Agenda 

Ajari Aku Menyanyi Indonesia Raya

Saliem Sabendino, menulis puisi, cerpen, skenario film, naskah drama/teater dan artikel. Beberapa karya telah diterbitkan di media cetak maupun media online. Terlibat dalam Antologi Gandrung Sastra Sapa Sira Sapa Ingsun (Rumah Gandrung Sastra Pati). Terlibat dalam Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa #21 Suara yang Menyala (bukuKatta Taman Budaya Jawa Tengah, 2017). Menjadi anggota tim penyunting dalam kumpulan puisi Asa Jatmiko Tak Retak (Iniibubudi Kudus). Saat ini bergiat dalam kegiatan belajar sastra dan penerbitan Komunitas Iniibubudi Kudus. Ikut aktif dalam pergerakan Merawat Sastra Lereng Muria.

 

Senja hadir sebagai batas dari hari dan malam, warna jingganya adalah pertukaran antara terang dan gelap. Senja mengantar burung-burung ke peraduan dan membangunkan serangga malam untuk bernyanyi. Senja selalu mengawal langkah-langkah anak gunung menuruni bukit menuju rumah-rumah yang terselip di antara bebukitan yang semakin angker dibalut kegelapan.

Ketut nampak berjalan susah payah menuruni jalan setapak yang tersusun dari bilahan batu-batu, dengan seikat rumput di atas kepalanya. Tak ada pilihan lain bagi gadis kecil yang hidup dengan nenek dan seekor banteng[1] piaraanya. Meski baru kelas empat SD ia tak mau menyerah pada kenyataan. Ia berbuat apa saja setelah pulang sekolah demi bertahan hidup dan melanjutkan cita-citanya. Setiap hari ia ke kebun-kebun mencari rumput untuk makan banteng piaraan atau untuk ia jual pada tetangga yang membutuhkan rumput untuk pakan banteng dan babi-babi yang mereka pelihara.

Hari semakin gelap dan senja telah benar-benar bertukar dengan malam. Ketut masih berjalan menyusuri celah-celah tebing. Satu kelokan lagi rumah mungil, nenek dan seekor bantengnya telah menanti. Gadis ini berjalan dengan sangat hati-hati, ia tak mau ada ujung batu atau patahan dahan yang melukai kakinya. Ia segera meletakkan rumput di sebelah kandang bantengnya. Segera ia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

“Ra..ra..ra…rahajeng wengi nini”[2]. Dengan terbata-bata Ketut menyapa neneknya yang baru saja usai membakar dan bersembahyang di Pura samping rumahnya.

“Rahajeng luh, lekas mandi sana nanti keburu dingin”, balas nenek sambil menatap cucu semata wayangnya dengan pandangan haru. Ia tak bisa menghapus cerita duka tentang kemadian kedua orang tua Ketut dalam sebuah kecelakaan tiga tahun yang lalu.

Ketut langsung menuju kamar mandi tanpa tahu ada air mata yang meleleh dari sudut mata neneknya yang telah mengeriput. Ia mandi dengan cepat karena baginya mandi adalah sekedar untuk membersihkan dari keringat dan debu yang melengket di badan sekaligus menepis penat yang menggantung di persendian. Ia tidak mengerti tentang mandi untuk memanjakan dan mempercantik diri. Selepas mandi ia segera menghambur ke dapur untuk menemukan sepiring nasi, ikan asin dan sambal lalu menyantapnya dengan cepat pula.

“Ni, ketut mau pergi belajar”. Sambil berlalu keluar ketut pamit dengan setengah berteriak pada neneknya yang sedang larut dalam tembang puji-pujian.

“Ya, jangan pulang terlalu malam, besok sekolah.” Sahut nenek dari dalam.

Kemudian Ketut menghambur keluar dan ditelan kegelapan malam.

****

Hampir sebulan sudah Senja mencoba berkompromi dengan malam yang senyap dan dikelilingi bukit-bukit tandus yang seperti berlomba menusuk langit. Tak lagi ia dengar suara klakson-klakson kendaraan di tengah kemacetan atau bahkan tak ada suara klakson kendaraan sepanjang malamnya. Karena begitu gelap tiba orang-orang di sini tak ada yang menaiki motor kecuali untuk kepentingan darurat. Hal ini disebabkan karena jalanan yang memang begitu curam dan juga tak banyak warga disini yang memiliki sepeda motor.

