MENCARI JEJAK DARI TITIK NADIR
Puisi-puisi Halimah Munawir
______________________________________________________________________
TITIK NADIR
Ombak menggulung menghantar buih
Badai menghempas
Kalbu tak berbentuk, remuk berkeping
Pandang bagai dalam perut hiu
Nafas antara ada dan tiada
Terkapar di atas sehelai tikar.
Potret terumbu karang di laut
Membesut jiwa dari titik nadir
Tertatih dan merangkak diantara liur lidah
Tetap tegak menengadah
menagih janji dunia dan ukhrawi
Atas tinta emas kitab suci.
Tak ada yang tak mungkin
atas diri bagai terumbu karang.
Tak hengkang diterjang ombak badai
Ikan-ikan harus tetap hidup.
Termangu yang membelenggu
dibumi hanguskan dari diri
Bangkit adalah pilihan.
Titik nadir bukan pilihan
Bukan pula untuk dibiarkan
Alif, Istiqomah, Tawadhu memanggil
Yang Maha Kaya berjanji
Janji itu pasti.
Lentera menyala.
Duren Sawit, 2022
MENCARI JEJAK
Dalam sengat mentari
Berteman dengan onta dalam kesunyian
Mencari jejak di antara debu-debu,
dimanakah Engkau?
Diri bersinbah peluh
Wajah bercucur keringat
Sang onta terdiam lelah
Air… air… dimanakah
Tak ada setetespun
dalam bejana kecil
yang tersampir.
Kemana aku mohon pertolongan
di gurun sahara?
Onta tak lagi mampu berjalan
Di punggungnya aku terduduk lemah
Dimanakah Engkau?
Tak ada jawab
Kecuali mentari
yang semakin menyengat
Menggosongkan tubuh
Ruh rasa di ujung jalan
Pasrah keharibaanMu
Tanpa kutahu dari mana asal
Datang sang kelana
Memberi setetes air pada tenggorok kering
Menjalar kesemua tubuh
Aliran darah menyala
Onta kembali tegak berdiri
Bersamaan hilangnya sang kelana.
Itukah Engkau?
Duren Sawit, 2022
BUKAN CERITA SEORANG PENYAIR
Ini bukan cerita seorang penyair
Petir mengguntur,
Merobek hati, memekak telinga,
Memecah jantung Kaum Samud,
Pendusta hari kiamat.
Tujuh malam, delapan hari dingin angin
bukan hanya menggigit kulit.
Jasad-jasad kaum Ad bergelimpangan
bagai batang-batang pohon kurma lapuk.
Kau bertanya, di mana Tuhan?
Sudah tersurat dalam Alquran:
Kala langit terbelah dan rapuh
Kala itulah engkau akan melihatNya.
Singgasana Tuhanmu
Di atas kepala delapan malaikat.
Manisnya madu atas zikirmu,
Terbuka pintu surga.
Amisnya darah atas dunia burukmu,
Menganga neraka jahanam
Duren Sawit, 2023
KOTA TEPIAN
Negeri matahari terbit,
Pada musim tak berselimut salju.
Cuaca tak pasti.
Tiba tiba rintik hujan menyapa.
Atau panas menembus kulit.
Kulihat gadis kecil itu mengayuh
sepeda dengan tas di punggung.
Mata terbelalak.
Dari tas muncul kepala seekor kucing.
Bukan Maneki Neko dari porselen.
Itu benar-benar kucing.
Bulunya putih lembut
dengan mata hijau kekuningan.
Mungkin ber ras Chinchilla.
Kaki kecil terus mengayuh
Pantat di atas pedal bergeol.
Mantel panjang mengalir
Menari oleh sentuhan angin
yang berjalan.
Mata indah kehijauan
bagai almond memancar.
Masih dalam jangkauan pandang,
Kaki kecil gadis kecil itu mengayuh
perlahan lalu berhenti.
Turun dari pedal, kaki mengayuh
cepat hingga hilang pandang.
