BENGKONG TERAKHIR
Cerpen Zaenal Radar T.
____________________________________________________________________
Wak Jeple barangkali bengkong atawa tukang sunat tradisional terakhir di kampung kami. Sebab tidak ada anak atau cucu yang bisa melanjutkan karirnya sebagai bengkong. Dengar-dengar Wak Jeple masih tampak gagah walau usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun.
Menurut cerita kakak-kakak saya, Wak Jeple itu macam orang sakti. Dia pernah menyunat tiga puluh anak dalam sehari! Tapi itu dulu. Belakangan ini, di kampung kami belum pernah lagi terdengar ada anak yang disunat menggunakan jasa bengkong. Karena warga lebih memilih anak-anak mereka disunat mantri kampung atau dokter.
—————————————-
Ilustrasi diambil dari Terong Gosong
—————————————–
Saya sendiri lupa kapan persisnya saya disunat. Kata ayah ketika saya berusia 2 tahun. Padahal di kampung kami rata-rata usia seorang anak lelaki disunat saat berumur 7 tahun ke atas. Kenapa saya sunat pada umur segitu, karena masih menurut ayah, ‘burung’ saya mengalami kelainan. Hal itu yang mengharuskan saya disunat lebih awal dari pada anak lain seumuran. Dan saya tidak ingat ketika seorang dokter datang ke rumah dan menyunat saya.
Berbeda dengan kakak-kakak saya, mereka mengaku disunat oleh Wak Jeple. Bahkan paman dan saudara lelaki saya dari pihak ibu juga hampir semuanya sunat dengan Wak Jeple. Usia mereka waktu disunat rata-rata tujuh tahun lebih. Tentu umur segitu seorang anak telah memiliki ingatan yang cukup. Dan mereka tidak akan pernah melupakan momen-momen ketika berhadapan dengan Wak Jeple, bengkong yang mengesekusi ‘burung’ mereka.
Menurut cerita kakak tertua saya, ketika dirinya disunat dengan Wak Jeple, pagi-pagi sekali sebelum disunat dia sudah harus mandi, tepatnya setelah terdengar azan subuh. Mandi pagi sengaja dilakukan, menurut Wak Jeple, agar nantinya tidak terlalu sakit saat disunat. Tubuh yang dingin menggigil dipercaya akan menambah daya tahan tubuh dari rasa sakit disunat. Setelah mandi dikenakan baju koko, lalu memakai kain sarung. Menunggu Wak Jeple datang merupakan hal yang sungguh menegangkan, seperti menunggu seorang ekskutor yang akan mengambil ujung kulit yang teramat vital!
Waktu itu, menurut cerita kakak kedua, yang juga disunat oleh Wak Jeple, dia hampir kabur dari rumah saat mendengar suara bel sepeda yang berhenti di samping rumah. Itu adalah sepeda khas Wak Jeple. Wak Jeple waktu itu masih gagah-gagahnya, dan dia selalu bersepeda saat menyunat pasiennya. Itu dia lakukan karena dia tidak mau merepotkan keluarga sang pasien. Dia tidak ingin dijemput atau diboncengi. Dia datang sendiri dengan sepeda ontelnya. Setelah memarkir sepeda, dia langsung menemui keluarga pasien sambil membawa tas koper berukuran kecil berisi alat sunat.
Wak Jeple bertubuh kekar dan tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki normal. Kedua lengannya besar-besar, dan selalu terlihat pakai kain sarung meskipun mengenakan celana panjang. Kemeja putih dan peci hitam salah satu trade mark-nya juga. Kabarnya, saat Wak Jeple masih aktif jadi bengkong, anak-anak ketakutan saat mendengar bel sepedanya, seperti kakak saya sewaktu disunat dulu.
Sebelum eksekusi dilakukan, biasanya Wak Jeple mengobrol dulu barang sebentar dengan keluarga dan anak yang akan disunat, dan ucapan yang keluar dari mulutnya selalu hal-hal yang lucu. Ini dia lakukan karena ingin mengusir ketegangan bagi si anak dan keluarga. “Dibuang ujungnya aja, kok? Dikiiit banget. Kagak bakalan sakit. Lebih sakit digigit semut!” begitu ucap Wak Jeple setiap akan beraksi.
Koper kecil dibuka dan alat-alat sunat dikeluarkan. Ada penjepit khusus, ini terbuat dari besi. Lalu pisau kecil seperti pisau lipat, alat yang digunakan untuk memotong. Selain pisau lipat itu, sebenarnya ada alat lain yang digunakan, yakni olat. Olat terbuat dari kulit bambu yang dibuat pipih dan tipis pada bagian tepinya, sehingga ketajamannya menyerupai pisau yang baru diasah.
