ESAI 

Kreativitas Tanpa Batas: Pengantar kurator

Tak terasa, portal sastra Litera – yang beralamat di www.litera.co.id – sudah berusia satu tahun. Selama setahun itu, ada banyak tulisan yang muncul di media dalam jaring (daring – online) itu, mulai dari puisi, cerpen, esai, hingga berita. Ada puluhan nama yang mengirimkan karya. Sebagian besar karya itu kami muat, hanya sedikit yang kami tolak. Hanya ruang alias nama rubrik saja yang kami bedakan.

Sejak awal, Litera memang dimaksudkan sebagai lima hal. Pertama, sebagai ruang ekspresi kreatif para sastrawan “mapan” alias mereka yang telah “jadi” dan berpengalaman. Kedua, sebagai ruang belajar bagai mereka yang sedang merintis karir dalam dunia kepenulisan sastra. Ketiga, Litera dimaksudkan sebagai ruang untuk mengumumkan kegiatan-kegiatan sastra. Keempat, membudayakan sistem kurasi yang sehat serta sistem seleksi yang baik bagi karya-karya sastra yang dipublikasikan di media daring. Dan, kelima, ikut meningkatkan kualitas literasi masyarakat melalui media daring.

Sebagai ruang ekspresi, Litera membebaskan penulis untuk melakukan petualangan kreatif seluas-luasnya. Kami tidak pernah menghamba pada satu kutup estetika tertentu. Litera terbuka untuk segala arus ataupun mazhab estetika. Untuk puisi, misalnya, silakan menulis puisi dengan gaya dan cara ungkap apa pun. Eksperimentasi para penyair dalam menulis puisi sangat kami hargai – tentu saja eksperimentasi yang memiliki konsep estetika dan dasar tematik yang kuat.

Tujuan kami adalah untuk menemukan sesuatu yang baru dalam dunia kepenyairan. Sebab, dunia kepenyairan akan membosankan jika hanya kita berkutat pada “estetika yang itu-itu saja”. Kami ingin menggelorakan semangat kreatif dalam pengertian yang sebenar-benarnya: penyair tidak hanya memulung estetika para pendahulunya, juga mencari dan menemukan estetika baru khas dirinya.

Sebab, kreativitas itu sendiri bermuara pada semangat mencipta dan menemukan hal-hal baru. Menggosok-gosok “batu akik” lama bukan sebenar-benarnya kerja kreatif, tapi lebih mirip kerja “tukang” – yang hanya perlu mempelajari keterampilan teknis. Kami tidak ingin para sastrawan terjebak pada kerja “penukangan”, tetapi benar-benar menjadi kreator sejati.

Memang tidak mudah untuk itu. Mempraktekkan tidak semudah diomongkan. Tapi, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Setidaknya, selemah-lemahnya “iman”, berhentilah menggunakan diksi-diksi klise yang kerap digunakan oleh para penyair terdahulu semisal Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, atau Abdul Hadi WM.

Lupakan diksi-diksi mereka, lupakan cara mereka menulis puisi. Lupakan gaya ungkap mereka. Temukanlah sesuatu yang baru milik kita sendiri. Jelajahlah segala hal di lingkungan Anda, galilah diksi-diksi dan simbol-simbol baru yang Anda kuasai, temukanlah hal-hal unik di sekitar Anda. Berburuhlah! Dengan begitulah akan muncul kebaruan-kebaruan dalam sastra.

Jika tidak, semua akan mandeg. Kita hanya membaca puisi-puisi “itu-itu saja”, cuma beda penulisnya. Cuma beda judulnya. Cuma beda media atau buku yang memuatnya. Akhirnya kita beranjak dari klise yang satu ke klise yang lain. Di titik inlah kita terpaksa mempertanyakan: apa sih yang baru dari kepenyairan kita? Kita inflasi puisi, tapi puisi-puisi yang muncul itu hasil daur ulang, bukan puisi yang segar dan mengasyikkan.

Hal serupa, tentu saja, berlaku pula untuk prosa. Banyak penulis cerita, tapi sedikit penulis yang benar-benar berhasil menemukan cara ungkapnya sendiri – itu minimal – sebelum kita “tuntut” dia untuk menemukan sesuatu yang baru dari cara ungkap itu. Lagi-lagi, patokan para penulis itu adalah media-media arus utama. Seolah-olah itulah arus estitika cerpen Indonesia yang sah.

Sebagian penulis itu pun bela-belain mempelajari bagaimana model estetik itu, agar cerpennya bisa dimuat di media arus utama tersebut. Mereka lupa pada inti kreativitas: menemukan dan mencipta, bukan mengekor. Kita tidak risau jika itu dilakukan oleh para pemula, yang baru memulai menapaki karir menulis sastra. Itu sah saja bagian dari proses belajar. Namun sedihnya, itu dilakukan sebagian cerpenis “mapan”, yang punya nama.