Japan, 2024
TAK ADA TITIK
Gerak tarimu
Untai kata hati
Bak merpati putih.
Senyum tetap menghias bibir
Kala selembar buluh
bersemayam di lubuk kalbu
Tubuh bermandi peluh.
Hidup tak bertitik
Mengalir bagai air
ruang tertutup batu
Itu hanya sebuah koma.
Dalam sempit ada celah
Bergerak dan terus bergerak
Hingga lautan luas
membuatmu bernafas.
Fikrah membuka cakrawala
Hidup tak bertitik.
Titik adalah ketika terdengar
suara sangkakala.
Alam semesta lebur
Dan langit terlipat.
Kita manusia, telanjang bulat.
Duren Sawit, 2024
FUSILAT
Pasak-pasak bumi mengguncang
Memuntahkan seisi perut,
Langit terbelah, rapuh, pecah.
Miliaran galaksi runtuh.
Dentuman dasyat menghentikan
ekspansi jagat raya.
Tak ada yang harus disombongkan
tak ada lagi ilusi dan kepalsuan.
Tidak ada satupun yang bisa
menolong bagi mereka.
Rapuh!
Kita akan rapuh.
Hanya dapat berdiri tanpa
sehelai kapas di padang Mahsyar.
Rapuh!
Kita akan rapuh serapuh rapuhnya.
Oleh ruang dan waktu,
tak dapat bersembunyi di balik kata.
FusilatNya atas hukum,
keimanan, janji,
budi pekerti, dan kisah
dalam kitab suci, nyata teringkari.
Sehelai rambut pun akan bersaksi.
Penyesalan, sebuah kesia-siaan.
Duren Sawit, 2024
BIOGRAFI SINGKAT:
——————————————————
Halimah Munawir, lahir di Cirebon, 18 Januari 1964. Penggiat seni budaya, wirausaha, dan penulis novel, cerpen, serta puisi. Karya-karyanya yang telah terbit, antara lain, Fotobiografi Mbok Berek (2006), Suskses Story Nila Sari (1988), The Sinden (novel, Gramedia, 2011), Sucinya Cinta Sungai Gangga (novel, Gramedia, 2013), Sahabat Langit (novel, Gramedia, 2014), Kidung Volendam (novel, Gramedia, 2014), Sehimpun Puisi Bilingual Bayang Firdaus (Diomedia, 2021), AKAR (Y AKSI, 2020), PADMI (novel, Balai Pustaka, 2024), dan Titik Nadir (Taresia, 2025 — dalam proses terbit.)
Halimah juga menulis bersama untuk buku Masalah Masalah Pembangunan dan Agama Dalam Kekerasan bersama Kelompok Studi Proklamasi, antologi puisi bersama Penyair Nusantara (Jakarta dan Betawi), ragam pakar dan penulis untuk Love and Life in The Era of Corona, Idealisme dan Kearifan Arief Budiman, Menggali Makna Hidup, Corona Pergi Oleh Puisi bersama Penulis Aliansi Dunia, Ibuku Surgaku (Kosa Kata Kita), Setelah SAPARDI Pergi (Diomedia), Kata Kata Terindah Tentang Ibuku (Diomedia), Kumpulan Puisi (Mitra Seni Indonesia), antologi puisi bersama 93 Penyair Membaca Indonesia (Teras Budaya JSul akarta), 77 Penyair Membaca Pahlawan (Teras Budaya Jakarta), Sulur Kembang Sri Tanjung — Kumpulan Puisi Folklor Banyuwangi (Diomedia), Titik Mangsa Lahirnya Peradaban Bangsa (Perusa), Aku Presiden (Taresia), Fajar Baru Anwar Ibrahim (Iris Publishing), Jakarta Kota Literasi (Taresia), dan Ijen Purba (Jambore Sastra Asia Tenggara). Halimah menulis cerpen dan puisi di Cakradunia.co dan Sastra Semesta. Puisi-puisi di atas diambil dari Sehimpun Puisi Religi Titik Nadir (Taresia, 2025).@