CERPEN 

Bali di Hari Kesekian

Arida Erwianti, senang menulis banyak hal. Bermukim di kota hujan, Bogor. Beberapa tulisannya disiarkan media massa. Cerita pendek berjudul “Pohon Kersen” pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. “Mida” dan “Suatu Pagi” adalah cerita pendek lainnya yang dimuat di Harian Fajar.

 

Bali terbangun dengan perasaan yang berbeda hari ini. Dimatikannya lampu tidur yang berpendar redup dalam kamar yang tak begitu luas. Tirai disingkap, berganti cahaya pagi yang masih temaram. Sama-sama remang. Tapi beberapa saat lagi matahari semakin tinggi dan benderang. Dan Wajah Bali tak kalah cerahnya.

Sebelumnya, pagi Bali selalu dimulai dengan alarm yang berbunyi. Kemudian rentetan aktivitas yang serba terburu. Mandi, berpakaian, dan jika sempat, ia sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat. Sarapan yang lebih banyak dilalui dengan menelan makanan yang belum lumat betul. Dan perkara belum selesai, untuk menuju terminal bis, ia harus bergegas ke ujung jalan untuk mencegat angkutan umum. Sesampainya di terminal bis, ia harus berebut masuk ke dalam bis, lalu berebut tempat duduk dan bis itu pun melaju untuk berebut ruang di jalan-jalan yang macet.

Ada banyak sosok seperti Bali di kota-kota besar dan juga jalan-jalan yang menuju ke kota di pagi hari. Ada yang ke terminal bis, ke stasiun kereta–bergelantungan dan juga terhimpit di dalamnya. Mereka merayap di jalan-jalan yang penuh sesak. Tapi hari ini, Bali ingin jadi seseorang yang berbeda. Tak ada lagi bunyi alarm, dan ia bisa bangun jam berapa pun yang ia inginkan. Ia juga bisa sarapan sambil menonton berita di televisi atau acara gosip artis sampai pada basa-basi acara pagi hari. Bahkan Bali bisa tidur kembali jika masih merasa ngantuk, pikirnya. Sungguh ini hari yang sangat berbeda.

Tetapi Bali memutuskan tidak kembali tidur. Ia melangkah ke halaman kecil depan rumahnya. Setelah melewati pintu, ia membiarkan paru-parunya diisi udara dalam tarikan nafas yang panjang. Matanya hampir selalu tertuju pada gulungan selang putih di sudut halaman setiap kali berangkat ataupun pulang kerja. Keinginan untuk menyiram tanaman dan juga mengguyur daun-daun yang tertutup debu jalanan di halaman selalu kandas oleh lelah. Dan begitu hari libur tiba, deretan hal-hal mendesak membuat perkara menyiram tanaman menjadi prioritas kesekian. Jika tidak, hari liburnya diisi oleh tidur yang seperti dendam berbalas.

Bali kemudian memutar kran, mengguyur daun-daun, menyiram bunga-bunga. Hatinya basah merekah.

Tetapi di minggu ke lima saat Bali memutuskan berhenti dari tempatnya bekerja, Ibunya angkat bicara. Perempuan itu mulai gusar dengan kelakuan anaknya. Tapi ia juga mafhum kalau anaknya bukan seorang pemalas. Setelah Ayah Bali meninggal tak lama setelah ia lulus sekolah, Ibunya mengarahkan daya upayanya untuk menyekolahkannya sampai sarjana. Dengan bekal itu Bali pun diterima bekerja di perusahaan ritel dan ternyata ia cukup giat bekerja. Berdua mereka hidup berkecukupan ditambah pengasilan Ibunya yang bekerja di katering milik kerabat mereka.

Maka dari itu setelah lebih dari sebulan Bali tak bekerja dan hanya di rumah saja, Ibunya susah untuk diam saja.

“ Kamu sudah dapat kerjaan baru?” tanya Ibunya suatu ketika.

“Belum Bu”.

“Kenapa?”

“Memang belum sempat nyari Bu” sahutnya lagi.

Antara heran dan kebingungan mendengar perkataan Bali. Perempuan itu bingung untuk memilih kalimat selanjutnya. Ibunya memang hanya lulusan sekolah dasar dan ia tidak mengerti tentang cara bekerja kantoran. Ia jenuh dan ingin di rumah dulu, dan nanti akan mencari kerjaan baru. Itu yang dikatakan Bali pada ibunya saat memutuskan berhenti bekerja.

Besoknya, hujan turun meskipun tak terlalu deras. Awan kelabu masih enggan pergi, padahal semalam suntuk hujan tak berhenti. Perumahan yang berdiri di lokasi pinggiran kota itu pun tampak sendu. Tempat yang enggan untuk disebut perkampungan lagi, tetapi infrastruktur pendukung sebagai daerah suburban yang baru juga seolah masih malu bermunculan. Jalan-jalan yang basah, becek serta aspal jalan yang mengelupas.

Bali membuka pintu depan, udara pagi lebih dingin dari biasanya. Bali kembali ke dalam kamar, diambilnya jaket dan sebuah gawai. Teh manis hangat yang tinggal setengah gelas itu, diteguk sampai habis dan lantas bergegas. Hujan sudah mulai reda. Di depan rumah, Gun telah menunggunya. Bali janji akan menemani Gun mengambil buku-buku untuk keperluan di taman baca. Sebuah taman baca yang baru dirintis Gun. Ibunya ternyata telah lama meningglkan rumah ketika pagi pun belum terlalu tinggi.

