CERPEN 

Diam Sunyi Menjadi Mayat

Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Ilmu Budaya jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Karya tunggalnya kumpulan cerpen Aku Melahirkan Suamiku (Leutikaprio, 2017) dan kumpulan puisi Bibir yang Terikat AE Publishing(2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media.

 

Pekerjaanku sebenarnya sederhana, membersihkan semua hal yang tidak diinginkan orang atau mereka ingin membuang kenangan yang tak mau disimpan. Bukan pekerjaan ideal untuk menghidupi sebuah keluarga, ketidakberdayaan ini mengais sisa-sisa di puing kotoran manusia disana. Entah mengapa bagi mereka, sampah-sampah ini adalah musibah tapi bagi kami ini adalah seonggok emas. Kami hidup dari timbunan bekas popok bayi, sisa makanan, pakaian tak laik pakai, barang elektronik apkir atau jika beruntung kadang kami mendapatkan uang atau koin logam dalam serakan sampah disana. Bahkan ada yang pernah menemukan selembar dollar seratus ribu, Dower kala itu mendapatkan uang dollar itu di terik siang itu. Dower begitu riang gembira dan membawa dollar itu ke rumah. Ditunjukkan kepada istri dan anaknya, mereka melihat itu bagaikan menjadi orang kaya baru. Mereka beli pakaian baru, bayar utang sana sini dan makan sepuasnya, tak sampai sehari uang itu habis. Esok harinya mereka kembali menjadi pemulung.

Aku dan Dower adalah sebagian dari orang-orang yang menggantungkan diri dari serakan sampah di Bantar Gebang itu. Mungkin nasib yang menakdirkan diriku memulung sisa-sisa kenangan manusia yang tak berguna itu. Sebenarnya aku tak pernah menyalahkan takdir sekalipun, memang dari garis keturunan seperti itu. Dimulai dari kakek nenek-ku, mereka menggelandang dari satu kota ke kota lainnya tanpa mempunyai rumah dan dipertemukan keadaan. Maka lahir bapakku dengan kondisi dibawah jembatan tapi nasibnya juga tak begitu bagus. Digusur dan menjadi manusia gerobak, kesana kemari dan mencari sesuap nasi dengan mengorek-gorek sampah demi botol plastik yang bisa ditukar ke pengumpul. Bagi kami 5 ratus perak itu berharga dan bapak pernah berkata.

“Kau punya bagianmu sendiri nak, jangan kau ambil bagian orang lain”

Kata-kata itu selalu aku camkan dalam isi kepala ini, kita boleh miskin tapi bukan miskin mental. Oleh karena itu aku lebih memilih berkotor ria daripada begal, jambret atau kongkalikong demi dalih manipulasi.

Orang bilang ini mental pemulung dan akan seumur hidup menjadi pemulung. Tapi kata semua orang itu tak pernah aku pedulikan karena selama ini aku menikmati semuanya, sebuah pekerjaan yang menyenangkan

Semua ada disini, hal yang bilang menjijikan dan bikin mual tapi tidak buatku. Gundukan sampah itu adalah surga bagiku, aku tinggal memilah plastik dan logam. Jika sudah terkumpul berat 1 kilo maka dapat ditukar 10-15 ribu, sejumput rupiah yang aku bawa buat Surti dan anakku. Itu hanya cukup untuk makan sehari untuk kami sekeluarga, hari ini kami makan tapi besok nyari kembali.

Itulah siklus kami tiap hari yang harus dilalui, pergi pagi pulang sore. Bergelut dengan kotoran jadi makanan sehari-hari, beruntung kami diberi ketahanan tubuh yang kuat. Aku, surti serta anakku tak pernah sekalipun sakit biarpun petak kami dekat sekali dengan tempat pembuangan sampah itu, semua kami syukuri. Kami makan dengan lahap hanya sepiring nasi lauk tempe dan sedikit sambel teri.

Terkadang pekerjaan ini juga mengandung resiko tinggi, jika kau lihat gundukan sampah dari sampah rumah tangga yang hampir menyentuh 1 ton perhari bak gunung himalaya. Hampir puluhan orang menggantungkan hidup dalam gunung sampah itu tapi juga membahayakan hidup yang bekerja diatasnya Kemarin Parjo tewas oleh lungsuran sampah.

Saat itu Parjo sedang mengorek-gorek, saat itu truk sampah datang dari ibukota dan menggangkat bak sampah hidroliknya. Posisi Parjo waktu itu ada dibawah dan ia tak dengar ketika diteriak teman-temannya.

“Parjo….Parjo awas diatas kamu!”

“Awas…Jo !”