Setiap malam datang senjapun jarang sekali keluar, kecuali ada pertemuan dengan warga untuk membahas tentang kebersihan lingkungan dan pentingnya air bersih. Biasanya ia akan berbicara panjang lebar pada warga mengenai air adalah hal yang sama pentingnya dengan udara bagi kehidupan manusia. Pembawaanya yang supel, ramah dan riang membuat ia mudah diterima oleh warga yang yang masih memegang adat kesukuan dan kasta, sehingga ia dipanggil dengan Mbak Senja sebagai penghargaan kalau Senja adalah gadis yang berasal dari Jawa.

…….

You put your arms around me

And I believe that it’s easier for you to let me go

…….

Sebuah penggalan bait chorus dari lagu Christina Perri yang berjudul “Arms” begitu fasih meluncur dari bibir senja dengan iringan gitar yang ia mainkan untuk menemani malam-malamnya di sela perbukitan Bangli. Senja nampak menikmati baris demi baris dalam lagu ini, ia menyanyikanya dengan hati sehingga siapapun yang mendengarnya akan terbawa kedalam suasana lagu tersebut.

“Se…se..se..”

“Selamat malam Ketut….hahaha”. Senja memotong ucapatan terbata-bata dari Ketut yang mendadak hadir dihadapanya, seraya mempersilahkan Ketut duduk disampingnya.

“Mb..mb..mbak Senja ini bisa aja”. Jawab Ketut sambil mengambil tempat duduk di samping Senja.

“Ken ken kabare tut, becik napi ten?[3]” sapa Senja pada Ketut membuka pembicaraan.

“Ti..ti..ti…Tyang becik-becik Kemanten[4], mbak. Wah mbak Senja sudah pandai ngomong Bali”.

“Hahaha…kan kamu yang ngajarin, ada perlu apa Ketut datang kemari?”. Tanya Senja sambil tetap tertawa ramah pada tamu kecilnya.

“Cu…cu…Cuma main sambil mau minta diajarin menyanyi”. Jawab Ketut dengan tetap terbata-bata.

Ketut memang selalu terbata dalam mengawali kalimatnya setiap bicara. Hal semacam ini bukan hanya dialami oleh Ketut, sebagian besar orang di tempat Ketut tinggal mengalami hal yang sama. Sehingga orang di daerah sekitarnya seringkali menjuluki kampung ini sebagai kampung gagap. Karena sebagian besar warga yang tinggal di daerah itu mengalami gagap bicara secara turun temurun. Bahkan tersebar pula desas desus atau lebih tepatnya kegagapan yang dialami mereka adalah kutukan yang terjadi secara turun temurun dari nenek moyang mereka.

“Memangnya kamu mau belajar nyanyi lagu apa Tut?”. Tanya Senja.

“In…in…in…Indonesia Raya”.

“What…Indonesia Raya?”. Tanya senja dalam hati, kenapa tidak lagu-lagu yang lagi ngetrend seperti lagunya SID, atau Kotak Band. Kenapa harus Indonesia Raya?

“Memangnya, Ketut belum bisa ya nyanyi Indonesia Raya?” Tanya Senja setengah keheranan.

“Bi..bi..bisa, tapi belum bisa dengan iringan musik. Be..be..besok di sekolah ada tugas menyanyi Indonesia raya diiringi dengan musik”. Ketut berusaha menjelaskan maksudnya pada Senja.

“Oh kamu ingin bisa menyanyi Indonesia Raya dengan iringan musik?”.

“Be..be..be..benar, mbak….”. Jawab Ketut girang.

Kemudian Senja mengambil nada dasar C pada gitarnya lalu memainkanya bebarapa ketukan untuk mengambil suara.

“Sekarang ikuti mbak ya, Indonesia tanah airku”. Senja memberikan contoh satu baris kemudian memainkan gitarnya pada nada yang sama berharap Ketut mengikutinya.

“In..in..in..Indonesia tanah airku….”. Ketut berusaha mengikuti contoh yang diberikan Senja.

