ARTIKEL 

Politik Kanonisasi Sastra versus Merdeka Belajar: Antara Kebutuhan dan Kebebasan

Oleh HM Nasruddin Anshori Ch, budayawan, pengasuh desa kebangsaan ilmu giri

_____________________________________________________________________

 

Polemik Sastra masuk Kurikulum tampaknya akan semakin “seru dan saru.” Hanya berselang beberapa bulan menjelang tahun ajaran baru 2024/2025 dimulai (Juli 2024), demikian Kompas.com mencatat, Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek melaunching “Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” yang dibingkai dalam tagline “Sastra Masuk Kurikulum” pada Senin 20 Mei 2024.

 

Ada 177 judul buku fiksi direkomendasikan oleh para kurator yang terdiri dari para akademisi, sastrawan terkenal dan para pendidik dengan sebaran 43 karya untuk SD sederajat, 29 judul untuk jenjang SMP, dan 105 untuk SMA/SMK/MA.

Saat buku panduan tersebut disebar dan dibaca oleh khalayak, ternyata banyak persoalan serius yang menghinggapi. Banyak sastrawan yang berteriak lantang, menolak, marah, sebagian lagi cukup bergumam lirih: sinting!

Intinya, kehadiran buku panduan yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek dan dikuratori oleh seabrek sastrawan senior itu dicap sebagai “asal-asalan”, “ngawur”, dan “menyesatkan”. Bukan soal substansi isi, bahkan biodata para sastrawan yang sudah kondang sejak berpuluh tahun silam pun salah besar, sekadar mengambil contoh, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri ditulis sudah wafat, padahal masih hidup. Pingin melakukan verifikasi atas kesalahan buku setebal 784 halaman itu dan menjumlah kesalahan fatalnya? Silahkan!

Kanonisasi sastra yang mencerahkan

Kanonisasi sastra bertujuan untuk melestarikan dan menyebarkan karya-karya sastra yang dianggap bernilai tinggi. Hal ini dapat membantu membangun identitas nasional dan budaya, serta meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra. Karya-karya kanon juga dapat menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran bagi generasi penerus.

Di sisi lain, kanonisasi sastra juga dapat dilihat sebagai bentuk kebijakan atau bahkan pemaksaan. Pemilihan karya-karya kanon oleh otoritas tertentu dapat memicu kritik dan perdebatan, karena dianggap tidak mewakili semua suara dan perspektif dalam masyarakat. Selain itu, kanonisasi sastra dapat membatasi ruang kreativitas dan inovasi, karena fokusnya hanya pada karya-karya yang telah diakui.

Merdeka Belajar, di sisi lain, menekankan pada pemberian kebebasan kepada murid untuk memilih apa yang ingin mereka pelajari. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan potensi murid secara optimal dan sesuai dengan minat mereka. Murid didorong untuk menjadi pembelajar mandiri dan kritis, serta tidak terikat pada kurikulum yang kaku.

Merdeka Belajar dan kanonisasi sastra memiliki tujuan yang berbeda, namun keduanya dapat saling melengkapi. Kanonisasi sastra dapat menjadi sumber bahan ajar yang berharga dan memperkaya pembelajaran murid. Di sisi lain, Merdeka Belajar dapat memberikan ruang bagi murid untuk mengeksplorasi karya sastra di luar kanon dan menemukan karya-karya yang mereka sukai.

Berikut adalah beberapa poin penting untuk dipertimbangkan dalam diskusi tentang kanonisasi sastra dan Merdeka Belajar:

 

1. Pentingnya keragaman: Kanonisasi sastra haruslah inklusif dan mewakili berbagai suara dan perspektif dalam masyarakat. Karya-karya dari penulis perempuan, minoritas, dan dari berbagai daerah harus dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam kanon.

2. Keterbukaan terhadap perubahan: Kanonisasi sastra bukanlah sesuatu yang statis. Seiring dengan perubahan zaman dan munculnya karya-karya baru, kanon haruslah diperbarui dan diubah.

3. Keseimbangan antara kebutuhan dan kebebasan: Merdeka Belajar haruslah seimbang dengan kebutuhan untuk melestarikan dan menyebarkan karya sastra yang bernilai tinggi. Murid harus diberikan kebebasan untuk memilih apa yang ingin mereka pelajari, namun mereka juga harus mendapatkan exposure terhadap karya-karya kanon.

Kanonisasi sastra dan Merdeka Belajar adalah dua konsep yang penting dalam pendidikan sastra. Dengan mempertimbangkan kedua konsep ini secara cermat, kita dapat menciptakan sistem pendidikan sastra yang efektif dan bermanfaat bagi semua murid.

