Amnesia Ringan

Cerpen: Fatah Anshori ___________________________________________________________________

Aran membuka-buka lagi buku stensilan yang ia beli di toko buku loakan, di sudut stasiun kota. Barangkali itulah satu-satunya toko buku di kota Aran yang masih bertahan seiring seringnya buka tutup toko buku di kota itu. Memang menurut Badan Statistik Nasional, kota Aran menduduki peringkat ketiga kota literasi di negaranya yang carut-marut itu. Tapi sepanjang mata memandang dan menyisir sekitar di manapun tak Aran temukan orang sedang sibuk membaca buku. Yang ada hanya pedagang asongan sedang membasuh peluhnya yang bertumbuhan di dahi, tengah kepanasan di perempatan lampu merah. Atau tukang parkir yang sedang menata motor-motor para pengunjung plaza di seberang jalan. Juga muda-mudi yang sedang asyik dengan smartphone-nya masing-masing sambil duduk-duduk dan kadang berdiri di trotoar jalan, barangkali sedang menunggu datangnya bus antar kota. Juga terdengar suara pluit seorang kakek yang tampak lelah, sesekali menyeberangkan orang yang hendak ke stasiun atau sebaliknya.

Seluas mata memandang tak Aran temukan orang membaca buku yang ada hanya para tukang becak di sebelah kirinya, beberapa meter dari tempat ia duduk sedang menangkupkan koran ke wajahnya sambil tiduran di kursi penumpang becaknya. Barangkali tukang becak itu sedang kelelahan memikirkan kebutuhan keluarganya yang tidak tercukupi sehingga membaca berita di koran harian hanya akan menambah beban di kepalanya yang sudah bertumpuk-tumpuk. Atau mungkin juga ia sudah bosan dengan kehidupan, juga kota ini yang tiap hari hanya menyuguhkan masalah dan masalah. Aran berpikir mungkin menyenangkan bisa tidur di tengah keriuhan jalanan kota yang kian hari kian macet ini.

Aran berpikir mungkin hanya ia satu-satunya orang yang membaca buku di kotanya, itupun hanya buku stensilan yang terpaksa ia beli karena dua hal: satu, karena membutuhkan, dua, karena kasihan. Iya, Aran memang sering kasihan. Waktu membeli buku stensilan itu ia merasa kasihan dengan Pak Tua yang masih menjagakan hidup dengan jualan buku yang kebanyakan loakan dan bajakan, majalah bekas, juga koran-koran bekas yang ia jual dengan hitungan kilo. Aran tidak sengaja melintas di depan toko buku itu yang berada di sudut stasiun, tepat berada di timur pembelian karcis, diapit oleh warung makan mie ayam dan sebuah kios oleh-oleh kota Aran yang selalu tampak sepi. Tepat di depan toko buku kecil kusam dan kurapan itu berdiri pohon trembesi yang hampir tumbang. Beberapa akarnya mencuat dari tanah merompalkan paving-paving trotoar. Pohon itu hanya setinggi atap toko buku di pinggirnya karena miring ke jalanan, petugas kota memangkasnya begitu saja, hanya karena dalih menghalang-halangi jalan.

Waktu itu Aran sedang melintas dan mendapati Pak Tua penjual buku sedang tertidur pulas, di kursi panjang. Tokonya benar-benar sepi seperti makam pahlawan di hari-hari biasa. Aran berpikir barangkali Pak Tua itu belum makan hari ini, mungkin ia juga sebatang kara, atau orang tua yang dibuang anaknya hanya karena tidak menguntungkan lagi dan beraroma balsem. Kota Aran memang sekejam itu jangan kaget. Jadi Aran memutuskan untuk berhenti sebentar dan melihat-lihat buku yang bertumpukan di toko Pak Tua, buku-buku yang berdebu dan berbau menyengat begitu kesan Aran terhadap buku-buku Pak Tua.

Ia lantas mengingat-ingat sedang apa ia hari ini. Tentu saja ia masih ingat kenapa ia pergi ke terminal kota, ia masih muda dan tidak sedang menderita Amnesia. Aran pemuda yang sehat fisik dan psikis. Tiga hari yang lalu ia berkenalan dengan Lampu Jalan di Instagram. Lampu Jalan mengaku berjenis kelamin perempuan, meski dalam feed-nya tak satupun yang menunjukkan foto atau potret dirinya sebagai seorang perempuan. Hampir seluruh feed Lampu Jalan hanya seputar foto-foto sudut kota yang tampak muram, kelam, dan sendu. Lampu Jalan selalu mendapatkan spot-spot foto yang jarang diperhatikan orang di kota Aran. Seperti genangan di jalan raya kota yang kian hari kian banyak, juga rumah kumuh yang berdiri di bibir sungai, sampah-sampah yang memggunung di lahan kosong, hal-hal semacam itulah yang barangkali menarik minat Lampu Jalan sebagai seorang fotografer otodidak.