Teriakan-teriakan itu tak sampai ke telinga si Parjo, seperti ada yang menyumbat gendang pendengarannya. Tak ayal gumpalan berton-ton bergetar lengser menggasak tubuh cungkring Parjo. Ia menghilang begitu saja dibalik tumpukan sampah, kami sampai 3 hari 4 malam untuk mencari mayat.

Menggali dan menggali.

Membongkar untuk menemukan lubang dan kemudian membuat lubang kembali.

Semua itu pemandangan biasa yang selalu kami temukan di Bantar Gebang, banyak mayat-mayat yang dibuang disini. Terkadang kami menemukan onggokan orok bayi dibungkus kardus atau potongan-potongan korban mutilasi. Entah itu kepala, kaki atau organ tubuh lainya yang dibungkus plastik untuk menghilangkan jejak. Harga manusia jaman sekarang begitu murah bahkan sangat murah layak ayam potong di pasar.

Tapi kami selalu membersihkan itu semua dan begitu rapi, jasad-jasad itu tak bertuan itu kami bersihkan dan dibungkus kain kafan kemudian dikuburkan tanpa prosesi apapun. Kami sendiri mempunyai tempat sendiri yang sering kami namakan “Lubang Buaya”. Kami tak pernah melaporkan ke pihak berwenang karena tak mau berurusan dengan mereka. Kebanyakan dari kami adalah pendatang yang tidak mempunyai selembar tanda pengenal. Kekuatiran kami, jika polisi masuk area pemulung ini dan kami diciduk maka hilanglah mata pencaharian. Biarlah kami seperti ini.

Akupun demikian, tak mau anak dan istriku digusur. Pendatang gelap seperti kami bukan rahasia umum. Segelintir dari kami hidup dan makan di tempat pembuangan sampah ini, membangun lapak-lapak tanpa ijin. Jika digrebek polisi dan diekspos, itu yang tidak kami inginkan dan ini tetaplah jadi rahasia.

Mengenai mayat-mayat itu terus berdatangan dan kami selalu membersihkan, kalaupun beruntung ada dompet berisikan seratus ribu. Adapun tanda pengenal tak kami pedulikan, kami bakar dan itu tak ada gunaya bagi kami. Mungkin kami sedikit kejam dan sadis untuk tidak melaporkan atau turut andil mengungkapkan semua. Tapi buat apa, itu tak menguntungkan bagi kami. Disini kami lebih baik diam dan mencari sesuap nasi, lagipula bukan kami pelakunya. Semua itu hal yang biasa saja bagi kami.

Sore itu tampak beda, larik-larik awan terasa beku tak bergerak. Hitam pekat tapi bukan mau hujan. Aku sendiri merasa heran pertanda apa ini, tak biasa. Sewaktu malam merambat di peraduan, hening begitu sunyi. Tak satupun suara berkotek atau bercicitan, dingin begitu menyergap tubuh ini dan hampir meringkuk di pojok kamar. Kantil-istriku melihat itu merasa keheranan.

“Bang, mau aku bikinkan teh hangat?”

Aku tak menjawab dan mengibaskan dagu kekanan-kiri untuk tanda tak perlu. Aku hanya merasa tak biasa dan mencoba keluar dari gubuk kecil kami, aku melihat anakku masih tertidur pulas memeluk guling.

“Aku keluar sebentar cari angin”

Aku pamit kepada istriku dan melangkah ke perkampungan kumuh ini, merekat jaket dan menyalakan putung rokok sisa hasil memulung tadi. Barang sisa memang terasa nikmat, sudah gratis dan tinggal ambil.

Kutengok jam tanganku menunjukan jam 1 malam, semua penghuni tempat pembuangan sampah ini telap terlelap. Saat langkah ini terus menyusuri jalan becek di perkampungan sampah ini. Gelap gulita, disini listrik adalah hal yang langka dan cahaya minim. Gubukku saja cuman ada lampu 5 watt tanpa alat elektronik lainya macam televisi, itupun listrik hasil nyolong dari perumahan dekat tempat pembuangan sampah ini. Hasil manipulasi oknum PLN dan dibagi ke petak yang membutuhkan, retribusi iuran ditarik 5 ribu rupiah tiap bulan. Itu cukup bagi kami agar tak melihat dalam kegelapan.

Sekilas aku tengok ada kilatan dibalik gundukan sampah raksasa yang akhirnya bukit, kadang kami berkelakar dengan menyebut “Bukit Cilabak”. Darimana cahaya-cahaya kecil itu berasal, rasa penasaran ini terus bergulir ingin tahu. Dingin yang menusuk tak kuhiraukan, kurekatkan dekapan tanganku ke jaket.