Sebelum sunat dilakukan, ada semacam ritual dan doa-doa yang dilafalkan Wak Jeple. Tidak ada suntik bius atau memberikan obat pereda rasa sakit yang diberikan kepada si anak yang akan disunat. Dua orang dewasa biasanya berada di sisi kiri dan kanan, berdiri di dekat bahu si anak. Mungkin disiapkan untuk memegangi si anak kalau-kalau dia berontak. Wak Jeple berjongkok, kemudian dia siap menjepit ujung ‘burung” si anak, setelah itu memotongnya. Cras!!! Selesai. Oh, belum. Biasanya si anak diberikan obat merah dulu, semacam obat luka.
Kakak saya bilang, sewaktu selesai disunat, dia menangis keras. Di situlah Wak Jeple langsung menghiburnya, mengatakan itu semua tidak apa-apa. Nanti juga waras. (maksudnya, sembuh). “Kagak usah nangis. Pan jauh ke perut!” Setelah itu Wak Jeple membersihkan alat sunatnya, dan siap mengikuti sedekah sunatan. Sedekah sunatan ini semacam kendurian yang dipimpin oleh seorang ustaz, dengan diikuti oleh para tetangga sekitar rumah. Selepas sedekah, seekor bekakak ayam yang ada di areal sedekah itu dibawa ke anak yang sunat, sebelum dibagikan kepada yang lain. Si anak yang sunat dapat jatah makan bekakak ayam lebih dulu. Setelah itu uang sawer pun berdatangan, baik diberikan begitu saja maupun menggunakan amplop.
Saweran uang itulah yang sebenarnya menjadi iming-iming seorang anak bersedia disunat, karena dia bakalan dapat saweran dari sanak family dan warga sekitar. Uang itu diberikan kepada si anak, lalu si anak memasukkanya ke dalam saku atau dompet besar yang telah disiapkan.
Ada juga yang mengarak pengantin sunat keliling kampung diiringi ondel-ondel. Dan tidak sedikit keluarga si anak yang sunat menggelar hajatan dengan hiburan layar tancap atau lenong keliling. Semua dilakukan untuk menyenangkan hati si anak yang baru saja kehilangan ‘ujung burungnya’.
Ada beberapa pantangan untuk anak-anak yang telah disunat. Ini diucapkan Wak Jeple sebelum pamit. Pantangan pertama adalah jangan terlalu banyak bergerak, jangan makan yang amis-amis dan pedas, jangan mandi dulu. Boleh berjalan tapi jangan jauh-jauh. Tapi memang dasar kakakku katanya anak bandel, selepas sunat dia sudah pergi ke sana ke mari, sehingga malamnya dia menangis karena masih merasakan nyeri.
Satu hal lagi, pantangan bagi anak yang baru disunat, yaitu pantangan tidak tertulis yang dipercaya membuat anak yang disunat lama sembuhnya. Yakni saat berjalan dia tidak boleh melangkahi daun kering. Jadi saat berjalan, dia harus benar-benar melihat apakah ada daun kering di hadapannya atau tidak. Kalau memang ada, daun kering itu harus disingkirkan lebih dulu sebelum dilangkahi. Untuk menyingkirkan daun kering yang menghalangi jalan, si anak sunat membawa tongkat. Agar kain sarung tidak mengenai ‘burung’ yang habis disunat, biasanya menggunakan tepes atau potongan sabuk kelapa kering yang diikat di pinggang bagian depan si anak. Sehingga saat berjalan, tepes tersebut memberikan perlindungan agar terhindar dari gesekan-gesekan. Tapi saat ini, ada kain dan alat pelindung khusus yang bisa digunakan oleh pengantin sunat, jadi tidak perlu sibuk mencari sabuk kelapa.
***
Dan sebentar lagi keluarga kami akan menggelar sunatan untuk adik kami. Usianya sudah lima belas tahun lebih dua bulan. Tapi Syahroni, adik laki-laki bontot kami, belum juga disunat. Alasanya, karena Syahroni takut dokter. Jangankan didekati, melihat dari jauh dia sudah lari terbirit-birit. Ketakutan Syahroni terhadap dokter bukan tanpa alasan. Saat usianya delapan tahun, ketika mau disunat dia mendadak sakit. Entah sakit karena stress mau disunat atau karena apa. Syahroni dibawa ke dokter dan disuntik. Syahroni merasakan pantatnya keram selama dua hari dua malam. Sejak saat itu dia menolak untuk dibawa ke dokter ketika sakit. Walaupun dijanjikan tidak akan disuntik, Syahroni kapok ke dokter.
