PUISI 

Buku Terakhir Filsafat Stoa

Puisi-puisi Vito Prasetyo __________________________________________________________________

LAMPU-LAMPU KAFE

wajahnya, serupa raut kafe.
dari secangkir kopi, memantik aroma.

duduk dan memancar gelisah.
sandarkan penat di pelukan kursi kayu.

di antara kelap-kelip lampu.
redup bulan mengintip.
bagai bunga perdu, sorot mata itu.
merajam angin.

memagut bibir cangkir
ranum kopi terlindas manisnya gula
puisiku tertatih, terseret kristal ampas
masih ada kisah lain
terselubung awan
perempuan-perempuan bukanlah penjaja cinta
hilir-mudik tak mengisyaratkan rindu
adalah aroma senja menyudahi cemas pikiran

tergelincir suasana sore, membangunkan tuan-tuan
lisan sajakku mmenyebut kaum elite
mereka, tak pernah tahu
kemana puisi dibenamkan
bagi mereka
tempurung kepala itu
tempat
mencabik angka

adalah aroma kopi
kian menggerogoti tubuh
mendengus dingin di kerongkongan penyair
yang terlumat dari selintas uap
menjelma serupa aksara lampu
kadang redup tanpa warna

angin terus beranjak, memadatkan malam
bangku-bangku ini habiskan sisa penat senja
terbaring di serumpun puisi

satu tersisa, di gelas arak
teringat kawanku, Li Bai
sajakmu telah menghabiskan dunia
di sebatang botol arak
hanyut di arus, tak pernah tersudahi
syairmu seakan
menangkap pantulan bulan di air

di sudut kafe
kulihat wajahmu, perempuanku
lalu kurangkai morfem
di sepucuk daun pisang
genggam rapat, tertindih
hingga mengalir semiotika
dari jatuhnya cahaya lampu
pikiranku melayang abstrak

riuh daun pun menggelepar
menggeliat di pucuk angin
sorot mataku tak pernah
sebening lampu-lampu kafe

Malang, 2021

 

Buku Terakhir

sisa musim dingin masih
melekat di tubuhku
matahari, menjaga jarak
enggan menghangatkanku

kumemaksa langkah, hilir mudik
mengiris bara api, tinggalkan
selimut beku yang berkerak
seperti dingin salju membekap raga

di tungku perapian, sepasang
serigala menatap
tajam menikam tulang
seakan paduan orchestra
nyanyikan syair kematian

adalah malam-malam terlewati
menghabiskan perjamuan akhir
di ringkih waktu, sepuluh detik
begitu cepat
terbaca: nazak

lidah menelan hambar
ketika dahaga bersenggama dingin
terasa makin menggigil, napasku
tersendat
bagai muntahan lahar
yang membinasakan perjalanan waktu

di atas sana, langit terpaku
burung gagak memekak gaduh
hitamkan langit diam

dua larik malam
memenggal puisi
tubuhku terpotong dalam bait-bait kaku
serupa lembaran buku
di lembar terakhir
bukan untuk menyimpulkan isi buku

Malang, 2021

 

Kematian Matahari

matahari berkibar jengah
sayapnya pun mengibas duka
kemanakah harus beranjak
langit telah mengingkari kehadirannya
seperti sumpah serapah yang ditiupkan
terkekang sebongkah mantra, seorang lelaki penunggu kematian

jika timur penghidup jalan
akankah kematian menunggu di barat?
matahari pun tak mampu menjawabnya
selain perempuan pesolek membiaskan kebenaran cahaya wajahnya

adalah lebih baik memasung jejak waktu
hingga matahari bisa tertidur pulas
bermimpi tentang kerinduannya
mencumbu bibir puisi
yang membentang pada senyum rembulan

entah kegilaan apalagi
kita senandungkan dalam episode langit dan bumi
sebelum ajal datang menjemput
keperkasaan matahari berdiri di atas siang
dan malam akan menziarahi pusaranya

Malang – 2020

 

Filsafat Stoa

di tubuh filsafat stoa
malam begitu letih
mengalir aroma dari keringat pengucap mantra
jatuh di peradaban senja
terempas dan berserakan
di antara seteru geligi angin
serupa luka di pelepah ingatan
lonceng pun berbunyi gelisah
tinggalkan jubah para rahib
berkelana mencari alinea baru
di buku kusam
mungkin buah peninggalan maklumat tesalonika
atau cunctos populous, yang hanya
sepenggal catatan tak terbaca
menginap di bukit karang
tempat pasukan romawi menggelar mimpi
dari sihir para drakula
dan membiarkan lonceng terus berbunyi
menghitung waktu
di seberang musim,
perempuan renta berjalan
menghitung panjangnya trotoar jalan
seperti puisi yang jadi filsafat kuno

Malang, 2021

 

 

Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kab. Malang – Pernah kuliah di IKIP Makassar

Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat budaya, sekarang bergiat di komunitas PKBH Singhasari sub Budaya
Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan dan Bahasa telah dimuat media cetak lokal, nasional, dan Malaysia.
Telah banyak menulis buku puisi. Beberapa karyanya mendapat penghargaan.

Related posts

Leave a Comment

thirteen − nine =