CERPEN 

REBUTAN SRIKESIH

Cerpen: M. Shoim Anwar
__________________________________________________________________

Srikesih tersenyum manis. Lesung pipinya semakin nyata, mirip rumah undur-undur di pasir yang lembut. Kedua bola matanya mengiringi pandangan yang berbinar, bergulir ke kiri-kanan bagai sepasang kelereng di lubang permainan.  Srikesih adalah burung prenjak, sinden bocah itu serasa  ingin terbang, kuncir rambutnya berjungkit-jungkit penanda girang. Sebagai prenjak tamu,  wajahnya coklat kemerahan, balutan bedak dari merek pasaran. Giginya agak gingsul, daya tarik untuk para tamu yang susul-menyusul.


————————–
Foto diambil dari Detik.com
————————–

Srikesih rambutnya sepinggang, biar mudah dikelabang, atau dililit untuk
cantolan sanggul saat tanggapan wayang. Ini bukan hanya bayangan. Permintaannya
tadi asal ada omongan, tapi menjadi kenyataan. Sinden bocah dari pegunungan, tiba-
tiba dibayar mahal dan dilipatgandakan. Belum pernah dia dapat segede itu bayaran,
padahal baru lulus esde ke sekolah lanjutan. Tahu begitu dia minta gede pol sekalian,
pikirnya, tapi siapa tahu itu adalah beneran.

Mas Yono mengacungkan kepalan tangan. Misinya berhasil memboyong
Srikesih ke pihak Pak Dewo. Dia telah menyodorkan tawaran, minta berapa pun
Srikesih akan dibayar kontan. Asal mau manggung pada pertunjukan wayang kulit
dengan dalang Ki Klunthur Sabetnyowo. Pak Dewo tak hanya jual omongan. Uang
segebok telah dipasrahkan ke Mas Yono untuk membayar sinden cilik pujaan.
Tangan Srikesih bergetar menerima bayaran, padahal tanggapan belum dilaksanakan.
“Ini beneran, nggih?” Srikesih meyakinkan dalam keraguan.
“Pak Dewo bukan orang sembarangan,” Mas Yono meyakinkan.
“Mainnya tanggal berapa?’ dia menatap lelaki di depannya, alisnya yang tipis
bergerak naik.
“Nanti kamu akan dipertemukan dengan Ki Klunthur untuk rembukan.
Sekarang oret-oretan ini kamu tandatangani. Untuk bukti kalo uang sudah saya
serahkan. Saksinya bapak dan ibumu.”
Mas Yono menoleh ke sebelah kanan. Kedua orang tua Srikesih yang duduk
di kursi menjalin manggut-manggut.
“Rejekimu, Nduk,” kata ayah Srikesih.
“Antara bulan ini sampai dua bulan ke depan, kamu jangan menerima
tanggapan dulu ya,” Mas Yono menyampaikan pesan titipan dari Pak Dewo.
“Inggih,” Srikesih mengangguk.
“Uang dari Pak Dewo itu nilainya sama kalo kamu ditanggap orang berkali-
kali,” Mas Yono memberi bandingan. Srikesih manggut-manggut lagi. Bocah
berkulit sawo matang dan berhidung agak pesek itu meletakkan kedua tangannya di
pangkuan. Matanya cenderung sipit, menatap tumpukan uang di atas meja.
“Matur sembah nuwun, nggih,” ibu Srikesih mengucapkan terimakasihnya.

Srikesih sudah dikenal sebagai sinden cilik yang lugu dan lucu. Ibarat
prenjak, kicauannya ceplas-ceplos. Lantunan tembangnya enak di dengar. Nyaring
dan bening. Di kabupaten ini, setiap ada dalang Ki Suwiryo tanggapan, pasti Srikesih
ikut manggung sebagai salah satu sindennya. Kalangan tua, apalagi anak-anak,
perhatiannya pasti tersedot ke sinden cilik itu. Ki Suwiryo sebenarnya adalah wakil
bupati yang masih menjabat. Setiap kali dia mendalang, hampir semua pejabat setor
muka, dari tingkat desa hingga kabupaten ikut menonton sampai tancep kayon, tak
ada yang berani pulang duluan sebelum bersalaman dengan Ki Suwiryo di akhir
pertunjukan.

