DARI JENDELA RUMAH IBU

 

Ketika kecil, menjelang magrib, aku sering memandangi sungai, yang melintas di samping rumah ibu, dari jendela. Kebetulah rumah ibu ada di tepi sungai, di Kampung Gadukan, Kaliwungu, Kendal. Kusebut rumah ibu, karena ketika itu aku sudah yatim sejak berusia lima tahun, dan sepeningal ayah, kami, tiga anaknya, lantas menyebutnya sebagai “rumah ibu”.

 

Dari jendela aku suka melamunkan sungai itu, bertanya dalam hati dari mana airnya yang bening dan berlimpah. Dalam imajinasiku yang kanak-kanak, sungai itu panjang sekali. Aku pernah menyusuri sampai ke muaranya di bibir Pantura, di Pantai Ngebum, dengan naik sepeda. Tapi, aku tak pernah tahu di mana hulunya, dan seberapa jauhnya. Kalau aku menyusurinya ke hulu, pasti takkan sampai-sampai.

 

 

 

Dari jendela, sambil memandangi permukaan airnya yang berkilau-kilau, aku juga membayangkan ikan-ikan yang hidup damai di dalamnya, pohon-pohon yang bermusik bersama angin, dan perahu nelayan yang tiap senja selalu bersandar di dekat rumah ibu pada masa kakekku dulu. Sayangnya, perahu nelayan tidak dapat lagi melintasi sungai itu, karena terhalang beberapa jembatan – salah satu jembatan yang membentang di depan rumah ibu.

 

 

Dari jendela aku suka mebayangkan, alangkah indahnya jika ada perahu nelayan, dengan layar setengah terbuka, bersandar di dekat rumah ibu, dan sesekali aku bisa ikut berlayar, menjaring ikan di laut luas, dan sesekali mampir di pantai, mencari kerang dan teripang. Sayangnya sungai itu telah terpotong-potong banyak jembatan, dan hanya sampan kecil, tanpa layar, yang dapat menyusurinya.

 

 

Dari jendela rumah ibu, ketika mulai dewasa, aku pun masih suka memandangi sungai itu, memandangi perempuan-perempuan kampung yang masih suka mandi dan mencuci apa saja di sungai itu. Dari jendela itu aku suka menyusun kembali kenangan masa kecil: memburu ikan gabus ketika musim kemarau, memancing ikan keting dan lele pada musim hujan, belajar berenang dan melompat dari atas jembatan pada musim banjir. Sebuah sungai yang telah memberiku banyak kenangan, cerita sekaligus kearifan.
***

 

Kenangan masa kecil rupanya dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada habis-habisnya dalam menulis puisi, setidaknya menyumbangkan banyak metafor. Logika psikologisnya, pengalaman masa kecil akan mengendap ke memori bawah sadar seseorang. Ketika seseorang, dalam hal ini penyair, memerlukannya, maka memori bawah sadar akan menyumbang metafor-metafor ataupun citraan-citraan simbolik yang diperlukan. Karena pengalaman masa kecil tiap orang, tiap penyair, berbeda-beda, maka metafor-metafor puisi yang hadir dari kenangan masa kecil akan cenderung berbeda-beda dan unik, terasa baru dan segar.

 

Sangat banyak puisi saya yang disumbang oleh memori bawah sadar dari masa kecil di kota Kaliwungu, yang dikenal sebagai Kota Santri itu. Memori tentang “sungai yang panjang” di samping rumah ibu, dipengaruhi oleh “imaji religius” tentang perjalanan iman yang juga sangat panjang, sejak manusia berakal (baligh) hingga “hari perhitungan” kelak, menginspirasi lahirnya puisi sederhana saya, “Sungai Iman”, yang terkumpul dalam Sembahyang Rumputan (Bentang Budaya, 1996), sbb.

 

 

SUNGAI IMAN

 

Sungai itu panjang sekali
Mengalir ke dalam tubuhku
Dengan penuh cinta aku pun berlayar
Bersenandung dalam konser pohonan

 

Sungai itu dalam sekali
Berpusar dalam palung jiwaku
Dengan penuh gairah aku pun menyelam
Menangkap makna hidup pada mata ikan

 

 

Sungai itu panjang sekali
Di arusnya aku memburumu
Tak sampai-sampai

 

(Sembahyang Rumputan, halaman 17)

 

Metafor yang dipakai oleh penyair mengisyaratkan rasa empatinya pada habitat asal metafor tersebut. Jika puisi-puisi seorang penyair banyak diwarnai metafor ataupun simbol alam, itu isyarat bahwa sang penyair banyak berempati pada lingkungan alam. Pakar teori sastra Rene Wellek pernah mengatakan, simbol yang paling banyak digunakan penyair adalah simbol alam (natural symbol), yakni simbol yang berupa unsur-unsur atau benda-benda dari lingkungan alam.

Ranah pengamatan Wellek adalah puisi-puisi yang berkembang dalam sastra Barat, dan itu juga tampak dalam perpuisian kita. Kenyataannya, selain private symbol dan blank symbol (istilah dari Wellek), puisi-puisi Indonesia, sejak era pantun sampai era puisi kontemporer, juga banyak diwarnai oleh metafor-metafor dan simbol-simbol alam -– simbol yang menjanjikan keindahan dan kedalaman makna puisi.

