PUISI 

KATA MENDEBU BERSAMA AIR MATA IBU

Sajak-sajak Nanang Suryadi

______________________________________________________________________

 

 

SELAMAT SENJA 

“selamat senja,” katanya. puisi gemetar. lindap di balik remang cahaya. 

adalah gema. memantul mantul dalam dada. dalam kepala. sebagai dentang. sebagai kenang. berulang-ulang datang. 

“peluk aku dalam cintamu. rengkuh aku dalam rindumu. doa-doa yang ikhlas. menggetarkan semesta.” 

pikiran-pikiran meruncing. seperti ingin menikam. dan jawab? serupa bening air. memantulkan wajah galau. 

 

28 September 2015 

 

KATA MENDEBU

serpihan menyerpih serpih. mendebu debu, di keluasan semesta, menerjemahmu dengan kelu lidahku 

karena kesabaran bukan untuk dikata-katakan 

kata-kata berhamburan kemana kan sampai? engkau ya engkau 

 

26 September 2015 

 

 

AIRMATA IBU 

 

aku tak ingin menghapus airmatamu ibu, karena itu adalah doa yang tak terucapkan, cinta yang terus dipanjatkan 

 

Bandung, 2015 

 

DI SAAT HUJAN

di saat hujan aku teringat penyair yang membenci hujan dan bulan di dalam puisi. karena lampu-lampu kota telah menyingkirkannya jauh ke kampung ingatan 

selepas hujan aku bertanya: sehitam itukah kotoran yang menumpuk mengendap di dasar-dasar sungai, hingga sehari hujan tak sanggup melarutkannya? 

Bandung, 2015 

 

PUISI HUJAN MALAM 

mana yang lebih tabah hujan atau airmata? kedua-duanya berdiam dalam sajak yang teramat sunyi. 

mana yang lebih puisi, kelopak senja atau kelopak malam? awan menunggu kemarau menjawab. hingga hujan melunaskannya 

hujan malam malam puisi menontonmu diam diam di sudut yang kekal dengan puisi malam malam hujan 

Bandung, 2015 

 

AKU BERSUJUD 

di bumimu aku bersujud, serasa menciummu. engkau yang sangat dekat, namun terasa jauh dari gapai. 

jika harapku serupa daun luruh jatuh, engkau pula yang menumbuhkan tunas-tunasnya

 

Bandung, 2015 

 

ABAI ISYARAT 

 

banyak isyarat disampaikan, tapi kita abai, dengan segala alasan kesibukan 

negeri itu hilang dalam lumpur dan asap. “ah, itu hanya dongeng belaka,” ujar sang pejabat. dia akan pesiar ke negeri jauh. 

 

Bandung, 2015 

 

AMSAL KEHIDUPAN 

 

pendakian demi pendakian. demikianlah kehidupan. sampai kapan kan terus bertahan. hingga sampai perjumpaan. 

dengan kesabaran, demikianlah cinta merawat luka. di dada yang gemuruh. di saat sepi meraja. cinta menyala-nyala 

Bandung, 2015 

 

 

BERSERAH 

tak usah kau cari kata, karena kau telah baui keringat asinnya, kehidupan telah mengajarkan puisi, berulang-ulang di depan matamu 

ketika galau berubah gebalau, mengapa tak kau rebahkan seluruh tubuh melekat ke bumi?

Bandung, 2015 

 

DENTANG KENANG MENCARI JEJAK SAJAK 

yang berdentang adalah kenang. bayang-bayang centang perenang. yang berdentang adalah kenang. berganti-ganti datang dan hilang.

sajak-sajak tanpa jejak, serupa peta buta, hingga kita tersesat dalam tanya. kapan kan sampai. kemana kan sampai. 

kau memetakan langit, tapi langit penuh asap, kemarau demikian panjang. “Tak ada asap tanpa ada api,” katamu. semua tahu 

berulang-ulang. dan kita tak pernah belajar. menghikmati semua kejadian. peristiwa menjadi sumber kegaduhan. debat kusir. berulang-ulang 

kita rayakan keterpurukan dengan menanggap musik dari negeri jagoan. kita rayakan kekalahan demi kekalahan. agar tak terasa kesedihan. 

setiap kali, suguhkan berita sebagai hiburan. agar grundelan bisa melepaskan kepenatan. di dalam kegaduhan, lupa semua kesulitan. 

di dalam sajak itu sore menjadi hore, senja menjelma senda. seperti isi kepala yang berbeda-beda membaca. demikian juga tanda-tanda. 