Srikesih sangat diuntungkan. Setiap ada hajatan atas nama desa, kecamatan,
dan kabupaten, hampir pasti mengundang Ki Suwiryo. Berhadapan dengan wakil
bupati, para pejabat di bawahnya merasa takut digeser kalau tidak nanggap Ki
Suwiryo. Sudah pasti Ki Suwiryo punya kedekatan khusus dengan partai. Orang-
orang partailah yang selalu beroperasi untuk menggiring para pejabat agar
menanggapnya. Jika Ki Suwiryo ndalang pastilah diikuti Srikesih, bahkan bocah itu
dijuluki sinden “anaknya Ki Suwiryo”.
“Nduk, Srikesih anakku,” kata Ki Suwiryo dalam sebuah pertunjukan, sambil
menggerakkan tangan Petruk.
“Inggih, Mbah Petruk,” jawab Srikesih centil.
“Kamu suka yang di atas atau di bawah, Sri?”
“Ya, suka di atas, Mbah Petruk.”
“Lo, kok bisa?”
“Ya, kalau di atas bisa mentul-mentul gitu lo, Mbah….”
Penonton spontan tertawa. Semua mata dan telinga tertuju ke Srikesih.
“Mentul-mentul itu maksude duduk di kursi atas, Mbah Petruk,” tambahnya
kenes.
“Ooohhh…Jadi kalo soal duduk di kursi, kamu milih siapa, Srikesih?”
“Ya jelas milih Mbah Petruk. Kan saya sudah dikenal anaknya Mbah Petruk.

“Kok begitu?”
“Inggih, bisa ndalang, menghibur, mengayomi seluruh masyarakat, dan sudah
berpengalaman menjadi wakil. Tinggal selangkah lagi. Ya atau tidak para
penontooon…?” Srikesih memancing.
“Betuuul…,” penonton kompak.

Srikesih dijadikan jurubicara oleh Ki Suwiryo. Sebagai wakil bupati, dia
akan mencalonkan diri sebagai bupati pada pemilihan beberapa bulan ke depan. Tidak
heran jika setiap kali mendalang ada bau-bau kampanye yang diselipkan. Bagi Ki
Suwiryo, jika terpilih, kariernya sebagai pejabat akan naik, dan ini yang juga penting,
birokrasi yang menanggapnya akan semakin banyak. Toh selama ini tidak ada
larangan dia merangkap sebagai dalang wayang kulit.
Lawan berat Ki Suwiryo sebagai calon bupati adalah Pak Dewo. Lelaki
terakhir ini orang yang sangat berpengalaman dalam pemerintahan di kabupaten.
Antara Ki Suwiryo dan Pak Dewo juga sudah saling mengenal. Pak Dewo pun akrab
dengan para pejabat di berbagai level.

Bulan-bulan akhir sebelum pemilihan bupati dan wakilnya tiba, Ki Suwiryo
sibuk menggerakkan mesin politiknya. Kegiatan mendalang dirasa cukup untuk
sementara. Order Srikesih dari tanggapan bersama Ki Suwiryo jadi sepi. Pada situasi
seperti inilah Mas Yono datang membawa misi khusus. Srikesih yang sudah
diidentikkan dengan “anaknya Ki Suwiryo” dialihkan ke panggung Pak Dewo.
Dalang Ki Klunthur Sabetnyowo menjadi aktor penggerak untuk Pak Dewo.
Bagi Pak Dewo, atas masukan Mas Yono dan penasihat spiritualnya, dalang harus
dicarikan musuh dalang pula, dan pamornya harus lebih tinggi. Ki Klunthur lebih
populer di kalangan anak muda. Jika Srikesih digandengkan dengan Ki Klunthur, dan
bisa diformat untuk mendukung Pak Dewo secara jelas, maka tenggelamlah pamor Ki
Suwiryo. Srikesih, sinden bocah yang lugu dan lucu itu, pasti akan diarahkan oleh Ki
Klunthur yang cerdik.
“Kamu dibayar berapa kalau main dengan Ki Suwiryo?” tanya Mas Yono saat
awal datang ke rumah Srikesih, sambil tangan kanannya meremas garam dan
dijatuhkan ke bawah meja.

