Berita 

Begadang Sastra di Kantor LAPAN

Bogor (litera.co.id)- Teman-teman pegiat sastra di Dapoer Sastra Tjisaoek (DST) mengadakan diskusi sastra bersama pada hari Sabtu malam (12/8) dengan tema “Menikmati Bulan Telanjang di Langit Malam.” Diskusi ini diinisiasi oleh Atik Bintoro, salah seorang pegiat DST yang dikenal sebagai Kek Atek. Ia mengajak rekan-rekan berdiskusi di kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang terletak di Cicangkal, Rumpin, Bogor. Kek Atek adalah ilmuwan yang juga pecinta sastra yang sehari-hari bekerja di kantor tersebut.

Hadir malam itu sekitar lima belas pecinta sastra seperti Abah Yoyok, Handoko F Zainsam, Tao Hidayat, Beni Satria, Heru Cakiel Prasetya, Caat’ Fa, Mahrus Prihany, dan beberapa lagi. Uki Bayu Sedjati juga turut hadir saat malam telah begitu larut. Uki atau yang biasa dipanggil Abah Uki baru menghadiri suatu acara di tempat lain sehingga datang belakangan.

Acara yang dimulai pkl 20.30 dan dipandu Kek Atek sebagai tuan rumah menghadirkan Sugiyono MP dari Ciomas Bogor. Sugiyono penggiat literasi dan juga mantan wartawan tersebut memantik diskusi tentang sastra di ruang maya. Dalam penuturannya, ia baru tiga bulan ini mengamati secara intens sastra ruang maya.

“Bahwa tak terelakkan peranan besar media sosial sebagai ruang ekspresi menulis sastra hingga muncul begitu banyak konten sastra baik dalam grup terbuka atau tertutup di fesbuk, blog atau media daring lainnya. Perkembangannya begitu dahsyat. Selain itu begitu cepat informasi atau tulisan tersebut bisa diakses dan diapresiasi. Lain halnya seperti media cetak yang menempatkan redaktur sebagai ‘penguasa’, maka media sosial akan menyerahkan semua pada publik,” terang Sugiyono. Hanya sayangnya menurut pengamatan Sugiyono sebagian besar mereka yang menulis puisi atau genre sastra lainnya di media sosial adalah para pemula yang masih berusaha untuk mencari pengakuan.

Diskusi yang diadakan di ruang lobby kantor LAPAN tersebut berlangsung santai. Pembicaraan dan umpan balik cukup mengalir. Handoko F Zainsam yang turut mengemukakan pandangannya menitikberatkan agar para penyair atau sastrawan tak perlu membuat dikotomi antara sastra cetak dan sastra ruang maya. Menurut Handoko perdebatan yang sudah cukup lama menjadi polemik di dunia sastra tanah air itu tak perlu dibesar-besarkan karena akan membuat para sastrawan lebih sibuk dengan yang lain dari pada berkarya.

“Media cetak atau media sosial sesungguhnya hanya sebuah medium. Yang terpenting adalah bagaimana pesan dari sebuah tulisan sampai kepada pembaca. Nah hal ini yang lebih subtansial bagi penulis atau pembaca. Jika penyair mampu menulis dengan baik dan tidak ‘asal-asalan’ tentu akan mendapat apresiasi yang baik karena bagaimanapun ada pembaca yang kritis dan cerdas. Sebaliknya jika penulis (sastrawan) menulis dengan kurang cukup baik maka pembaca akan sekadar melewatkan tulisan tersebut meski bisa jadi tetap memberi ‘like’ tapi pesan tak tersampai,” jelas Handoko. Menurut Handoko lagi ruang atau media apapun tetap memiliki karakteristik dan kriteria masing-masing.

Diskusi atau bincang yang ditutup pada pkl 00.00 itu menghasilkan beberapa poin yang bisa dicatat. Salah satunya adalah bahwa tradisi kritik sastra khususnya di ruang maya yang belum berjalan cukup baik bukan saja dari sisi kuantitas tetapi juga dari sisi kualitas. Sugiyono, Kek Atek, dan yang lain berharap dan berkeinginan membuat satu ruang sastra digital yang bisa dikelola dengan lebih baik dari sisi managerial dan konten agar bisa menjadi tempat saling belajar.

“Saya berharap bisa membuat semacam majalah digital yang di sana ada redaktur atau apresiator. Terbuka untuk siapa saja hanya bedanya ada seleksi,” Sugiyono MP menambahkan. Meski diskusi telah ditutup, namun acara belum selesai karena masih ada sesi kedua.

(Mahrus Prihany)

Related posts

Leave a Comment

twenty − 3 =