Mengendap-ngendap bagai tikus rumahan yang mengendus sisa makanan malam yang tak habis disantap majikannya. Kudapati cahaya-cahaya kecil itu dari sorot lampu mobil sejenis Jeep dengan ban pacul ukuran 17 inchi. Didepan terdapat sosok-sosok manusia, terlihat 3 orang disana. Salah satunya tertunduk duduk dengan mata tertutup dan tangan terikat tali dibelakang. Dua orang lainnya berdiri dibelakangnya, tak jelas wajah hanya yang kukenali jaket julit hitam dan sepatu bootnya saja.

Terlihat lama kedua pria yang berdiri itu bercakap-cakap kecil, seperti bergumam tak jelas. Salah satu pria berjaket kulit itu merogoh sesuatu dari dalam jaketnya. Dan tiba-tiba…

“Door…Door!!!”

Sesuatu menyalak duakali dari tangan kanannya yang baru saja keluar dari balik jaketnya itu. Sebuah pucuk pistol revolver Colt kaliber 38 memuntahkan pelurunya menembus kepala dan dada orang yang terikat itu. Orang itu jatuh berimbas darah dengan kepala menganga dan aku bergidik ngeri melihat itu semua itu. Tak terasa ada air yang mengucur di sela celana kainku, begitu deras basah seketika. Aku terkencing-kencing saat disuguhi pemadangan mengerikan itu. Lebih baik lupa daripada mengingatnya, aku kembali ke gubukku memeluk erat istri dan anakku

Pagi itu tampak ramai, kerumunan itu menyemut dan mengerubungi sesuatu, seonggok mayat dirubung lalat dengan darah masih segar tersegar amis. Semua orang berbisik-bisik menebak siap mayat ini dan tak berani mendekat sama sekali.

“Min, beresin seperti biasanya. Kamu tahu apa yang kerjakan” celetuk Karsono, sesepuh kampung kumuh ini.

Aku tak menjawab hanya mengangguk tanda setuju dan mendekati mayat tersebut, memegang kaki-kakinya untuk diseret ke lubang buaya.

“Kang, aku bantu yah”

Suara itu berasal dari belakang punggungku, Tarjo seorang pemuda tanggung usia hampir menginjak 17 tahun. Putus sekolah dan sering berkeliaran di Bantar Gebang, penggangguran dan hanya tinggal bareng neneknya sebatang kara. Tarjo orangnya ringan tangan dan mau melakukan apapun demi uang agar bisa makan hari ini.

“Sudahlah Jo, ini bukan pekerjaan anak kecil macam kau”

“Tapi Kang, aku cuma ingin bantu saja”

Wajah itu begitu memelas dan tak tega aku menolak maka kubiarkan Tarjo membantuku. Tapi jika ada Tarjo pekerjaanku lebih mudah, mengangkat mayat ini ringan. Sampai di lubang buaya, aku pandangi raut mayat itu dan merasa apa salah orang ini sampai mati tragis seperti ini aku perintahkan Tarjo untuk melucuti semua pakaiannya. Mayat itu masih berhak dapat proses pemakaman yang layak seperti lainya. Tarjo pun dengan sigap bekerja melepaskan kaos dan celana jeans yang masih menempel dan wajah dia sumringah.

“Kang, aku nemu dompet”

Teriakan Tarjo kegirangan seperti keruntungan rejeki nomplok, dia bongkar-bongkar dompet layak mencari harta karun.

“Kang, ini ada 2 lembar 50 ribu dalam dompet”

Aku hanya tersenyum melihat itu semua, itu sesuatu yang tak mungkin didapat tiap hari. Aku mencoba melihat dompet itu, lusuh terbuat dari kulit. Selain 2 lembar uang itu, ada tanda pengenal dan beberapa kuantasi yang tak penting. Aku tak mau tah namanya dan mengingat apa lagi. Semua dompet, baju dan celana jeans itu kami bakar tanpa sisa untuk menghilangkan jejak.

Tarjo sempat merengek untuk mengambil kaos dan celana jeans, katanya lumayan bisa dipakai karena masih laik pakai juga.

“Jangan Jo, pamali memakai bekas orang mati”

Lagipula jika menyimpan sisa-sisa pungutan orang mati ini karena membahayakan warga sini. Terlacak dan tak aman ada disini.

Kobaran api itu terus membumbung tinggi menjilat-jilat akhirnya redup menjadi abu dan yang tersisa hanya tubuh pria yang semua yang dipenuhi tato diam sunyi menjadi mayat

Dan sekarang tahun 1983 bulan April tepatnya.

