ARTIKEL 

Idul Fitri dalam Sepenggal Sastra Indonesia

Oleh: Mahrus Prihany, divisi kaderisasi dan organisasi KSI Pusat

 

Idul Fitri adalah kembali ke fitrah. Hari kemenangan bagi mereka yang meyakini bahwa mereka telah memenangkan pertarungan terhadap hawa nafsu setelah sebulan penuh berpuasa dan menahan diri secara fisik dan batin. Suatu pertanyaan yang muncul sejauh manakah sesungguhnya kemenangan yang ummat Islam telah raih. Adakah kemenangan tersebut hanya berupa selebrasi yang penuh dengan hura-hura seperti yang nampak pada perayaan Idul fitri yang penuh dengan makanan tumpah ruah semacam pesta tahunan dan baju baru yang harus lebih satu bagi anak-anak seperti yang kita saksikan dan lakukan tahun demi tahun.

Perayaan dalam Idul Fitri seperti di atas tentu saja tak menjadi masalah meski sesungguhnya peristiwa atau hal-hal yang kita lakukan saat lebaran bukanlah suatu tuntunan atau keharusan yang harus dilakukan karena bukan berangkat dari ajaran atau syariat agama. Hanya mungkin kita tak perlu juga berlebihan dalam berpesta. Lebih dari itu, suatu hal yang baik jika kita memaknai hari raya ini sebagai moment kembalinya kita sebagai makhluk yang bebas dan penuh cinta. Jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya Idul fitri bukan semata simbol kemenangan setelah ummat Islam selesai menjalankan puasa. Ramadhan barangkali hanya ujung dari suatu perjalanan panjang kemanusiaan kita dalam kurun satu tahun yang kemudian mengantarkan kita pada Idul Fitri. Bagaimanapun kita membutuhkan satu momentum indah dan religius dalam hidup kita. Manusia adalah mahluk sosial. Idul fitri bisa menjadi momentum saat kita ummat Islam yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab sosial bisa menunjukkan jiwa sosial mereka. Hampir sepanjang hidup kita mungkin telah kita habiskan dengan rutinitas, pekerjaan dan aktifitas individual yang membuat kita begitu berjarak dengan lingkungan bahkan tetangga sebelah rumah kita. Terlebih mereka yang hidup di kota-kota yang hampir benar-benar serasa tak peduli pada tetangga karena suatu keterpaksaan yang kemudian berubah menjadi kebiasaan. Bahkan lebih dari itu, sebagian besar mereka kaum urban tak lagi memiliki cukup waktu untuk memberi perhatian dan kasih sayang pada istri, suami, orang tua atau anak-anak mereka sendiri. Pada Idul fitri lah saat mudik menjadi tradisi bagi kaum urban, manusia bisa benar-benar menjadi mahluk sosial dan kultural yang benar-benar menyikapi dan memanfaatkan momentum tersebut dengan sepenuh hati. Ada luapan kebebasan dan kebahagiaan untuk bisa benar-benar berbagi, saling memaafkan dan melupakan segala perasaan setelah menjadi manusia robot yang begitu lama.

Sesungguhnya perayaan Idul fitri adalah proses kultural untuk mengembalikan kemanusiaan kita. Tanpa sungkan kita akan meminta maaf dan berbagi pada tetangga kita yang telah menjadi asing karena arus peradaban. Idul fitri tak semata sebagai suatu proses perayaan keberagamaan tapi juga budaya kemanusiaan yang benar-benar humanis.

Umar Kayam (1932-2002) sesungguhnya telah banyak memberi ilustrasi secara kultural dalam beberapa cerpennya tentang lebaran. Begitu juga dengan penyair Ahmadun Yosi Herfanda yang telah memberi ilustrasi yang begitu puitik lewat beberapa puisinya tentang lebaran seperti puisi “Catatan Idul Fitri”, “Catatan Lebaran”, dan puisi “Catatan Silaturahmi” dengan sudut pandang yang agak beragam tetapi penuh muatan kontemplatif yang dalam juga pesan sosial dan kemanusiaan.