“Kamu harus bisa langsung ke Indonesia tanah airku, ya Tut. Kalau in..in..nya kebanyakan nanti kamu ketinggalan nadanya”. Dengan hati-hati Senja menjelaskan agar tidak menyinggung perasaan Ketut yang gagap.

“ba..ba..baik mbak”, jawab Ketut polos.

Kemudian Senja memainkan kembali pada nada yang sama, dan Ketut pun berusaha menyanyi dengan nada yang sesuai dengan contoh yang diberikan oleh senja. Namun lagi-lagi suara in..in..in..Indonesia tanah airku yang keluar dari mulut Ketut. Berkali-kali Ketut berusaha mengulangi baris pertama dari lagu Indonesia Raya namun hasilnya tetap sama. Ia terus berusaha menaklukan kegagapan, baris demi baris ia ulang namun kegagapan itu belum mau hilang.

“Ayo Tut, kamu jangan menyerah. Mbak Senja yakin kok, Ketut pasti bisa menyanyi lagu Indonesia Raya dengan baik dan lancar”. Senja memberi semangat pada Ketut atau lebih tepatnya memberi semangat pada dirinya yang hampir sampai pada titik pesimis dalam mengajari Ketut menyanyi.

Sementara Ketut berjuang dengan keras mengulang baris demi baris di awal lagu Indonesia Raya. Gadis kecil ini berjuang dengan keras meski sudah berpuluh-puluh kali ia harus mengulang kalimat yang sama. Senja hanya mampu terpekur mengamati kegigihan semangat gadis kecil di hadapanya dalam mengatasi kesulitanya untuk sekedar menyanyikan lagu Indonesia Raya. Terbersit dalam benak senja gambaran semangat dan keinginan gadis-gadis kecil sebaya dengan Ketut yang hidup pada jaman penjajahan untuk menikmati kemerdekaan. Mereka pasti ikut merasakan kegetiran dan keterbatasan, meski mereka bisa menyanyi tapi tak bisa bebas untuk bernyanyi.

Jam dinding telah menunjukan pukul sepuluh malam, namun Ketut baru bisa menyanyikan dua baris saja dari awalan lagu Indonesia Raya dengan lancar.

“Mbak sudah jam sepuluh, Ketut mau pamit pulang” Ketut menyudahi belajarnya dan pamit pulang.

“Semangat ya Tut”. Jawab senja melepas kepergian gadis kecil itu.

“Nggih mbak, terimakasih ya mbak sudah mau ngajari Ketut menyanyi”. Jawab ketut sambil beranjak menembus kegelapan menuju rumahnya.

Dalam perjalanan pulang Ketut terus berusaha mengulang lagu Indonesia Raya dan berusaha menghilangkan kegagapanya. Begitupun ketika sampai di rumah ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri sambil terus mengulang lagu itu sampai lelah dan kantuk melelapkan semangatnya.

***

Kokok ayam jantan mengusir peri-peri dari negeri mimpi, sangkala menggiring matahari ke kaki langit. Hari belumlah sepenuhnya terang, Ketut bergegas keluar dengan menggendong tas sekolahnya. Sepatu butut yang telah pendar meninggalkan warna hitam membungkus kaki mungilnya yang siap menapaki jalanan berbatu menuju sekolah yang tersembunyi di balik dua bukit dari rumahnya. Ia melangkah dengan pasti sambil mengulang-ulang lagu Indonesia Raya yang telah dipelajarinya semalam. Meski baru empat baris permulaan yang baru mampu ia ucapkan dengan tepat namun Ketut yakin bahwa seiring langkahnya menuju halaman sekolah akan ada perkembangan yang diperolehnya. Gadis kecil ini selalu yakin bahwa dewa-dewa selalu mengasihi manusia yang mau berusaha.

 

“Se..se..se..”

“Selamat pagi, Ketut”. Sahut Senja sebelum sempurna Ketut menyapa saat melintas di hadapanya.

“I..i..i..iya begitu maksud Ketut”. Ketut menjawab sambil tertawa malu-malu di depan senja yang sedang menikmati pagi dengan segelas kopi.

“Sudah sarapan kamu, Tut?”. Tanya Senja.

“Be..be..belum, nanti saja di sekolah kalau sudah istirahat”. Jawab Ketut sekaligus menjelaskan.