***

Pembuangan mayat itu terus berlanjut di tempat kami, bisa satu bulan sekali atau 2 mingu sekali atau rekor dalam seminggu bisa 4 kali. Mulai dari pemuda tanggung, paruh baya, wanita muda atau remaja. Ada yang dimutilasi atau sudah babak belur tak bernyawa dan lagi-lagi kami yang harus membereskannya. Tak lama wilayah ini akan jadi kampung mayat.

Tapi itu semua itu tak membuatku gusar atau mengganggu kehidupanku, aku nyaman disini setidaknya mempunyai pekerjaan daripada tidak sama sekali. Seiring waktu ada yang tergelincir, malam itu tenang seperti biasanya tapi aku tak bisa tidur sama sekali. Kucoba keluar dari gubukku dan duduk di depan sambil menyulutkan putung rokok yang sempat kukorek dari tempat sampah.

Tak sempat satu sedotan habis, tiba-tiba dua bayangan hitam menyergapku dan menindihku. Aku gelagapan dan tak sempat menghindar, tersungkur mencium tanah becek dekat kubangan sampah itu.

Dua lengan kekar itu menekuk tangan dan tidak bisa bergerak sama sekali.

“Diam dan jangan bergerak atau kau mau mati hari ini !”

Seseorang dari mereka menghardik dengan suara serak berat, aku begitu ketakutan karena dibawah tengkuk leherku ditodongkan pistol relvolver.

“Dengar dan jangan membantah !”

Suara itu tidak berat hanya cempreng, aku hanya mendengar sayup-sayup karena tak fokus, hanya bayangan anak istri yang dalam ingatanku.

“Kami tahu siapa kau dan apa yang lakukan di mayat-mayat itu”

Aku hanya terdiam dan mengira-gira siapa mereka,baru teringat apakah dua orang yang dulu yang pergoki. Tapi semua gambaran buram karena tak bisa mengenali lekuk wajah mereka.

“Jika membocorkan semua yang pernah kau lihat, kami sembelih anak istrimu”

Wajahku seketika berubah pucat pasi setelah mendengar itu semua.

“Aaaarrhhhh..!!”

Teriakanku yang terakhir sampai tenggorokanku terakhir, sayatan pisau belati itu menyobek daging pipi kiriku. Mereka meninggalkan tanda sebagai tanda peringatan hingga aku tak sadarkan diri bersimbah darah tergeletak di depan gubukku dan tidak ada siapapun yang tahu hingga aku siuman di sebuah rumah sakit.

Kata istriku, aku tak sadarkan 3 hari 2 malam dan terus mengingau tak karuan. Panas begitu tinggi entah darimana asalnya muncul. Aku masih berharap ini hanya mimpi ternyata tidak. Kuraba pipi kiri, bekas sayatan itu mengering dan meninggalkan bekas luka codet.

Aku beruntung masih hidup dan mengapa, entah aku tak mau tak jawabannya.

***

Kehidupanku sekarang mulai membaik, pindah ke tempat lain tapi tak jauh dari tempat pembuangan sampah itu biarpun kontrakan tapi itu layak tinggal. Pekerjaanku tak jauh dari memulung sampah juga namun ini lebih baik, aku tak perlu ikut berkotor-kotor ria mengais sampah di gundukan bukit Cilabak itu.

Aku tinggal duduk dan menerima sampah macam botol plastik, koran atau lempengan besi. Aku tinggal mensortir mana yang laik dan disetor ke pabrik daur ulang, uang gampang diraih. Semua mudah begitu gampang, anak bisa sekolah dan istri memb eli perhiasan. Seisi rumah ada semua mulai televisi tabung sampai mesin cuci, komplit ibarat OKB (orang kaya baru).

Kerjaku juga tinggal ongkang-ongkang pencet tombol telepon genggam yang dibilang barang mahal saat itu. Telpon sana dan kirim pesan dengan hitungan detik, uang pun mengalir di rekeningku.

Ericsson GH388-ku selalu on 24 jam tak pernah sekalipun off, karena ada sebuah telepon penting yang tak mungkin aku lewatkan bahkan jangan sampai tak terjawab olehku. Seperti tengah malam itu, dering telepon genggamku menyalak keras dan aku terperanjat. Sekejab aku raih Ericsson itu dan kudekatkan di telinga.

“Kondisikan. Semanggi. 2 orang”

Cuma tiga kata itu yang membuatku sigap dan keluar rumah. Didepan Tarjo telah sudah menunggu dengan Daihatsu Zebra-nya.

“Siap Kang?”

Aku hanya menggangguk, kurekatkan jaketku karena pagi ini dingin sekali menusuk kulit. Tapi hawa ini begitu beda, aku lupa sekarang tanggal berapa tapi yang kuingat ini bulan Mei tahun 1998.

 

Surabaya, Agustus 2018

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

sixteen − 5 =