Kanonisasi sastra dan Merdeka Belajar memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Keduanya dapat saling melengkapi dan menciptakan sistem pendidikan sastra yang efektif. Penting untuk mempertimbangkan keragaman, keterbukaan terhadap perubahan, dan keseimbangan antara kebutuhan dan kebebasan saat membahas kedua konsep ini.

 

Antara kebijakan dan pemaksaan

Kanonisasi sastra dan Merdeka Belajar merupakan dua pendekatan yang berbeda dalam memandang pembelajaran sastra di Indonesia. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan menimbulkan pertanyaan: apakah kanonisasi sastra merupakan bentuk kebijakan atau pemaksaan?

 

A. Kanonisasi Sastra

Kelebihan:

  • Memberikan standar dan acuan dalam pembelajaran sastra, sehingga memudahkan penentuan kurikulum dan materi pembelajaran.
  • Membantu memperkenalkan karya-karya sastra yang dianggap penting dan bernilai tinggi kepada masyarakat luas.
  • Mendukung pelestarian budaya dan tradisi sastra bangsa.

 

Kekurangan:

  • Membatasi ruang eksplorasi dan kreativitas dalam pembelajaran sastra.
  • Menimbulkan ketimpangan dalam representasi karya sastra, sehingga mengabaikan karya-karya lain yang mungkin juga memiliki nilai tinggi.
  • Berpotensi memicu indoktrinasi dan penanaman nilai-nilai tertentu, sehingga menghambat pemikiran kritis dan independen.

 

B. Merdeka Belajar:

Kelebihan:

  • Memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih karya sastra yang mereka minati dan pelajari.
  • Mendorong pembelajaran yang lebih aktif dan bermakna bagi siswa.
  • Membuka ruang untuk eksplorasi dan kreativitas dalam pembelajaran sastra.

Kekurangan:

  • Membutuhkan persiapan dan pelatihan yang matang bagi guru untuk menerapkannya secara efektif.
  • Berpotensi menimbulkan kebingungan dan kesulitan bagi siswa dalam memilih karya sastra yang tepat untuk dipelajari.
  • Memerlukan sistem penilaian yang lebih fleksibel dan komprehensif.

 

Kebijakan atau Pemaksaan?

Kanonisasi sastra dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra dan menanamkan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, kanonisasi sastra juga dapat dipahami sebagai bentuk pemaksaan, karena siswa dipaksa untuk mempelajari karya-karya tertentu dan tidak diberi pilihan untuk memilih karya yang mereka minati.

Merdeka Belajar, di sisi lain, menawarkan pendekatan yang lebih terbuka dan demokratis dalam pembelajaran sastra. Namun, tanpa persiapan dan pelatihan yang matang, Merdeka Belajar dapat menjadi boomerang dan justru membingungkan siswa.

Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah kanonisasi sastra merupakan bentuk kebijakan atau pemaksaan tergantung pada sudut pandang dan konteks penerapannya. Penting untuk mempertimbangkan berbagai aspek, seperti tujuan pendidikan, kebutuhan siswa, dan kondisi sosial budaya, sebelum memutuskan pendekatan yang tepat untuk pembelajaran sastra di Indonesia.

Kesimpulan

Baik kanonisasi sastra maupun Merdeka Belajar memiliki potensi dan tantangannya masing-masing. Kuncinya adalah memilih pendekatan yang tepat dan menerapkannya secara efektif dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan.

Penting untuk diingat, bahwa kanonisasi sastra dan Merdeka Belajar tidak harus saling bertentangan. Kedua pendekatan ini dapat dikombinasikan untuk menciptakan sistem pembelajaran sastra yang lebih seimbang dan efektif. Dialog dan diskusi yang terbuka dan konstruktif antara berbagai pihak sangatlah penting untuk menemukan solusi terbaik bagi pembelajaran sastra di Indonesia.