Gun adalah teman sekolah Bali dulu di SMA, dan tinggal tak terlalu jauh dari rumah Bali. Dulu Ayah Bali membeli sebuah rumah mungil di pinggiran kota dengan sistem kredit. Perumahan itu masih bersinggungan dengan rumah-rumah penduduk yang telah lama mendiami tanah-tanah di sekitaran perumahan yang Bali huni. Dulunya perumahan itu adalah kebun-kebun dan sawah-sawah.

Menjelang siang hari, Bali tiba kembali di rumah. Ibunya yang duduk di ruang tengah sedang merapikan pakaian yang baru kering setelah berhari-hari di jemuran. Sesekali pandangannya terarah ke televisivi di ujung ruang. “Bagaimana taman bacanya?” Tanya ibunya memulai percakapan.

“Buku-bukunya banyak yang basah Bu…banjir…padahal buku-bukunya baru”.

“Sayang sekali ya” ada jeda panjang sebelum ibunya melanjutkan kalimatnya.

“Nak, yang kamu lakukan itu baik sekali, tapi sampai kapan?!”

Bali membetulkan posisi duduknya. Ia tahu arah pertanyaan ibunya. Terbayang nominal saldo di rekeningnya yang kini tinggal tak seberapa itu. Tiba-tiba ada perang dalam dirinya.

“Tapi ini juga penting Bu” sahutnya. Nada suara Bali mulai tak datar lagi.

“Ibu tahu tidak, semenjak berdirinya berbagai perumahan di sini, setiap kali hujan deras, kampung sebelah selalu banjir, itu semua gara-gara perumahan kita ini, yang kita tempati ini, Bu. Padahal cerita Gun, dulu-dulu gak pernah kejadian seperti ini, pokoknya Ibu tenang aja, cicilan rumah sudah beres, kalau untuk biaya sehari-hari, amanlah Bu” katanya menurunkan nada suara sambil menghampiri Ibunya.

“ Terus apa kita mesti pindah?! kalau iya, kemana?!“ Tanya ibunya dengan nada tak kalah tinggi.

“Sudahlah Bu, di sini rumah kita” Bali menyudahi kalimatnya, ia tak ingin berdebat.

Hari berikutnya, dua jam setelah Bali menunaikan salat Subuh, ia baru tersadar, betapa hening pagi di jam seperti ini. Saat anak-anak telah berangkat ke sekolah dan para pekerja juga telah lama meninggalkan rumah. Sejam lalu, jalan-jalan di perumahannya terlihat sibuk oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Ada yang mengantar anak, ayah, ibu, istri atau suami mereka.Tak ketinggalan ojek konvensional atau pun ojek online berseliweran. Di pagi yang lain saat suasana sama heningnya, Bali berkata pada ibunya bahwa pikiran lebih jernih dan tenang jika hidup lebih sedikit santai. Tidak terburu-buru. Dengan begitu jiwa dan jasmani lebih sehat. Banyak yang bekerja tak kenal waktu, tapi nantinya hasilnya akan dipakai lagi untuk berobat jika sakit. Panjang lebar penjelasannya kala itu, sambil membayangkan gambar-gambar dalam artikel dengan tema slow life yang sering dibacanya.

Di lain hari saat tak membantu Gun, Bali memilih mengahabiskan waktu membaca buku-buku yang telah lama dibelinya namun belum sempat terbaca, bahkan beberapa masih terbungkus plastik. Jika tak sedang membaca buku Bali akan memilih nonton televisi. Setelah beberapa minggu di rumah, ia bisa mengetahui perihal waktu hanya dari acara di televisi yang ia tonton. Bali kini hapal urutan acara dan durasinya.

Setelah hari kemarin, bentala belum juga disentuh sinar matahari. Hari cerah ataupun kelabu, ternyata adalah perkara awan yang menjadi tabir. Matahari akan tetap terbit setiap harinya, tak ada yang berubah hanya saja, nasib manusia tak ada yang bisa menebak. Pagi masih sangat muda, saat Bali berada di jalan yang sudah dipadati kendaraan. Tapi hari ini bukanlah perjalanan ke kantor ataupun tempat kerja yang baru. Dini hari tadi, dengan bantuan tetangganya, Bali membawa ibunya ke sebuah rumah sakit yang tak jauh dari rumahnya. Sebelumnya, ibunya merintih kesakitan dan jatuh tak sadarkan diri. Di rumah sakit itu fasilitas masih minim sehingga merujuk Ibunya untuk ke rumah sakit yang ada di pusat kota. Sirene ambulans yang membawa mereka tak bisa berbuat banyak untuk menembus padatnya kendaraan.

Perasaan Bali tak karuan. ia sungguh tak tega melihat ibunya merintih kesakitan. Perjalanan yang berasa sangat panjang itu pun berakhir di instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit besar. Beberapa perawat tampak sigap dan bergegas membantu. Kemudian tandu yang membawa tubuh ibunya berbelok dan menghilang di ujung lorong. Ia membiarkan ibunya berada di tangan tenaga medis, karena memang hanya itu yang ia bisa lakukan. Bali berdiri mematung, membeku.

Satu tarikan nafas panjang, tapi dihembuskan terburu. Bali belum tenang. Ia sungguh cemas. Dalam kondisi gelisah itu Bali meraih sebuah map plastik bening, mengecek kelengkapan berkas-berkas yang sempat disiapkan dengan terburu. Pandangannya tertuju pada sebuah kartu asuransi kesehatan, berlogo warna biru dan hijau. Setelah doa, kini semua asa bermuara pada kartu dalam genggamannya itu.

 

Related posts

Leave a Comment

twelve + 9 =