Malam itu selepas isya, kami berembuk di ruang keluarga.
“Kalo sama dokter bae dia takut, pegimana cara nyunatinnya?” tanya Bang Sukron, kakak tertua saya. Dia yang paling khawatir kalau-kalau Syahroni tidak disunat sepanjang umurnya. Mengingat siapapun tahu, muslim laki-laki wajib disunat kalau sudah akil balik. Dan Syahroni seperti yang kami tahu, sudah lewat akil balik.
“Kita bius bae!” seloroh Bang Sukma, adiknya Bang Sukron.
“Jangan ngaco! Ini serius!” kata ibu saya akhirnya. Kemudian semua orang menatap saya. Saya terdiam karena belum dapat ide. Lalu saya menjentikan jemari, semua senang. Mereka yakin saya sudah punya pendapat. Tapi kemudian saya menunduk lemah, karena ragu untuk bicara.
“Huuuh, gua kirain lu udah punya ide!” Bang Sukron melirik saya dengan wajah gedek banget.
“Maaf sebelumnya nih abang-abang. Si Syahroni kan bukan takut di sunat, ye? Dia takut sama dokter, kan?” ucap saya akhirnya, berusaha membuka kebuntuan sidang keluarga. Semua mengangguk. Saya melanjutkan, “Kalo gitu gini aja. Di Kampung kita kan masih ada Wak Jeple, bengkong yang suka nyunatin anak-anak. Dulu kalo kagak salah Bang Sukron sama Bang Sukma disunat sama Wak Jeple, kan?”
“Itu mah dulu, Kum. Semua anak lelaki di kampung ini emang sunat sama Wak Jeple. Zamannya udah beda. Udah kagak ada lagi anak yang sunat sama bengkong!”
“Dicoba aja dulu. Siapa tahu kalau sama bengkong Si Syahroni mau disunat.”
“Apa Wak Jeple masih mau nyunatin anak-anak?”
“Kita belum tanya ke beliau, jadi kita belum tahu dia mau atau enggak nyunatin si Syahroni”
Semua anggota keluarga menghela napas panjang. Rapat keluarga ditutup dengan hasil menggantung. Dan semua sepakat, saya mendapat tugas menghubungi Wak Jeple.
***
Keesokan harinya saya langsung menemui Wak Jeple di rumahnya. Saya sempat tanya sana sini dan tersesat jalan, karena memang tidak pernah lagi ke rumahnya sejak sepuluh tahun terakhir. Selepas kuliah dan bekerja, saya sudah menetap di pusat kota, karena dapat jatah rumah dinas. Paling cepat pulang ke rumah orangtua tiga bulan sekali, karena selalu berkomunikasi melalui video call atau Hp. Saat pulang saya pun tidak kemana-mana, hanya berdiam di rumah.
Kali ini saya pulang untuk acara sunatan sang adik. Ternyata jalan menuju rumah Wak Jeple sudah banyak perubahan di sana sini, baik bangunan rumah maupun jalan-jalan gang sekitar umah warga. Sudah tidak tampak lagi tanah becek, karena semua sudah diaspal. Tanah-tanah kosong sudah berubah jadi cluster-cluster, kompleks perumahan sederhana yang terdiri dari puluhan unit saja. Dan rumah Wak Jeple terjepit di ujung tembok cluster salah satu kompleks.
Wak Jeple tinggal bersama cucu dan cicit-cicitnya. Dia tersenyum saat saya datang dan meminta untuk menyunati adik saya esok lusa. Saya perhatikan wajahnya yang menua tapi tetap kelihatan segar, rambut kepala dan kumis serta jenggotnya memutih. Kulit tangannya mengisut, dan tampak gemetar jemarinya saat merokok. Sudah setua ini, kata cucunya dia masih sulit dilarang menghisap nikotin.
Inti pembicaraan kami adalah, cucu Wak Jeple menolak permintaan saya dan keluarga untuk menyunati adik saya. Karena sudah lebih dari tujuh tahun Wak Jeple sudah tidak lagi jadi bengkong, seseorang yang berprofesi sebagai tukang sunat. Cucu Wak Jeple menyarankan saya menemui dokter atau mantri sunat. Apalagi sekarang sudah ada pula dokter sunat menggunakan teknologi laser.