“Alhamdulillah, bisa untuk biaya sekolah dan membantu Bapak dan Ibu,”
jawab sinden cilik, plulat-plulit karena malu ditanya bayaran.
Saat sang sinden dikejar terus, akhirnya dia menyebut nominalnya. Karena
sudah direncanakan dengan Pak Dewo, Mas Yono tanpa basa-basi langsung unjuk
kemurahan, “Kalau kamu mau kami tanggap, minta bayaran berapa pun akan kami
bayar sekarang.”

Alun-alun kabupaten menjadi lautan manusia. Suasana memecah. Pertunjukan
wayang kulit dengan dalang Ki Klunthur Sabetnyowo dan sinden cilik Srikesih
digelar. Lakonnya juga sensasional, bukan seperti wayang kulit umumnya, namun
bertajuk “Srikesih Ngalih Kursi”. Pertunjukan itu telah disiarkan di radio, juga
dikelilingkan melalui pengeras suara dari kampung ke kampung, dari kecamatan ke
kecamatan. Mobil pick up yang mengusung baliho bergambar Ki Klunthur, Srikesih,
dan para biduan dangdut-campusari dikerahkan ke berbagai penjuru, menerobos
perkampungan dan jalanan berdebu.
“Bocah ayu, Srikesih?” Ki Klunthur memanggil saat adegan Gara-gara.
“Dalem, Mas Dalaaang…. ”
“Semar itu dewa atau bukan, Cah Ayu?”
“Nggih dewa, Mas Dalang. Nama dewanya Batara Ismaya, saudara dari Batara
Guru.”
“Batara Ismaya itu laki-laki atau perempuan, Cah Ayu?”
“Nggih laki-laki, Mas Dalang.”
“Kok tahu kalau laki-laki?”
“Lha ada jenggale gitu,” Srikesih menjawab, penonton riuh menimpali.
“Apa jenggal itu?”
“Yang menonjol di depan itu lo, Mas Dalang.”
“Heh…menonjol di depan?”
“Jakun di leher.”
“Ooo….Karena dewa laki-laki, andai hadir di tempat ini, kamu manggilnya
gimana?”
“Manggilnyaaa…..ya Pak Dewa.”
“Diulangani lagi, Cah Ayu! Pakai ucapan Jawa.”
“Pak Dewo.”
“Lagi!”
“Pak Dewooo…”
“Kamu senang dengan Pak Dewo?” ki dalang mengejar.
“Senang sekaliii…,” Srikesih makin centil. “Pak Dewo itu bijaksana, adil,
ngayomi, sabar, pekerja keras, kebapakan, dan loman.”
“Jika tiba saatnya milih pemimpin, kamu milih siapa, Cah Ayu?”
“Ya milih Pak Dewo.”
“Diulangi, Nduk.”
“Ya milih Pak Dewooo….Betul apa tidak penonton?”
“Betuuul….” jawab para penonton serempak, disusul tepuk tangan
membahana dan suitan nyaring melengking.
“Coblos Pak Dewo!” suara nyeletuk dari belakang.
Srikesih benar-benar diformat oleh Ki Klunthur Sabetnyowo. Dukungan
untuk memilih Pak Dewo dalam pemilihan bupati sudah sangat jelas. Sambil berdiri
tidak jauh dari panggung, Mas Yono mangut-manggut, pesan Pak Dewo sudah
tersampaikan. Srikesih memang belum punya hak pilih, tapi dia punya magnet yang
kuat untuk menanamkan citra positif buat Pak Dewo.