Aran barangkali sedang gelisah, atau kebingungan. Sejauh ini ia belum pernah berkencan. Hari-hari hanya ia habiskan dengan kerja di suatu kantor biro jasa dan membaca buku di kamar. Di kamarnya memang bertumpukan berbagai jenis buku, dan seluruh buku di kamarnya tidak semuanya telah terbaca.

Ia diam-diam membaginya menjadi dua yang sudah terbaca dan belum terbaca. Kadang-kadang ia juga merasa cemas sendiri berapa banyak waktu yang tersisa dalam dirinya untuk hidup. Kadang ia pesimis, ragu bisa membaca seluruh buku yang telah ia beli. Toh kalaupun tidak bisa, juga tidak apa-apa. Paling-paling buku-buku yang telah ia beli akan diloakkan oleh ibunya untuk ditukar dengan garam dapur, bawang merah, dan bawang putih. Dan ia telah berada di liang lahat tidur dalam kegelapan yang pekat. Ia kembali teringat kata-kata Voltaire yang disitir Schopenhauer, ia barangkali juga akan bernasib sama. Ia akan meninggalkan dunia ini dengan keadaan bodoh dan buruk sebagaimana ketika ia tiba di dunia ini. Kebodohan memang pekat gelap dan luas begitu pikir Aran.

Aran kembali teleng kanan kiri, dan tentu saja dengan wajah cemas.  Ia bisa mendengar dan masih sadar kereta baru saja melintas. Beberapa meter di belakangnya di balik toko dan bangunan-bangunan stasiun, rel kereta terbentang menghubungkan kotanya dengan beberapa kota lainnya. Ia pernah membaca puisi seorang penyair yang kerap menulis puisi tentang apa-apa yang berada di stasiun. Di antara kecemasan yang sedang berlangsung dalam dirinya, ia membayangkan beberapa aktivitas di dalam stasiun. Di peron stasiun pedagang-pedagang asongan sedang menjajakan gorengan, manisan, mainan anak kecil. Wajah mereka berminyak, dan menggambarkan kepenatan hidup, segala yang carut marut seolah selalu akrab dengan wajah orang-orang dewasa, yang belum menikah ataupun yang sudah menikah. Wajah mereka sama-sama tidak enak dipandang, kelak apakah aku juga akan serupa wajah-wajah itu? Pikir Aran.

Belum ada tanda-tanda Lampu Jalan tiba. Seorang lelaki berkulit hitam kekar dengan kemeja lusuh, menenteng sebuah wadah tanggung di tangan kirinya. Dalam wadang tanggung berbentuk keranjang itu berisi beberapa jajanan: telur puyuh, manisan, tahu, dan kacang. Lelaki itu menawarkan jajanannya pada Aran. Tapi Aran merasa belum lapar, sebelum berangkat ke stasiun ia sempat menyeduh mie instan. Ia memang biasa mengganjal perut sebelum keluar rumah. Tapi karena si lelaki lebih terlihat memaksa ketimbang menawarkan akhirnya Aran mengambil sebungkus telur puyuh dan manisan. Lantas lelaki itu pergi begitu saja kembali menawarkan dagangannya ke beberapa orang lainnya. Aran memasukkan sebungkus telur puyuh dan manisan itu ke dalam totebag-nya, yang di dalamnya juga ada sebuah novel dan sebuah pulpen. Ia juga baru ingat novel yang ia bawa sedikit banyak juga berbicara tentang stasiun. Salah satu tokohnya entah kenapa sangat menyukai stasiun.

Ia tidak mengerti beberapa hal. Juga kenapa tokoh dalam novel itu mencintai stasiun, seperti beberapa orang mencintai sesuatu tanpa sebab apapun. Dari mana perasaan cinta, sayang, atau suka itu datang. Apa itu gara-gara nasib atau takdir. Ia kembali merenung memikirkan apa-apa yang kadang-kadang datang secara kebetulan seperti Lampu Jalan yang mendadak datang menyentuh kehidupannya melalui akun Instagram. Yang jika dikaitkan secara terus-menerus membuatnya hari ini duduk-duduk di kursi di depan stasiun. Apa memang kebetulan itu tidak ada, pikir Aran. Segala yang orang-orang anggap kebetulan adalah hasil dari rangkaian peristiwa yang ia jalani. Itu barangkali serupa jalan-jalan kecil di kota ini selalu mengantarkan kemanapun kakimu melangkah, kakimulah yang mengantarkanmu pada kejadian-kejadian yang kau anggap kebetulan itu. Pada tempat dan waktu yang tepat kau berada di dalamnya. Ini seperti sebuah rumus matematika di mana variabel dan konstanta bekerja pada waktu dan ruang yang tepat. Dan hasilnya akan bisa dibaca.