Masalahnya, adik saya tidak mau disunat mantri atau dokter. Jangankan disunat, bertemu saja dia langsung kabur karena trauma. Saya pun akhirnya memaksa sang cucu agar mengizinkan Wak Jeple menyunati adik saya. Anggap saja ini terkahir buat Wak Jeple sebagai bengkong. Sang Cucu akhirnya luruh dan menyerahkan semua ini ke Wak Jeple. Wak Jeple mengangguk sambil tak lupa tersenyum. Kali ini dia tak berucap barang sekata dua kata seperti biasa. Saya tak mendengar canda tawa yang keluar dari mulutnya seperti cerita kakak-kakak saya.
Saya pulang dan mengabarkan kepada keluarga, lusa pagi Wak Jeple akan datang menyunati adik saya. Berbagai hal dipersiapkan. Ayah saya senang karena akhirnya anak bontotnya akan disunat setelah menunggu lebih dari lima belas belas tahun. Dan tentu akan mengakhiri gunjingan beberapa warga karena sudah setua itu adik saya belum disunat.
Dan hari yang dinanti tiba. Syahroni sudah dipaksa mandi pagi-pagi sekali. Setelah itu dia mengenakan baju koko dan kain sarung. Karena sudah beranjak remaja, sunat akan dilakukan di dalam kamar, tertutup untuk umum dan keluarga. Hanya aku dan paman yang dibolehkan menemaninya. Kakak-kakak aku menyerah dan memilih kabur saat ditugasi ayah membantu Wak Jeple. Mereka memilih menyiapkan segala sesuatu untuk acara sedekah dan jamuan buat sanak family serta para tetangga.
Sampai hari menjelang siang, Wak Jeple yang ditunggu-tunggu belum juga tiba. Bengkong terakhir di kampung kami itu belum juga nongol batang hidungnya. Bel sepeda-nya yang khas belum terdengar. Dan saya akhirnya ditugasi menjemputnya. Siapa tahu sepedanya rusak di tengah jalan, atau memang dia perlu dijemput karena sudah tidak muda lagi. Saya lupa menanyakan nomor yang bisa dihubungi, sehingga terpaksa saya harus ke rumahnya.
Dengan menggunakan sepeda motor, saya berangkat menjemput Wak Jeple. Setiba di gang depan rumahnya, setelah melewati jalan dan gang-gang beraspal dan cluster perumahan, saya dikejutkan oleh warga yang sedang memasang bendera kuning. Ini pertanda ada seseorang yang meninggal. Saat saya tanyakan, ternyata Wak Jeple baru saja berpulang.
“Innalillahi wainnailaihi roojiun.” Saya benar-benar shock.
Saya langsung menemui cucu Wak Jeple yang tengah berduka. Sebelum saya berkata-kata, si cucu sudah langsung mengutarakan permintaan maaf karena belum sempat mengabarkan saya dan keluarga. Wak Jeple meninggal dunia selepas solat subuh di kamarnya. Cucu Wak Jeple mengira Wak Jeple sudah bersiap mendatangi pasien terakhirnya yang akan disunat, tapi ternyata tubuhnya telah kaku.
Saya langsung pulang untuk mengabarkan kepada keluarga dan adik saya yang akan disunat. Setelah memarkir motor di samping rumah, keributan sudah terdengar dari luar. Kakak tertua saya sedang marah-marah, mengatakan kalau adik saya Syahroni kabur karena mengaku belum siap disunat. Semua anggota keluarga menatap kedatangan saya dengan raut wajah kecewa. Mereka tidak menanyakan kenapa saya tidak bersama Wak Jeple yang akan menyunati adik saya. Semua malah berlari mengejar adik saya yang kabur melalui pintu belakang sebelum saya berkata-kata.***
*)Tangerang Selatan, 2023
Biografi Singkat:
Zaenal Radar T. Kelahiran Tangerang. Menulis sejumlah cerita untuk media cetak dan elektronik. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di sejumlah media, diantaranya majalah Sastra Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Matra, Nova, Femina, Republika, Media Indonesia, dll. Buku kumpulan cerpennya yang terlah terbit; Harga Kematian (2003), Airmata Laki-laki (2004), Si Markum (2017), dll. Naskah skenario yang pernah ditulisnya, antara lain: Si Entong AbuNawas Dari Betawi (TPI), Tendangan Si Madun (MNCtv), Si Kriwil (RCTI), Wara-Wiri Ramadhan (Trans7), Emak Ijah Pengen Ke Mekah (SCTV), dll. Kini anggota Komita Sastra Dewan Kesenian Tangerang Selatan. s.id/zaenalradar