Gadis kecil ini memang tak pernah sarapan pagi-pagi, karena jarak dari rumah ke sekolahnya sangat jauh. Sehingga ia meski berangkat sebelum nasi matang ditanak.

“Yasudah, ini buat sarapan nanti”. Senja menyodorkan uang kertas lima ribuan.

“Te..te..ter..terimakasih, mbak. Ketut berangkat dulu”. Jawab ketut sambil menerima uang dari Senja, kemudian melanjutkan langkahnya.

 

Dalam sekejap tubuh gadis kecil itu menjauh menuruni jalan-jalan setapak, tubuh mungilnya hilang dan muncul kembali terhalang dedaunan dari pohon-pohon yang berjajar di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tak lama kemudian tubuhnya sudah benar-benar tak tampak terhalang oleh bukit yang tinggi menjulang. Sementara Senja masih menikmati segelas kopi sambil menatap sinar matahari pagi yang mulai menyeruak dari punggung gunung Rinjani di seberang lautan.

Sesaat kemudian tiba-tiba Senja seperti teringat sesuatu. Raut mukanya mendadak mengisyaratkan sedikit kecemasan. Ia teringat kejadian semalam ketika ia menyaksikan Ketut sedang berusaha mati-matian menghafalkan lagu Indonesia Raya.

“Ah, bisakah ia menyanyi di sekolahnya nanti?”.

Kalimat pesimis itu meluncur tak sempurna bersama tubuh Senja yang beranjak dari tempat duduknya. Ia segera bergegas menuju kedalam rumah. Tak lama kemudian Senja keluar dari rumah dan bergegas pergi. Ia berjalan dengan tergesa menyusuri jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh Ketut tadi. Senja terus melangkah di antara pohon-pohon dan batu-batu. Setengah jam kemudian nampaklah bangunan yang berwarna biru berada di bawah tebing tepat dibawah kakinya. Meski demikian Senja tak bisa langsung menjangkau halaman bangunan tempat dimana Ketut belajar itu. Ia harus mengambil jalan memutar dan memakan waktu sekitar seperempat jam perjalanan.

Bunyi suara besi tua yang dipukul sebagai pertanda bahwa jam pelajaran akan segera dimulai terdengar begitu jelas dari tempat Senja berdiri. Mendengar bunyi itu kemudian Senja mempercepat langkahnya. Ia hanya sekedar menyapa sambil meneruskan langkahnya ketika bertemu dengan beberapa warga. Ia hanya ingin melihat Ketut menyanyi di hadapan guru dan teman-temanya. Ia melangkah setengah berlari menyusuri jalan yang menurun tajam.

Tak perlu waktu seperempat jam ternyata Senja telah sampai di dekat sekolahan Ketut. Ia sangat lega melihat murid-murid di sekolah itu baru bergegas memasuki kelas masing-masing setelah selesai melakukan do’a bersama. Segera saja ia mengambil tempat duduk yang berada di salah satu warung yang berada di halaman sekolah itu. Senja menghela dan mengatur nafasnya yang sedikit ngos-ngosan akibat perjalanan yang baru saja ditempuhnya. Ia duduk tepat sejajar dengan pintu masuk kelas empat sehingga ia dapat melihat dengan jelas apapun yang terjadi dalam kelas tersebut.

Sesaat kemudian pandangan Senja tertuju pada sosok setengah baya yang baru saja keluar dari kantor guru yang berada di ujung bangunan. Ia tahu pak Guru Made adalah satu-satunya guru yang mengajar mata pelajaran kesenian di sekolah tersebut. Mata Senja dengan seksama menatap langkah guru Made yang berjalan menuju ke ruang kelas empat. Perasaan Senja sangat was-was ketika dengan jelas ia mendengar guru Made memerintahkan muridnya untuk menyanyi di depan kelas. Ia menatap setiap gerak guru Made yang dengan cekatan mempersiapkan tape recorder sebagai pemutar suara instrumen yang akan mengiringi satu persatu murid dalam kelas itu untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Waktu terus beranjak, satu persatu murid maju ke depan kelas untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan instrumen yang mencuat dari tape recorder yang berada tepat di sebelah kanan guru Made. Satu persatu mereka menyanyi, dan satu persatu diakhiri dengan tepuk tangan dari seisi kelas. Sampailah kini giliran Ketut maju ke depan kelas.