Ia semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri setiap kemungkinan saling tindih di dalam kepala Aran. Katakanlah kereta api yang melintas pukul tiga sore adalah konstanta dan kau atau ia sendiri yang berdiri di rel kereta pukul tiga lebih lima sore adalah variabel yang dapat kau ubah-ubah dengan kemungkinan lain akan menghasilkan kematianmu pada menit-menit selanjutnya. Apakah seperti itu? Mungkin saja tidak. Aran meragukan lagi hipotesisnya sendiri yang diam-diam ia susun dari rumus paten ilmu hitung. Hidup ini tak bisa dihitung, tidak sesederhana rumus-rumus di buku Matematika pikirnya. Ia teringat direct message-nya Lampu Jalan beberapa hari yang lalu sebelum Aran mengajaknya untuk bertemu pada waktu dan tempat yang telah ia tentukan.

“Hidup ini tak lebih hanya judi!” kirim Lampu Jalan.

“Maksudnya?” Aran harus mengakui ketololannya sendiri di hadapan perempuan. Balas Aran.

“Kau mungkin punya seribu satu kemungkinan atau bahkan lebih, ketika kau mengambil satu keputusan dalam hidupmu … ”

Lampu Jalan sedang mengetik. Sepertinya agak panjang atau barangkali Lampu Jalan sedang mengetik sambil menghapus kata-kata yang ia rasa kurang tepat. Semua perempuan selalu ingin tampak sempurna dalam perkara apapun, pikir Aran.

“… Ah, atau jika disederhanakan lagi seperti bilangan pecahan seribu satu atau lebih kemungkinan itu hanya jadi dua saja. Mungkin dan tidak mungkin. Aku tidak perlu menjelaskan konkretnya bukan?”

Aran sedang mengetik sambil memikirkan apa maksud perempuan ini. Benar kata bocah-bocah tolol di sekolahnya, perempuan memang sulit dimengerti. Mereka rumit seperti kebanyakan mata pelajaran dan aturan-aturan di sekolahnya.

“Iya sepertinya begitu, nanti kutimbang-timbang lagi. Sampai bertemu tiga kali dua empat ditambah tujuh jam lagi ya di stasiun kota!”

Sebenar-benarmya Aran menjadi tidak mengerti apa yang Lampu Jalan pikirkan. Beberapa hari ini ucapan Lampu Jalan membuat tidurnya agak terganggu. Kata-kata Lampu Jalan barangkali seperti mata ikan yang mulai tumbuh di telapak kakinya. Meski kecil itu benar-benar mengganggu dan mengusik. Ucapan-ucapan Lampu Jalan memang benar-benar bekerja seperti Mata Ikan.

Aran kembali cemas. Telapak tangannya mulai berkeringat, degup jantungnya entah kenapa bekerja kian cepat. Ia lantas membuka-buka lagi buku stensilan berjudul: Panduan Berkencan dengan Baik dan Benar Agar Tidak Gemetar. Barangkali itu judulnya beberapa hurufnya sudah mulai pudar, ada yang hanya berupa garis-garis tidak terhubung. Dan nama pengarangnya barangkali: EDDY BUDHIMAN atau EDOY DUBHIMAN. Beberapa hurufnya memang tampak pudar dan samar dan yang jelas keduanya sama-sama tidak terkenal. Aran lalu membaca buku itu. Sebuah buku kumpulan cerpen, simpul Aran yang sebelumnya mengira itu adalah buku panduan teknis berkencan yang sopan dan budiman, barangkali seperti nama penulisnya. Aran sedikit kecewa, seolah-olah ia sedang dibodohi si Eddy atau Edoy itu. Ada secuil keinginan di dadanya untuk menonjok perut si penulis. Tapi Aran urung. Barangkali nasib si Eddy atau Edoy ini mungkin berkali-kali lebih naas darinya. Dan nasib telah menonjoknya berkali-kali sebalum ia sempat menonjoknya.

