodohan ini. Walaupun aku sudah memiliki pilihan lain. Aku sudah menemukan jodohku sendiri. Tapi karena ini demi orang yang sudah melahirkan aku ke dunia dan ingin melihat dirinya bahagia. Aku terima apa yang kalian katakan!”
Akhirnya aku seperti kerbau dicocok hidungnya. Aku pun menuruti apa kata mereka. Tak lain mereka itu adalah kakak-kakaku (Kak Qori, Kak Balqis, dan Kak Zulaika) yang terlalu otoriter dan pengatur hidupku.
Ya, lagi-lagi aku tidak ubahnya seperti kanak-kanak ketika dibentak dan dimarahi kedua orangtua karena bandel. Main layang-layang lupa waktu pulang di tengah lapangan padahal azan magrib sudah berkumadang. Menyesali kesalahan yang ada. Terus mengiyakan apa yang telah dilakukan tanpa melihat wajah orangtua kembali. Hanya bisa menunduk saja.
Hingga kenangan masa kanak-kanakku menguar kembali laksana tanah kering tertimpa hujan semalaman. Di mana bagiku adalah masa paling ternaif yang aku jalani. Sampai-sampai aku mengenangnya hingga saat ini. Tak lain tentang pencarian surga yang berada di (telapak) kaki Ibu.
Terlebih terjadi saat ketika pagi itu di dalam kelas. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas IV. Kebetulan saat itu Pak Umar, wali kelas kami sedang menerangkan bagaimana menjadi anak yang berbakti pada Ibu. “Bagi siapa yang berbakti pada ibunya maka balasannya surga. Apalagi surga itu dekat sekali. Ada di bawah (telapak) kaki Ibu.”
Begitu perkataan Pak Umar pada kami di dalam kelas saat itu.
Aku yang saat itu mendengarkan ucapan Pak Umar sebenarnya tidak percaya.
“Masa iya surga ada di (telapak) kaki Ibu?” Aku pun dibuat semakin penasaran.
Akhirnya seusai pulang sekolah aku pun mencari-cari Ibu. Kebetulan di rumah sedang sepi. Kak Qori, Kak Balqis, dan Kak Zulaika, mereka masih ada di sekolah masing-masing.
Nah, itu Ibu! Ia sedang memberikan pakan untuk ayam-ayam peliharaan kami. Tukasku saat melihat sosoknya. Saat itu aku seperti mendapatkan jarum di antara rerimbunan jerami.
Aku pun langsung menghampiri Ibu sambil mencium tangan Ibu.
“Ibu kok tangannya bau bacin,” ucapku saat meraih tangan Ibu. Aku saat itu hampir muntah. Tapi aku tahan isi perutku agar tidak keluar.
“Oya, tadi Ibu habis memberikan makan ayam-ayam kita! Ibu memberitahukanku.”
Setelah itu Ibu mencuci tangan ke kamar mandi. Mungkin untuk membersihkan diri sehabis memberikan makan ayam-ayam peliharaan kami.
Seusai itu aku pun langsung menghampiri Ibu kembali saat ia sudah berganti pakaian. Saat itu Ibu sudah ada di beranda sambil membawa pakaian kami untuk diseterika.
“Bu, sebentar aku mau lihat kaki, Ibu!” Aku pun langsung meraih kaki Ibu.
Setelah aku meraih kaki Ibu dan kulihat…Astaga…!
“Lho kok tidak ada surganya! Mana tidak ada surganya? Berarti Pak Umar itu membohongi kami termasuk aku!” umpatku sejadi-jadinya.
Ibu yang melihat aku tiba-tiba meraih kakinya sambil meneliti dengan seksama. Kali saja terlihat surga di kakinya, menurutku. Ia pun bertanya.
“Kamu sedang apa sih, Sayang?”
“Aku sedang mencari surga, Bu! Tapi ternyata tidak ada. Berarti Pak Umar wali kelas kami itu berbohong. Katanya surga ada di kaki Ibu? Nyatanya surga di kaki Ibu tidak ada. Ini malah aku mencium bau kecut di kaki Ibu.”
Dengan polos aku pun mengungkapkan kekesalanku saat itu.
Kulihat wajah Ibu bersemi seperti kota Osaka yang bertabur sakura di mana-mana. Mungkin menganggap aku lucu saat itu. Ada-ada saja melihat polah anak laki-laki semata wayangnya saat berulah. Mana ada surga di kakinya?
Mungkin pikirnya begitu. Dan aku pun langsung meninggalkan Ibu di beranda untuk melanjutkan pekerjaannya.
Kulihat wajah Ibu masih bersemi di sana. Dengan kepala di geleng-gelengkan ketika aku usai melakukan aksi konyolku saat itu. Mungkin.
Esokan harinya, aku pun mencari Pak Umar. Walaupun hari itu masih sangat pagi. Anak-anak belum semua masuk kelas. Aku pun sudah bergegas ke sekolah. Namun saat aku mau menemui Pak Umar di ruang guru, tetiba langkah kecilku yang tergesa-gesa itu dihentikan oleh panggilan Ali saat ia mau masuk ke kelas. Sedangkan aku sendiri ingin mencari Pak Umar.