 

 

Karena itu, seperti pesan Rendra, berempatilah pada lingkungan di sekitar kita, juga pada lingkungan alam, mikro kosmos dan makro kosmos, agar lingkungan bersedia menyumbang banyak inspirasi dan metafor untuk sajak-sajak yang kita tulis, sajak-sajak yang kita harapkan menyajikan keindahan dan kedalaman makna.

***

 

Aku bersyukur lahir di kota santri Kaliwungu, Kendal, sehingga dapat mewarisi sikap dan kebiasaan religius. Banyak pengalaman masa kecil yang turut membangun sikap dan kebiasaan religius saya. Pagi belajar di sekolah negeri sampai SMA, sore belajar di sekolah madrasah ibtidaiyah sampai tamat, dan malam sehabis Maghrib belajar mangaji Alquran pada seorang ustad, dan alhamdulillah, sampai khatam.

Dari aspek pendidikan saya merasa mendapat lebih. Ilmu dunia dan ilmu akherat saya dapatkan semasa kecil hingga remaja. Dalam pergaulan dan mengakrabi lingkungan, juga mendapatkan lebih dari cukup. Pada malam terang bulan purnama, bersama kawan-kawan seusia, kami biasa bermain grobak sodor (go back to dor) di halaman rumah bude yang luas. Bosan dengan grobak sodor, kami bermain ular-ularan atau jamuran. Saat bermai jamuran inilah kami selalu melantunkan tembang “Ilir-ilir” Sunan Kalijaga.

 

 

Tembang “Ilir-ilir”, ditambah pengalaman berdeklamasi pada acara imtihan di madrasah ibtidaiyah, dan membaca puisi maulid Nabi di mushalla kampung, membangun sikap religius saya dalam menulis puisi. Puisi saya “Sembahyang Rumputan” (Sembahyang Rumputan, Bentang Budaya, 1996), renungannya, dam simbol-simbo alamnya (rumputan), terbawa di alam bawah sadar saya sejak kecil, dan baru berhasil saya tuliskan pada tahun 1992, ketika ada sayembara menulis puisi Yayasan Iqra Jakarta. Saya boleh berbangga, karena dewan jurinya tokoh-tokoh sastra terkemuka Indonesia – Sutardji Calzoum Bachri, H.B. Jassin, dan Abdul Hadi W.M – memilih puisi itu sebagai juara pertama:

 

SEMBAHYANG RUMPUTAN

 

Walau kau bungkam suara azan

Walau kau gusur rumah-rumah tuhan

Aku rumputan

Takkan berhenti sembahyang

inna shalaati wa nusuki

  wa mahyaaya wa mamaati

 lillahi rabbil ‘alamin

 

topan menyapu luas padang

tubuhku bergoyang-goyang

tapi tetap teguh dalam sembahyang

akarku yang mengurat di bumi

tak berhenti mengucap shalawat nabi

allahumma shalli ‘ala muhammad

ya rabbi shalli ‘alaihi wa sallim

 

sembahyangku sembahyang rumputan

sembahyang penyerahan jiwa dan badan

yang rindu berbaring di pangkuan tuhan

sembahyangku sembahyang rumputan

sembahyang penyerahan habis-habisan

 

Walau kau tebang aku

Akan tumbuh sebagai rumput baru

Walau kau bakar daun-daunku

Akan bersemi melebihi dulu

 

Aku rumputan

Kekasih tuhan

Di kota-kota disingkirkan

Alam memeliharaku

Subur di hutan-hutan

Aku rumputan

Tak pernah lupa sembahyang

sesungguhnya shalatku dan ibadahku

hidupku dan matiku hanyalah

  bagi Allah, tuhan sekalian alam

 

Pada kambing dan kerbau

daun-daun hijau kupersembahkan

pada tanah akar kupertahankan

agar tak kehilangan asal keberadaan

di bumi terendah aku berada

tapi zikirku menggema

menggetarkan jagat raya

la ilaaha illallah

muhammadar rasulullah

 

Aku rumputan

kekasih tuhan

seluruh gerakku

adalah sembahyang

 

Yogyakarta, 1992

 

 

Kekayaan sosial dan budaya kota Kaliwungu bukan hanya menyumbang inspirasi bagi proses kreatif saya dalam menulis puisi, tapi juga dalam menulis cerpen. Banyak cerpen saya yang disumbang pengalaman masa kecil saya di kota itu. Misalnya, “Lek War”, “Gendon”, dan sebagian cerpen saya dalam Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, 1996) disumbang oleh pengalaman masa kecil di kota yang inspiratif itu. Dan, sebuah novel inspiratif, Insya Allah, dalam waktu dekat akan menyusul.

Betapa banyak hutangku pada kota kelahiran saya itu, dan tentu hutang pada Tuhan, yang sulit dibayar. Hutangku pada bumi yang mengemban amanat Tuhan untuk menghidupi, hutangku pada matahari yang menerangi, hutangku pada laut yang memberiku ikan-ikan dan rasa asin, hutangku pada sungai yang membuat inspirasiku mengalir, hutangku pada oksigen yang membuatku bisa bernafas. Sungguh aku tak bisa membayar hutang-hutangku itu, selain menuliskannya dalam puisi.

ahmadun yosi herfanda