“Catatan Idul Fitri” adalah puisi yang seolah membawa kita kembali pada fitrah kita sebagai manusia yang tercipta sebagai seorang hamba. Puisi yang mengambil setting waktu hari raya idul Fitri ini berangkat dari satu keagungan atau kebesaran Tuhan dan betapa kita semua, baik manusia dan alam adalah semata mahluk yang tunduk dan penuh dosa. Kita bisa merasakan hal tersebut saat kita sedang shalat Ied dan takbir berkumandang dan bergema seolah menembus jantung kita. Betapa khidmat dan penuh takzim suasana batin kita saat itu. Begitu juga mahluk Tuhan lain seperti pepohonan dan burung-burung. Gelegar takbir itu memenuh di langit kalbu kita. Takbir itu sungguh membuat kita tergetar, terguncang dan membawa pengaruh batin yang begitu dahsyat yang sukar kita lukiskan namun semua memberi kedamaian. Selesai shalat Ied kita akan sadar betapa kita adalah mahluk yang penuh alpa dan dosa, tapi pada hari itu puncak keasadaran manusia seakan lahir dan kita pun berjabat tangan sepenuh rindu kita bahkan pada orang asing sekalipun. Semua orang adalah saudara kita. Maka Tuhan telah memberi maaf segala dosa hingga semua runtuh bagai debu. Begitu juga saat kita telah kembali kerumah dari shalat Ied, saat dimana para anggota keluarga saling memohon dan memberi maaf, betapa kita merasakan cinta yang dalam dan penuh kedamaian. Kita akan saling berdekap hingga segala khilaf lenyap. Kita pun melepaskan duka kita, hingga bayangan lara juga turut sirna, terlebih saat ketupat menjadi santapan bersama.

“Catatan Hari Lebaran” seakan menjadi sekuel puisi “Catatan Idul Fitri.” Pesta dimulai. Kita bersantap ria. Banyak makanan terhidang. Ketupat adalah makanan yang menjadi simbol bagi sebagian besar masyarakat kita. Terkadang saat kita berpesta kita memang sempat lupa jika diluar sana masih ada orang yang justru sedang kelaparan atau mungkin kesepian, kerinduan dan kedukaan. Hampir kita semua tenggelang dengan keriuhan. Puisi ini mengingatkan kemanusiaan kita agar tak terlalu larut dalam eforia meski Tuhan tetap bersama orang-orang yang yang seakan tersisihkan.

“Catatan Silaturahmi” sesungguhnya adalah proses kembalinya kita menjadi mahluk sosial yang memiliki rasa humanisme sesungguhnya. Kita akan saling berkunjung kepada sanak saudara, tetangga,teman dan orang-orang di lingkungan kita. Tak ada pintu rumah yang tertutup. Semua pintu terbuka untuk berkunjung dan menerima juga melepaskan segala khilaf dengan suatu ketulusan bahwa kita memang hanyalah makhluk yang penuh salah. Strata sosial manusia sejenak terlupa. Kita adalah mahluk yang egaliter tanpa memandang kelas, kedudukan, jabatan atau tingkat pendidikan. Tak ada beda antara orang kaya dan gelandangan. Semua berjabat tangan, berpelukan dan mencoba ikhlas untuk melepaskan segala salah dan dendam. Kita memulai kembali dari hati nurani dengan penuh kesadaran untuk menjadi manusia yang suci.

 

tuhan berjalan dari mesjid ke mesjid

meneteskan air mata cintanya

ke tikar-tikar tidur gelandangan

dan berkenan mampir

ke gubuk-gubuk fakir miskin

 

(Ahmadun Yosi Herfanda, “Catatan Silaturahmi”)

Related posts

Leave a Comment

twelve − five =