“Mau ke mana kamu, Man?” tanya Ali saat mata kecilnya melihat aku melangkah tergesa-gesa.
“Aku mau mencari Pak Umar. Karena aku ingin memberitahukannya jika surga di kaki Ibu itu tidak ada! Itu tidak benar. Kataku sambil menahan kekesalan apa yang dikatakan wali kelas kami itu adalah tidak benar. Bohong.”
Kulihat muka bulat Ali tetiba berubah. Pipinya tetiba menggembung seperti ikan buntal. Lalu…Ha-ha!
Ali langsung tertawa terkekeh saat aku menjelaskan apa yang disampaikan Pak Umar di dalam kelas kemarin. Tidak lain tentang surga ada di (telapak) kaki Ibu. Aku pun heran melihat anak lelaki berkacamata di depanku saat itu.
“Usman! Usman! Kamu ini benar-benar membuat perutku mulas. Kukira apa yang disampaikan Pak Umar, kamu bisa memahami maknanya bukan di mana tempatnya. Atau benar-benar ada keberadaannya. Itu hanya perumpamaan saja. Lagi pula mana ada surga di kaki Ibu. Sudahlah masuk lagi ke kelas. Temani aku piket hari ini.”
Ali pun menjelaskan panjang lebar tentang apa yang dikatakan Pak Umar mengenai surga ada di (telapak) Ibu hanya sebuah perumpamaan bukan arti sesungguhnya. Pantas saja Ibu saat itu wajahnya menahan tawa melihat aku mencari-cari surga di kakinya.
“Ah, Ibu kenapa tidak menjelaskannya padaku saat aku sedang mencari surga di kakinya saat itu!”
Selepas aku diberitahukan Ali teman sebangku itu. Saat itu juga aku memahami sebenarnya arti dari surga di (telapak) kaki Ibu. Seperti yang kurasakan saat ini. Saat Ibuku sedang sakit tidak berdaya, tidak bisa berjalan sempurna. Karena terjatuh di kamar mandi.
Aku pun dari awal Ibu sakit sudah menjaganya. Sejak Ibu mengalami kejadian nahas di suatu siang saat mengambil wudu kakinya tergelincir dan terjatuh. Beruntung saat Ibu dalam kondisi itu, masih bisa tertolong oleh khadimat(1) kami untuk membantu mengangkat tubuh ringkihnya yang sampai saat ini masih di pembaringan. Dan aku sampai saat ini masih setia mendampingi Ibu, lebih tepatnya merawat dan menjaga dirinya.
Walaupun aku sebenarnya menaruh segumpal kesumat pada Ibu dan juga beserta kakak-kakakku itu. Kau mau tahu kenapa aku bisa berkata demikian?
Pernikahanku atas perjodohan mereka (Ibu dan kakak-kakakku) hancur bak pesawat terjatuh di padang pasir, berkeping-keping. Pernikahanku gagal saat di tahun pertama. Aku bercerai dengan Ratri, istriku dan juga merupakan wanita pilihan Ibu.
Aku bercerai pada Ratri, menurutnya, karena diriku terlalu dingin padanya. Akhirnya keputusan kami untuk bercerai pun terlaksana. Tapi dengan baik-baik.
Sejak itu mereka yang mengultimatum aku (Ibu dan kakak-kakakku) kini menaruh penyesalan padaku. Tapi itu sudah terlambat karena wanita pilihan hatiku sudah menjadi milik orang lantaran keegoisan mereka.
Dan aku pun masih menyimpan sekam kepada mereka. Walaupun diriku masih setia merawat dan menjaga Ibu saat ini. Tapi rasa kesumatku kepada mereka tidak pernah luntur. Karena mereka sudah menghancurkan hidupku terutama Ibu!
Oya, tapi ngomong-ngomong kemana ya teman sebangkuku semasa SD itu? Padahal sejak kejadian silam semasa seragam putih merah. Aku selalu ingat apa yang diucapkan olehnya padaku saat itu. Walaupun rada sebal juga saat aku ditertawakan olehnya karena masalah letak surga ada di (telapak) kaki Ibu.
Jika kalian mengetahui Ali teman semasa SDku itu. Tolong sampaikan dan beritahukan kalau aku tidak sama sekali menemukan surga itu melainkan neraka?[]
Keterangan:
1. Khadimat : Pembantu
KAK IAN, penulis, pengajar, dan penikmat sastra. Karya-karyanya sudah termaktub di koran nasional dan lokal di antaranya; Koran Tempo, Kompas Nusantara Bertutur, Solopos, Pontianak Pos, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Satelit Pos, Malang Pos, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Mojokerto, Padang Ekspres, Haluan, Rakyat Sumbar, Singgalang, Fajar, Analisa, Majalah Balai Bahasa Lampung Kelasa, Majalah Ummi, Majalah Kiddo, Majalah Utusan dan masih banyak lagi. Sudah memiliki buku solo maupun antologi. Karya terakhirnya, kumpulan cerita remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama (Mecca, Desember 2019) dan kumpulan cerpen: Hikayat Kota Lockdown (Sinar Pena Amala, Agustus 2020)