Seusai dialog dengan ki dalang, Srikesih berdiri, lalu mendekat ke sebelah
kanan dalang. Mengenakan sanggul, jarit dan kebaya warna biru muda, Srikesih
tampak anggun. Kerlap-kerlip memantul dari kebayanya. Ki Klunthur mendapuknya
untuk menembangkan lagu dengan irama campursari-dangdut koplo. Penonton
spontan bersorak kembali. Panggung seperti pecah karena gelegar pengeras suara
hinga horeg. Pertunjukan hingar-bingar, sangat meriah. Tampak di panggung
Srikesih memutar pinggulnya seirama lagu yang dibawakan.
Dua hari setelah pertunjukan, seorang lelaki datang ke rumah Srikesih. Bocah
itu tahu persis, seperti yang sudah-sudah, tamu yang datang adalah Pak Sikan, utusan
dalang Ki Suwiryo.
“Bapak sangat kecewa kamu manggung dengan Ki Klunthur,” kata sang tamu
tanpa basa-basi. “Kurang apa dengan Bapak! Kamu selalu diajak kalau Bapak
manggung, bahkan kamu sudah dikenal sebagai ‘anaknya Ki Suwiryo’. Kamu cidro,
Nduk!”

Srikesih tak menjawab apa-apa, menunduk dengan ekspresi takut. Ayah dan
ibunya juga terdiam. Sang tamu nerocos menyalahkan Srikesih. Mulut Srikesih
bergerak-gerak, tapi ditahan agar tidak ada suara yang keluar. Bocah itu sepertinya
menahan tangis, kedua matanya berkedip-kedip makin kerap. Kedua orang tua
Srikesih ikut tertunduk. Kedua tangan mereka dipangku menyilang, serasa beku.
Tiba-tiba pintu diketuk. Pak Sikan berhenti bicara. Semua melihat ke arah
pintu. Ternyata Mas Yono yang datang. Lelaki kepercayaan Pak Dewo itu menatap
Pak Sikan. Keduanya beradu pandangan. Ekspresi ketidaksenangan tergambar dari
keduanya. Mereka sudah paham peran masing-masing, berada di pihak mana dan
untuk apa.

“Ndalang di kampung orang tanpa permisi!” kata Pak Sikan ketus.
“Apa ada peraturan kayak begitu?” Mas Yono menimpali, paham apa yang
dimaksud Pak Sikan.
“Itu namanya tatakrama!”
“Tatakrama urusan pribadi. Kalau mendalang urusan profesi. Termasuk
sindennya. Tergantung yang nangggap. Jangan dicampur-campur. Srikesih ini bukan
tawanan perang. Dia bebas menentukan kehendaknya!”
“Wong bocah ada yang momong kok direbut,” balas Pak Sikan sinis.
“Srikesih bukan barang. Dia juga bukan bayi yang digendong. Dia punya
kehendak!” Mas Yono menuding.
“Wayang berbeda dengan pemain sinetron! Dalang, sinden, dan semua yang
terlibat, harus mengedepankan rasa, menghormati yang sepuh, tidak grudak-gruduk.
Kalau tidak bisa menghormati, jangan minta dihormati!” mata Pak Sikan berkilat.
“Menghormati juga urusan pribadi. Kami tetap menghormati yang sepuh. Ini
urusan nanggap wayang. Siapa pun yang ditanggap punya hak untuk hadir, termasuk
sinden. Izinnya ke aparat keamanan. Bukan ke sesama dalang!”
“Srikesih ini masih muridnya dalang. Jangan dibegal!” Pak Sikan menuding
lurus ke Mas Yono.
“Jangan menyamakan kami dengan begal!” Mas Yono ganti menuding.
“Buktinya jelas!” tukas Pak Dikan.
“Justru kalian yang mau membegal profesi Srikesih!”
“Kami bukan orang seperti itu!” Pak Sikan makin kencang. Tangan kirinya
memegang kuat sandaran kursi. Kursi kayu itu tergerak ke belakang. Posisinya miring
dan hampir terangkat. Tampak tangan Pak Sikan bergetar. Seiring dengan nada
suaranya yang semakin tinggi, kursi terseret dan mulai terangkat.

