Memesrai Tuhan dengan Tadarus Puisi
Oleh Iman Sembada, penyair, redpel Tangselone.com
Banyak cara mengemas sebuah acara kesusastraan agar menarik perhatian publik, dengan menggunakan label-label semenarik mungkin. Seperti tadarus puisi, pengajian puisi, dan pengajian pop. Fenomena itu sudah muncul sejak akhir 1980-an di berbagai kota di Tanah Air. Sajak-sajak religius menebar dan bergema sesuai dengan semangat Ramadhan.
Tidak perlu repot-repot mencari dasar hukumnya, halal atau haram, bidah atau tidak. Dalilnya jelas bahwa kaum muda itu butuh support atau dorongan semangat. Maka, mereka dengan kreatif mengemas acara pengajian yang dirangkai dengan pembacaan syair dan puisi. Tentu saja syair dan puisi yang dilantunkan adalah syair dan puisi religius yang dapat menumbuhkan semangat beribadah di bulan Ramadhan.
Term tadarus puisi yang diadakan di hampir setiap komunitas sastra hingga kini bukan ingin menyejajarkan syair dan puisi dengan firman Tuhan dalam kitab suci Alquran. Term tadarus puisi menjadi semacam kekenesan atau kegenitan para penyair untuk “memesrai” Tuhan melalui syair dan puisi. Term tersebut hanyalah teks kultural yang dengan sadar sengaja digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, membuka kesadaran nilai-nilai religiusitas.
Penyair Mustafa Ismail memberi garis batas pembeda antara tadarus puisi dengan pembacaan puisi pada umumnya. Jika pembacaan atau pementasan puisi pada umumnya dilakukan di atas panggung atau di atas mimbar, maka tadarus puisi dilakukan dengan cara duduk bersila di tempatnya semula, membaca puisi secara bergantian dan tidak harus di atas panggung.
Hal itu terlihat pada acara Tadarus Puisi Ngabuburit Sastra 8 Kota yang diselenggarakan Griya Litera di kawasan Vila Pamulang Mas, Kota Tangerang Selatan, Sabtu, 18 Juni 2016. Diskusi tentang sastra dan manusia religius dengan pembicara Chavcay Syaefullah, Mahrus Prihany, dan LK Ara, mengawali acara ini. Ide-ide tentang sastra religius, dan bagaimana semestinya penyair Muslim berpuisi, mewarnai diskusi ini.
Usai diskusi, penyair Fikar W. Eda mengawali tadarus puisi dengan membacakan “Syair Perahu” karya penyair sufi asal Aceh Hamzah Fansuri, kemudian “Syair Perahu” tersebut dibacakan secara estafet oleh para peminat sastra yang hadir, seperti Ace Sumanta, Ireng Halimun, Asrizal Nur, dan Human S. Chudori. Tetapi, tidak “diharamkan” bagi penyair yang membacakan puisi karya sendiri, seperti dilakukan Kurnia Effendi, Abah Yoyok, LK Ara, Nana Sastrawan, dan Heryus Saputra.
Ngabuburit sastra bersambung di Studio Taman RRI Bogor pada 21 Juni 2016, diwarnai diskusi tentang sastra Islam dan baca puisi bersama Maman S. Mahayana, Ahmadun Yosi Herfanda, Edgar Suratman, Dedy Roamer Ps, Ace Sumanta, Ibrahim Basalmah, Mustafa Ismail, dan Ramilus. Lagi-lagi, pemikiran tentang pentingnya sastra religius bagi kehidupan masa kini kembali diwacanakan.
Acara serupa, dengan tajuk Mimbar Puisi Ramadhan juga digelar di Rumah Seni Asnur Depok, dengan menghadirkan Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Jose Rizal Manua, Ahmadun Yosi Herfanda, Mustafa Ismail, Mahrus Prihany, Ade Novi, Imam Maarif, Jimmy S. Johansyah, dan sejumlah penyair Jabodetabek lainnya. Diskusi pun mempertajam ide-ide tentang pentingnya satra religius bagi peradaban masa kini.
Kemeriahan bersastra di bulan Ramadhan itu belum terhitung dengan acara-acara tadarus puisi di Bekasi, dan kota-kota lain. Diharapkan tradisi tadarus puisi tidak padam, harus terus berkobar dalam kesucian dan keberkahan sepanjang bulan Ramadhan. Begitu juga diskusi sastra religius yang memberi bobot acara, yang dalam acara tersebut menampilkan Chavcay Syafullah, LK Ara, dan Mahrus Prihany, sebagai pembicara. Sehingga, acara sastra di bulan Ramadan, diharapkan juga dapat meningkatkan semangat religius dalam bersastra.***