Bandung, 2015 

 

DI GANG-GANG KOTA, RASAKAN DENYUT PUISI 

kita sering terpikat pada yang sesaat, tak mampu membuat jarak pada persoalan-persoalan yang mendesak menyesak 

inilah hidup. hidup. sebenar-benar puisi. dalam asin darah keringat airmata. inilah puisi. tak tertampung kata-kata 

aku hikmati teriakan-teriakan yang bergema dari gang ke gang di kota ini. aku hikmati bau-bauan aroma khas dari got musim kemarau 

tak ada lagi deru gerinda beradu dengan batu dari gang-gang kota ini. tinggal teriakan tukang sol sepatu, baso cuangki, odading, pais impun 

tapi hidup harus terus berlanjut. seremah demi seremah rezeki harus dicari dan disyukuri.

Bandung, 2015 

INILAH SUJUDKU 

 

rindu yang menggebu, cinta yang mendamba, inilah sujudku, syair-syair yang tak pernah usai dituliskan 

apakah udara yang membuat gigil? atau tubuh yang tak kuasa menolak dingin? doa dan doa. harap dan cemas berbaur dalam degup dada 

doa dan doa. pinta atau sebuah pernyataan cinta? 

sungguh sukar menghindar puja puji, semata ikhlas mencintaimu sepenuh hati. duh, sungguh sukar sekali 

di batas malam, di puncak malam, ada yang bersimbah. airmata mencari muara asinnya serupa pepohonan yang rebah, demikian tabah dalam lelaku sembah 

diam adalah gerak. gerak adalah diam. keseimbangan dalam semesta. diriku debu. diam atau beterbangan. tetaplah merindu 

bacalah. tapi aku membaca dengan mata hati yang rabun, mulai membuta. sejukkan dengan embunmu. terangi dengan cahayamu. agar tak lagi aduh 

jutaan binatang liar dalam dada dan kepala, demikian gaduh, dan keheningan membuatnya semakin riuh. aku bersimpuh 

apakah aku dapat berpaling dari tatapmu setajam itu? 

apakah akal atau rasa, menjangkau engkau, yang rahasia 

berserah diri, pasrah, takdir menjadi 

malam yang diberkahi, malam yang teramat sunyi, memandang diri sendiri, termangu sendiri

Juli, 2015 

 

AKU MENYAPAMU DALAM SUNYI 

yang berdetak adakah jarum jam atau jantung sendiri, menyerumu dalam sunyi aku menyapamu dalam sunyi

dekaplah diri yang gigil, menemu cahaya kata di perjalanan sunyi 

bacalah: asal mula diri, kemana akan kembali. di dalam sunyi. di dalam rindu tiada henti 

telah diterjemahkan bahasa: dari hati kembali ke hati. demikian berhati-hati menerka, memakna, hati dengan hati 

2015 

 

—————————

NANANG SURYADI, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Buku puisinya: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak di Usia Dua Satu (1994), Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999), Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002), Cinta, Rindu dan Orang-orang Yang Menyimpan Api dalam Kepalanya (UB Press, 2010), BIAR! (Indie Book Corner, 2011), Yang Merindu Yang Mencinta (Nulisbuku, 2012), Derai Hujan Tak Lerai (Nulisbuku, 2012), Kenangan Yang Memburu (Nulisbuku, 2012), dan Penyair Midas (Hastasurya, 2013).

 

Related posts

Leave a Comment

eighteen + 14 =