Dari luar kelas nampak senja beranjak dari tempat duduknya, ia sedikit bergeser ke arah yang lebih dekat. Dengan was-was ia mengamati wajah Ketut yang tak kalah was-wasnya dengan Senja melangkah ke depan kelas. Ketut segera memposisikan diri berdiri di sebelah kiri guru Made dan menghadap ke arah teman-temanya. Sejanak kemudian terdengar roda mekanik pada tape recorder itu bergerak memutar pita dari kaset yang berada di dalamnya. Bagi Ketut putaran itu menimbulkan suara yang mengerikan, seperti suara gemertak dari roda buldozer yang menggilas batu-batu. Ketakutan semakin terpancar dari wajah Ketut ketika intro pengantar lagu Indonesia Raya menyeruak dari speaker tape recorder yang berada di seberangnya. Suara itu meruntuhkan nyali yang telah ia tata mulai dari semalam hingga pagi tadi. Mulutnya menjadi kelu ketika beberapa detik lagi intro pengantar itu memasuki instrumen baris pertama.

“In…in..in..Indone….”

“Klek”. Suara yang timbul dari ujung jari guru Made menyentuh tombol pause yang sekaligus juga memotong nyanyian Ketut yang terbata.

“Tenang ya Tut, jangan grogi. Kita ulangi lagi, dengarkan musiknya baik-baik”. Perintah guru Made dengan halus.

“Ba…ba..ba..baik bapak Made”. Jawab Ketut dengan tergagap.

Sejenak kemudian tape recorder itu menyuarakan intro pengantar lagu Indonesia Raya. Ada kengerian yang sama seperti saat intro yang pertama tadi dalam benak Ketut. Suara musik itu tak mau peduli dengan kengerian yang semakin berkecamuk dalam dada Ketut. Begitu juga dengan guru Made yang hanya meruncingkan telinganya kearah Ketut, sementara pandanganya ia tebarkan kepada seluruh siswa di hadapanya. Musik dari tape recorder itu terus berputar.

“In…in..in..Indone….”

“Klek”. Kembali ujung jari guru Made menyentuh tombol pause yang sekaligus juga memotong nyanyian Ketut yang terbata.

“Tut, kamu harus tenang dan dengarkan musiknya dengan baik seperti yang bapak ajarkan kemarin”. Perintah guru made.

“Ba…ba..ba..baik bapak Made”. Jawab Ketut.

Sementara di luar kelas nampak Senja begitu kalut melihat Ketut yang sudah dua kali mengulang nyanyianya. Ia gundah namun tak mampu berbuat apa-apa. Senja semakin pesimis ketika terdengar dengan jelas musik pengiring itu kembali berbunyi.

“Indonesia tanah airku. Ta..ta..ta..tanah tum..”.

“Klek”. Tombol pause kembali ditekan guru Made yang sekaligus juga menghentikan nyanyian Ketut yang baru memasuki baris kedua.

“Ketut, pelajari lagi di rumah. Pekan depan kamu maju lagi, sekarang kamu kembali ke tempat duduk.” Perintah guru Made yang langsung diikuti oleh langkah Ketut yang berjalan menununduk ke arah bangkunya.

Tak ada tepuk tangan yang mengiringi langkah Ketut kembali. Satu demi satu teman-teman Ketut yang lain silih berganti kembali maju ke depan untuk bernyanyi. Dan selalu ada tepuk tangan buat mereka yang menyelesaikan lagunya.

Di luar kelas Senja memutar tubuhnya, ia melangkah meninggalkan halaman sekolah itu. Ia terus berjalan semakin jauh meninggalkan sekolahan itu. Ia meninggalkan raut wajah Ketut yang tertunduk lesu. Ia tinggalkan suara anak-anak yang menyanyi Indonesia Raya. Ia tinggalkan suara riuh tepuk tangan dari siswa pada setiap lagu selesai dinyanyikan.

 

Kudus, 24 Agustus 2015.

 

 

[1] Sebutan buat lembu di daerah Bali

[2] Selamat malam nenek

[3] Bagaimana kabarmu Tut, baik apa tidak?

[4] Saya baik-baik saja.

Related posts

Leave a Comment

eleven − six =