Sekonyong-konyong Srikesih oncat dari duduknya, berlari dan merangkul
Mas Yono. Lelaki itu memeluk Srikesih dengan kedua lengannya. Dia paham bahwa
sinden cilik itu membutuhkan pembelaan dan perlindungan. Srikesih merapatkan
wajahnya ke dada Mas Yono. Terasa ada sesenggukan nafas yang lebih kerap. Tanpa
basa-basi, Pak Dikan berbalik badan meninggalkan rumah itu sambil bergumam-
gumam. Tak seberapa lama suara Pak Dikan terdengan dikeraskan, “Urusan kita
belum selesai!” Lalu senyap.

“Sabar sabar… tidak apa-apa,” Mas Yono menepuk-nepuk punggung Srikesih.
Bocah itu diajak duduk kembali, berangsur-angsur dia menjadi lebih tenang. Mas
Yono mengelus-ngelus pundaknya dengan lebih lembut. Kedua orang tua Srikesih
berdiri berdampingan. Suasana hening beberapa saat.
“Kamu sudah menjadi orang terkenal. Jadi harus sabar dan tahan,” lanjut Mas
Yono. “Rejeki Gusti Allah yang ngatur. Ki Klunthur sudah bilang, kamu akan diajak
terus setiap ada tanggapan. Dia dalang lebih muda dan banyak penggemarnya.”
Srikesih masih terdiam. Kata-kata Mas Yono mungkin menjadi penghibur
hatinya. Sementara burung perkutut dalam sangkar yang tergantung manggung
dengan merdu. Pandangan Mas Yono diarahkan ke perkutut dengan katuranggan
banyumili itu. Semua terdiam.

Mas Yono sadar harus membesarkan hati Srikesih. Tapi dia juga sadar,
urusannya dengan Pak Dikan belum selesai. Kata-kata terakhir yang dilontarkan
orang kepercayaan Ki Suwiryo itu masih terngiang. Mas Yono berdiri dari kursinya,
berjalan pelan ke mulut pintu, lalu melongok keluar. Beberapa saat lelaki itu kembali
duduk.

Ayah dan ibu Srikesih beranjak, menyusul berjalan pelan ke arah pintu.
Keduanya melihat ke arah luar. Saat kembali ke kursinya, ayah Srikesih meminta agar
Mas Yono bertahan beberapa saat di sini. Raut wajah Srikesih berangsur mulai pulih.
Kedua matanya berkedip-kedip pelan sambil melihat ke lantai. Angin berembus
masuk ke ruang tamu. Dari dahan pohon mangga di depan rumah, terdengar pula
kicau burung prenjak. Burung yang kecil dan ramping, berkicau lincah dalam
berkiprah, seakan memberi isyarat pada sinden bocah itu, bahwa hidup harus tetap
ceria, agar senantiasa dinanti kehadirannya.@

Surabaya, 2024-2025

BIODATA

M. Shoim Anwar, sastrawan dan dosen tinggal di Surabaya. Menyelesaikan program
doktor di Universitas Negeri Surabaya. Banyak menulis puisi, cerpen, novel, dan
esai di berbagai media. Dia masuk dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia.
Karya-karyanya diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan
Prancis. Buku kumpulan cerpennya antara lain Oknum, Musyawarah Para Bajingan,
Pot dalam Otak Kepala Desa, Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap Rokok di
Jilbab Santi, Kutunggu di Jarwal, Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah, serta Tikus
Parlemen.

Related posts

Leave a Comment

three × four =