Mari kita berpolemik dengan data, argumen, sikap ilmiah dan pantang emosional. Bukankah sastra sudah seharusnya mencerahkan? ***

____________________

Biodata:

HM Nasruddin Anshoriy Ch yang lebih akrab disapa Gus Nas adalah Budayawan, Penyair, Aktivis Lingkungan Hidup dan Pengasuh Desa Kebangsaan Ilmu Giri Yogyakarta. Menulis sejak tahun 80-an dan dimuat di Kompas, Sinar Harapan, Majalah Prisma, Majalah Sastra Horison dan media Nasional lain.
Buku pertamanya terbit tahun 1996 berjudul “Berjuang dari Pinggir” dan diterbitkan oleh Pustaka LP3ES Jakarta, disusul beberapa buku seri tentang “Strategi Ketahanan Nasional” yang diterbitkan oleh Lemhannas.
Menjadi Pembicara Seminar Nasional dan International, di antaranya pada “Thirds Southeast Asian Writer’s Conference” di National University of Singapore tahun 1987, dilanjutkan perjalanan sastra di seluruh Negara di Asean selama setahun.
Memenangkan Lomba Penulisan Puisi tingkat Asia tahun 1991 dan menerima Anugerah “New Voice of Asia”, menjadi Penulis Puisi Terbaik Favourite Pembaca Harian Republika dan Pemirsa ANTV pada Perayaan 50 Tahun Indonesia Merdeka, 1995.
Menjadi Keynote Speaker di berbagai Forum Kebudayaan Dunia, di antaranya pada _World Heritage Day_  tahun 2017 dan _World Culture Forum_ tahun 2013, serta Konferensi International Perubahan Iklim atau ICOP-13.
Menjadi Produser Film, Sutradara dan Penulis Skrip Skenario berbagai film dokumenter, di antaranya: Film Dokumenter berjudul “Mata Air Kebangsaan: Biografi Ki Hadjar Dewantoro”, Film Dokumenter berjudul “Sang Guru Bangsa: Biografi HOS Tjokroaminoto”, Film Dokumenter berjudul “Matahari Pembaruan: Biografi Kyai Ahmad Dahlan”, serta Film Dokumenter berjudul “Jejak Juang Sang Rais Akbar: Biografi Hadratus Sheikh Hasyim Asy’ari”.

Gus Nas mulai menulis puisi sejak tahun 1978 saat masih menjadi santri di Pesantren Al Muayyad, asuhan KH Umar Abdul Mannan, Solo. Saat kelas 1 SMP ia sudah membaca buku Antologi Puisi-Puisi Dunia terbitan Pustaka Jaya, juga puisi Chairil Anwar dan WS Rendra.

Tahun 1983 puisinya yang berjudul Cakar-Cakar Garuda sempat menyibukkan aparat keamanan karena dinilai subversif dan menuliskan kritik tajam pada Orde Baru dan Presiden Suharto. Sempat diinterograsi oleh Pangkopkamtib era Sudomo dan dibela oleh para pakar hukum seperti Abdurrahman Saleh, Adnan Buyung Nasution dll. Dari kalangan seniman muncul Emha Ainun Madjib, Rendra, Mochtar Lubis, HB. Jassin, Taufik Ismail dst yang turut membela, sedangkan Sapardi Djoko Damono menulis Catatan Kebudayaan di Majalah Sastra Horison berjudul “Tiba-Tiba Menjadi Penting”.

Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang yang difasilitasi oleh KH Yusuf Hasyim. Mengadakan Workshop dan Simposiun Nasional tentang Sastra Pesantren dengan mengundang Gus Dur, Ahmad Thohari, Cak Nun, Simon Hate, Hazim Amir dll bersama Teater Dinasti, Teater Mlarat Malang dan Teater Gapit Solo.

Tahun 1987 menjadi pembicara pada Forum Puisi Indonesia dengan makalah berjudul “Sastra Engagement: Titiktemu antara Poetika, Komitmen Sosial, dan Dimensi Transenden”. Pada tahun yang sama menghadiri undangan Southeast Asian Writer’s Conference di National University of Singapore bersama Sulak Sivaraksa, Edwin Thumbo, F. Sionil Jose dll, dilanjutkan perjalanan sastra di sejumlah negara Asean dengan sponsor Mendikbud Fuad Hassan.

Sejak tahun 80-an puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Horison, Panji Masyarakat, Amanah, dan beberapa puisinya secara khusus diterbitkan oleh Majalah Solidarity Philippines dengan ulasan mendalam oleh F. Sionil Jose sebagai New Voice of Asia.

Tahun 2006-2008 menjadi pengisi acara tetap bertajuk “Analisis” di koran Kedaulatan Rakyat, di JogjaTV, dan mengisi “Tausiyah Cinta” di Programa 2 RRI Jogja. Tahun 2013 menjadi Pemrakarsa Penerbitan Buku Antologi 90 Penyair Jogja berjudul “Lintang Panjer Wengi di Langit Jogja” dan buku geguritan edisi Bahasa Jawa. Beberapa kali memenangkan lomba penulisan puisi tingkat nasional, antara lain terkait Lingkungan Hidup, dan Memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka. @

 

Related posts

Leave a Comment

six + 17 =