Puisi-Puisi Zabidi Zay Lawanglangit
Zabidi Zay Lawanglangit lahir di Yogya kini menetap di Bekasi. Pernah aktif bergiat di paguyuban sastra “Pasar Malam”. Menggagas dan menerbitkan buku antologi puisi Cinta Gugat. Antologi Buku puisinya berjudul sajak-sajak TIRAKAT.
Percakapan Sebelum Hujan
Aku ingin menyentuh kembali pintu
Bangku kayu atau meja di sudut ruang itu
Dengan tatapan mata atau usapan telapak tangan
Ruangan yang kini telah lengang mungkin juga asing
Tapi kau tahu kenangan tak akan pernah usang
Apalagi benar-benar hilang
Ada yang dengan sangat baik dan tak terduga
Mengabadikannya dengan catatan
Yang nyaris sempurna: tanpa kita menyadarinya
Ya, bahkan hal-hal yang tak kita lihat dan juga ingat
Bukankah demikian?
Ada yang pernah mengetuk pintu itu: tanganmu yang gemetar
Sebelum dingin bangku menjadi hangat
Hingga malam merambat
Melipat percakapan yang telah bertunas-tunas
Di luar hujan saat itu – saat kau bergegas
Ketika seseorang memanggilmu dari seberang
Dan di dalam lift mata kita masih saling berdekapan
Tak ada yang benar-benar hilang
Sebab selalu ada diam-diam yang menyimpannya
Dengan sangat rapi dan nyaris sempurna
: Kau tahu itu bukan?
2016
Rahasia Besar Apa yang Kau Simpan?
Aku melihatmu berjalan pelahan
Memanjat tangga menuju awan
Di atas langit seperti berongga: memancarkan cahaya
Putih dari kubah hitam kebiruan yang membentang
Rahasia besar apa yang kau simpan di kepala?
Tak ada suara. Hanya sunyi, angin, kabut dan dingin
Meski burung-burung masih beterbangan dalam diam
Burung yang tampak seperti titik hitam berbaris di kejauhan
Ada yang memandangmu
Jutaan pasang mata
Yang segera bergerak mengikutimu
: Menembus langit?
2016
Tak Ada Lagi yang Kau Punya
Barangkali engkau pohon yang teramat letih
Daun-daun di kepalamu telah rontok
Dan di senja sore tadi selembar daun terakhir
terlepas dari genggaman tangan ranting
Senja tak lagi menyimpan warna lembayung
Hanya putih dan hitam
Serupa kabut yang membungkus malam
Sementara tanah di tempatmu berpijak
Telah mengering dan retak
Tak ada lagi yang kau punya
Kecuali sebuah bangku kayu
Berwarna merah jingga
Di mana kau ingin sekali
Duduk dan bersandar di sana
: Sekali saja
2016
Batas Sepi
Ia ingin berhenti di batas sepi – di akhir mimpi
Sambil menatap riuh dan gemuruh di kejauhan
Ada yang akan datang menjemput, katanya
Sebuah bayangan yang kelak disebutnya sebagai ibu
Ia merasakan sentuhan lembut hangat
Seperti hembusan tangan angin di punggung badan
Ada yang menariknya berkali kali
Agar berlari mengikuti arah nyanyian
Meski ada yang membisikanya agar tetap diam
Ia merasakan tangan-tangan dalam tubuhnya saling tarik
Ada yang mengajaknya berlari
Ada yang menahannya di batas sepi
2016
i
2016