PUISI 

KETIKA ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA

Puisi-puisi M. Shoim Anwar

__________________________________________________________   

 

 

ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA

 

 

Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

***

 

 

ULAMA ABIYASA TAK PERNAH MINTA JATAH

 

Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

 

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

marwah digenggam hingga ke dada

tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

senyumnya merasuk hingga ke sukma

langkahnya menjadi panutan bijaksana

kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

 

Ulama Abiyasa bertitah

para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

menjadikannya sebagai pengumpul suara

atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

agar tampak sebagai barisan ulama

Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

datanglah jika ingin menghaturkan sembah

semua diterima dengan senyum mempesona

jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

sebab ia lurus apa adanya

mintalah arah dan jalan sebagai amanah

bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

tapi dilaksanakan sepenuh langkah

***

 

 

ULAMA BHISMA TERKUNCI LANGKAHNYA 

 

Ulama Bhisma adalah guru para kesatria

tutur langkahnya dianut para kawula

tapi seusai perjudian tahta curang durjana

ia memilih hidup dalam tembok istana

segala hajat hidup dipenuhi raja

bergelimang nyaman nikmat dunia

singgasana menggerusnya hingga alpa

 

Ulama Bhisma merenung di senjakala

ia gamang dalam titah dan langkah

para kesatria dan pengikutnya terbelah-belah

maka disuarakanlah fatwa seperti dulu kala

tapi kata-katanya hampa tak bernyawa

didengar raja tapi tak diindahkan adanya

seperti burung dipelihara untuk pajangan istana

Raja bersuara didengar seluruh kawula

katanya menghormati panutan dan fatwa-fatwa

tapi Ulama Bhisma meratap hatinya

bagai tersayat sejuta luka

hilang harga oleh kecutnya cuka

segala fatwa tak digubris dan hampa

seperti buih di pasir yang segera musnah

 

Ulama Bhisma dijadikan bantalan istana

atau seperti kembang di meja makan para raja

biar sedap dipandang saat bersantap dan dahaga

seusai itu dibuang ke keranjang sampah

Ulama Bhisma memuncak jengah

lidahnya musnah tak lagi bersuara

ada satu terdengar di akhir kata:

tak mungkin ada matahari dua, katanya

sebagai pertanda kalau ia telah kalah

 

Oh birahi tipuan dunia

senasiblah dengan Ulama Durna

menjelang akhir baratayuda

Ulama Bhisma dilempar raja ke medan laga

mempertahankan angkara dinasti dan kuasa

melawan para kesatria dan anak cucunya

Ulama Bhisma pun menebus karmanya

maka berkelebatlah si cantik rupa

terpedaya oleh janji dan kata-kata

Ulama Bhisma terkunci langkahnya

dari depan marabahaya menerjangi tubuhnya

ia jatuh terjengkang disanggah ribuan anak panah

bumi menolak jasadnya di akhir kisah

padang kurusetra menamatkan riwayatnya

 

***

 

Biodata:

Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya (Unesa) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia hingga menyelesaikan program doktor. Kini menjadi dosen dan tinggal di   Surabaya.

Shoim banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media. Karya-karyanya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia,  Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D. Zawawi Imron, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), Dari Fansuri ke Handayani (editor Taufiq Ismail, dkk.), Horison Sastra Indonesia (editor Taufiq Isamail, dkk), Black Forest (kurator Budi Darma), New York After Midnight (editor Satyagraha Hoerip), Beyond the Horizon (editor David T. Hill), Le Vieux Ficus et Autres Nouvelles (editor Laura Lampach), dll.

Kumpulan cerpen Shoim yang telah terbit adalah Oknum (Gaya Masa,1992), Musyawarah Para Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau Walikota (ed., Surabaya Post, 1993), Pot dalam Otak Kepala Desa (Dewan Kesenian Surabaya, 1995), Bermula dari Tambi (ed., Dewan Kesenian Jatim, 1999), Soeharto dalam Cerpen Indonesia (ed., Bentang, 2001), Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah (Tiga Serangkai, 2004), Perempuan Terakhir (Grasindo, 2004), Asap Rokok di Jilbab Santi (Jaring Pena, 2010), Kutunggu di Jarwal (SatuKata, 2014), Sepatu Jinjit Aryanti (Pustaka Ilalang, 2018), Tikus Parlemen (Tankali, 2019). Novelnya yang pernah dipublikasikan Meniti Kereta Waktu (SIC, 1999, juga terbit dalam terjemahan  bahasa Jawa Ngoyak Impen) dan cerita bersambung di media massa adalah Sang Pelancong (1991), Angin Kemarau (1992), Tandes (1999), serta Elies (2006).

Buku lain yang ditulisnya adalah Sejarah Sastra Indonesia (2012), Sastra Rebonding (2013), dan Theatrum- Malam Terakhir (ed., 2013),  Sastra yang Menuntut Perubahan (2015), Sastra dan Korupsi  (2019),  Penyair Memburu Bayangan Tuhan (2019), dan Sastra Merespons Dinamika Zaman (2020).

Related posts

Leave a Comment

sixteen − thirteen =