puisi PUISI 

KEJANGGALAN SETIAP KALI HUJAN DATANG

Puisi-puisi Joko Rabsodi ______________________________________________________________________

CINTA MELEKAT PADA UBUN DADA YANG MEMBELAH

Jangan mengira aku sanggup lupa
tindihan sujudmu di pundakku telah menyelaraskan
rindu yang tercacah dan harus kubayar mahal retak
dari sedap ludah yang keluar
cenderung berlabuh pada sebidang cinta
melekat pada ubun-ubun dadamu yang membelah
damai kutumpangi sukma tanpa perlu musyawarah
dugaan tubuhmu adalah jejal doa yang kusempuh
dari bedug rowatib yang sengaja dipancang tiap sudut
di sana kusangkalkan keluh dari aroma nadimu
harum kening makin mengundang selera jantungku
berdesing di luar batas ampun

Senyum yang kerap kau pajang
setiap mengawali musim memberi kelahiran nasib
yang tak bisa disandungkan. seperti katamu asmaraloka
tak hanya larut dalam alunan dansa, sekerat rasa yang dimuntahkan
bisa jadi limbah cinta paling hara
menjahit kisah yang kita bangun, tiba-tiba aku teringat adam-hawa
yang dahulu sempat tinggal di kebun ini, angslup dalam gendang
hingga mawar-melati terpenggal kemolekan duri
menoleh ke samping, beragam persoalan mendorong kita
merawat airmata, suara parau ibunda memanggil kita tak punya
pelabuhan dimana akhirnya kapal-kapal berlayar dan kembali ke tanah lapang
begitu sukar segala yang dirasakan tubuh harus menanam resah
sementara keyakinan bermukim dibenakmu sudah tak terwejawantahkan
menengok ke belakang, sepanjang jalan tetesan ngilu meremasi
pudar pelangi, kita saling merangkul dalam keraguan yang sama
–apakah ini musim yang menelantarkan adam hawa
hingga anaknya saling membunuh demi satu keadilan;

Tivani, begitu banyak prosa yang kita tinggalkan
tanpa terasa tangan kita menjalar dari waktu ke waktu
tiba-tiba aku sadar mawar-melati yang terkapar di kebun itu
bukan lagi atas namamu, tapi derita adam-hawa yang sengaja di putar tuhan
untuk edisi tahun ini.
–ijinkan kunikmati tragedi suci sembari mendesain istanamu dari daun khuldi yang gugur dari azali!

Madura, 7 oktober 2021

 

GEMETAR DALAM TANAH KEMATIAN

Lama tak jumpa meski dalam getar kata yang singkat
selembar wajah yang pernah kuhirup parfumnya
menghalau jejak ke tengah muasal
kamis kemarin selepas isya menjelang
kami bertemu di basecamp pengungsian lalu merenung
setelah sisa pahit ditawar seorang bibi
yang secara lantang mengadzani anaknya yang
terkikis bandang, ‘anakku tak berdosa tuan
air gadungan itu merampas tuhan dari bibirnya!’
sepotong dzikir menghangati cuaca diantara bau kumal
mata kami mendelik sebab ramallah dan gaza terlukis indah
di bahuya

Terbawa 4 tahun silam gemetar di mulut ranjau
serius mengurut wirid seolah memasuki tanah kematian
potongan kayu dan bekas botol serasa trinitrotoluene yang siap meledak
sudah kau tempuh beragam rasa kecemasan keringatmu
menuturkan kematian menyeruak di kepala
‘ tuan, aku hanya relawan bukan takdir kematian tanah ini
beri aku jalan tak peduli kaki mana yang menunjukkan pulang
aku hanya ingin mati pelan dalam tubuh sendiri’

Suaramu makin glundukan apalagi jerit bibi memecah
syair yang dituang al-busiri
bayang-bayang gaza menyeruk di kedalaman handphone
laron serupa drone yang hendak menyulut bengis pembantaian
seketika matamu menggigil kala ramallah dihujat rudal tanpa alasan
‘Oo, tuan, duka ini terlalu mencekam
di mana mencari teduh nyawa yang tinggal sepenggal
bagi kami hanya tidur tempat paling aman’

Bibirmu terus bergetar seiring ramallah dan gaza bergoncang
tubuh terbungkus hangus pembakaran, tiba-tiba
kesadaranmu terkapar;
‘ Oo, mengapa di kotamu kematian begitu payah
manusia sebatas sampah, tangis-tangis terasing
dan bising tempat persujudan
di kotaku kematian begitu ramah
dan airmata bertengger di sekujur rumah’

Madura, 10 oktober 2021

 

KEJANGGALAN SETIAP KALI HUJAN DATANG

Apa yang membedakan tutur rindu
dari setiap lelaki yang tiba dan menjemur dirinya
di batang kasurmu; mereka meramu kasih dari debu matahari yang kasat
tak segan melepas ambruk hidup dari sengat kejanggalan ibu kota
yang katanya menjunjung tinggi peradaban manusia
aku diantara mereka yang masih menyimpan sisa tidurmu
tak bisa memalingkan nasib sejenak pun
birahi yang kita suling ke dalam bekas minuman sampanye
mengacungkan malam senyap di perabotan mata
sesaat hujan mengawinkan langkah, sempurnalah seluruh keadaan
bersama bait-bait yang kita kirab

Mengingat bibir yang sempat kau tiris
ke segenap ruang peristirahatan front one hotel
kucari siapa tahu terekam purnama yang tak bisa membuatku tidur
termangu dalam lidahmu yang sesak sajak-sajak pendek
mudah di ingat dan sulit kulupa walau musim saling menyusul
tak ada bekas gincu memang, ruang perhelatan yang dikunci beberapa kali
tak kuasa menahan kecapan kita di malam samar
keanehan apa yang kau kisik, di kamar itu kau rabunkan jarum jam
rokok kretek tersuraukan bahkan tubuhmu terkukur tanpa bilangan

Setiap kali hujan datang, kuterima salinan rindu yang hijau
sampai kapan pun akan demikian, hujan ini mata rantai yang menyemak
tubuhmu pada alunan shubuh yang kutinggal
berulangkali lidahmu mencerna kumparan ngilu yang kusemat
lambat laun kau ajari aku bagaimana memantrai perempuan
; ‘jangan menyisih kesumat kental di tubuh perempuan
sebab lirihnya doa yang tak tertakar
malaikat bisa tenggelam dalam nadanya, tuhan pun tersumbat
di lubang pilu’

Saat hujan membubuhi tubuh
kecantikanmu melesap hinggap ke bloods jacket yang kukenakan
kedua tangan pucat mereka bayang tubuhmu yang mulai terputus
pelan-pelan desir awan menghunus
dan aku mampus di sebelah Sisyphus

Madura, 21 oktober 2021

 

 

JOKO RABSODI, lahir di Pamekasan, 11 Juni 1981. Santri yang mengabdi di SMA Negeri 4 Pamekasan, Madura. Karyanya terbit di Horison, Bali Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat dan lain-lain. Antologi terbarunya bersama sosiawan leak, Sabda Asmara Luka dan Rindu, 2021.

Related posts

Leave a Comment

five + 18 =