Sehingga, satu orang cerpenis punya berbagai gaya ungkap. Ketika mengirim dan dimuat di koran A berbeda dengan gaya cerpennya yang dimuat di koran B. Di titik ini pula, kita mau tak mau harus bertanya: apa sih yang dicari oleh para cerpenis semacam ini? Sekedar dimuat lalu dapat honor? Keriaan – bahwa cerpennya dimuat di mana-mana? Mengejar produktivitas – cerpennya muncul di mana-mana dengan gaya berbeda – lalu bangga ketika mendapat pujian dari teman-temannya?

Alhasil, sebagaimana di dunia puisi, sebagian cerpenis juga terjebak pada “pertukangan” dan mekanis. Betul, mencoba bermacam gaya itu sah saja. Tapi, masalahnya, pertama, itu gaya yang “didektekan” oleh pihak lain, bukan gaya sang sastrawan itu sendiri. Kedua, kapan seseorang menemukan dirinya sendiri ketika ia asyik mengejar produktivitas dengan cara terdikte oleh arus estetik tertentu.

Sekilas, hal ini kelihatan sepele: seorang sastawan mempelajari gaya karya sastra yang dimuat di koran A, B, C dan seterusnya, agar karyanya bisa dimuat di sana. Tapi, sesungguhnya, ia sedang menggali kubur untuk kreativitasnya sendiri. Sekaligus, ia sedang menggali kubur untuk perkembangan sastra Indonesia. Dunia penulis sastra akan terperosok pada lubang kelam. Ini merisaukan, tentu saja.

Pada kerangka pikir inilah Litera berusaha untuk mengakomodir semua arus estetika, gaya, cara ungkap, dan aneka warna karya sastra. Boleh jadi apa yang kami lakukan ini hanya setitik debu dalam belantara sastra Indonesia. Tapi, jika itu dilakukan oleh banyak pihak akan bisa memberi sedikit cahaya bagi masa depan penulisan sastra di Indonesia. Dunia penulisan sastra jangan sampai terperangkap dalam kubangan yang gelap dan dalam.

Memang, Litera belum bisa menggali lebih banyak karya-karya yang sangat berwarna itu dengan baik. Persoalannya sangat teknis: Litera adalah media daring sastra yang dihidupkan oleh semangat. Barangkali ia lebih tepat disebut blog, ketimbang portal. Semua yang bekerja di Litera, mulai dari penulis, editor hingga pemimpin redaksi dan pemimpin umum, bukanlah orang-orang bayaran. Dan, kami dengan suka cita serta riang gembira menjalaninya.

Sebaliknya, kami mengeluarkan uang masing-masing untuk ikut membiayai operasional Litera, mulai dari bensin para penulis yang meliput sebuah kegiatan, ngopi untuk rapat-rapat, hingga membayar biaya domain dan hosting. Dengan kondisi itu, Litera tidak dapat dengan agresif mengundang penulis-penulis terbaik untuk mengirim karya terbaiknya ke Litera. Sebab, kami belum bisa memberi honorarium pada mereka.

Namun, sebagai gantinya, kami mencoba memberi apresiasi dengan cara lain: memilih karya-karya terbaik, puisi dan cerpen, lalu kami bukukan. Kali ini, kami memilih karya-karya dari 23 penulis sastra, puisi dan cerpen. Dari sana, kami memilih pula masing-masing satu terbaik untuk puisi dan satu terbaik untuk cerpen untuk mendapatkan Anugerah Sastra Litera. Kami pilih pula, untuk masing-masing kategori – puisi dan cerpen — empat karya terpuji.

Tapi, di buku ini, kami sengaja tidak mengungkapkan mana puisi terbaik, cerpen terbaik, puisi terpuji dan cerpen terpuji. Kami juga mengajak Anda menilai sendiri mana yang terbaik dan terpuji itu. Predikat terbaik dan terpuji itu hanya untuk keperluan memberi penghargaan pada acara ulang tahun Litera pertama. Maka itu, pengantar ini bukanlah pertanggungjawaban penjurian.

Tentu saja, kerja ini masih jauh dari sempurna. Maka itu, masukan dan dukungan, sangat kami harapkan dari semua pihak. Mari kita sama-sama merayakan dan memajukan sastra kita untuk masa depan kebudayaan Indonesia yang lebih maju dan bermartabat.

 

Tangerang Selatan, 6 April 2017

Tim Kurator

 

Ahmadun Yosi Herfanda

Mustafa Ismail

Mahrus Prihany

Related posts

Leave a Comment

seventeen − 8 =