Sambil menunggu Lampu Jalan, Aran membaca buku Panduan Berkencan dengan Baik dan Benar Agar Tidak Gemetar. Buku itu hanya menceritakan seorang lelaki yang tidak pernah berkencan dengan satu perempuan pun di dunia. Dan ketika zaman telah berubah teknologi-teknologi berkembang, si Lelaki berkenalan dengan seorang perempuan yang belum tahu rupa dan perangainya. Si lelaki sempat bercakap-cakap dengan si perempuan di suatu mesin biro jodoh yang serupa mesin ding dong. Di masa depan dalam cerita Eddy atau Edoy itu, mesin biro jodoh berada di banyak tempat di kota, serupa telepon umum. Orang-orang yang kesepian biasa menghabiskan waktunya di depan mesin ding dong itu untuk bercakap-cakap tentang apapun dengan orang-orang kesepian yang berada di belahan semesta lain. Dan kebetulan si Lelaki telah bercakap-cakap dengan perempuan yang berada tidak jauh dari districk di mana ia tinggal. Di akhir percakapan si lelaki mengajaknya bertemu di satu-satunya dermaga di districk mereka.

Saat hari itu tiba, si Lelaki dalam cerita Eddy atau Edoy itu pergi ke dermaga. Di sana ia melihat manusia seperti dirinya dan non-manusia lalu lalang. Sesekali manusia dan non-manusia sedang bercakap-cakap dengan bahasa alam semesta. Pada abad ke 30 bahasa alam semesta telah ditemukan, namun sayangnya semuanya telah terlambat. Bahasa itu baru ditemukan oleh seorang Filsuf Pertapa—yang tidak mau disebutkan namanya—setelah Bumi mengalami bencana besar-besaran akibat ekploitasi alam oleh beberapa taipan atau kapitalis-kapitalis bajingan. Bumi mengalami bencana mengerikan yang menurut warga dunia disebut Tahun-tahun Destruksi Global. Segala yang terjadi pada masa itu hampir keseluruhan serupa dengan apa yang dikatakan dalam beberapa kitab agama samawi. Bahwa gunung-gunung berhamburan serupa bulu atau kapas bantal yang dicabik-cabik anak kecil. Sementara manusia serupa jutaan semut setelah sarangnya terinjak kaki. Bumi begetar hebat dan segala isinya muncrat keluar menghujani rumah-rumah gedung dan segala yang terhampar di bumi, ribuan bahkan jutaan orang mati. Dan langit mendadak retak, orang-orang mampu melihat benda langit yang berseliweran ke sana ke mari. Namun pada saat itu orang mati tetap mati, tak ada suara tiupan terompet dari langit yang dijanjikan alkitab agama-agama samawi. Itu artinya kehidupan masih tetap berlangsung.

Dan si Lelaki hidup di semesta pasca Tahun-tahun Destruksi Global. Hari-hari setelahnya kau akan menemukan segala makhluk silih berkunjung ke bumi. Konvensi global menyebut mereka sebagai makhluk non-manusia. Semesta telah menjadi satu-kesatuan. Bumi telah mengalami kerusakan besar-besaran, lapisan-lapisan atmosfer Bumi sudah sowak ketika Periode Tahun-tahun Destruksi Global. Sehingga meteor jatuh, radiasi matahari, sudah menjadi hal biasa di Bumi, angka kematian tentu saja meningkat secara drastis. Dan makhluk-makhluk non-manusia menawarkan kehidupan di planetnya masing-masing dengan fasilitas yang berbeda-beda dan cicilan yang membuat manusia memiliki hutang hingga dua atau tiga turunan, diperkirakan hutang untuk tinggal di planet itu terbayar lunas. Jika mereka adalah manusia dari kelas pekerja yang rata-rata, semacam pekerja kasar.

Si Lelaki itu hanya duduk-duduk di pinggiran dermaga, di suatu kios kecil yang menjual koran Harian Kabar Semesta. Kebetulan hari itu adalah akhir pekan, ia membaca suatu cerita pendek yang ditulis oleh dua penulis non-manusia dan manusia. Suatu cerita pendek yang menceritakan pada suatu masa pada dua tempat. Dari cerpen itu si lelaki menemukan istilah asing yakni: laut. Diceritakan oleh si penulis manusia bahwa laut adalah hamparan air yang sangat luas, berwarna biru, di atasnya perahu dan kapal-kapal mengapung, kau juga bisa mandi atau berengan di laut. Laut juga merupakan kawasan terbesar di Bumi melebih daratan pada masa lampau pada tahun-tahun Sebelum Masehi dan Masehi Pertengahan. Sementara si Lelaki hidup di tahun-tahun Setelah Masehi. Bumi merupakan tempat yang tak layak huni. Program-program transmigrasi antar planet mulai digalakkan. Terjadi pro dan kontra di beberapa districk di Bumi. Segalanya carut-marut, beberapa warga ada yang memilih tinggal dan ada yang setuju, namun mereka yang setuju tidak mengerti tempat seperti apa yang akan mereka tinggali, tidak menutup kemungkinan lebih buruk dari Bumi Setelah Masehi.

Dan urusan percintaan menjadi perihal ke seratus sekian, namun si Lelaki mencoba mempercayai si perempuan tempo hari. Mereka juga sempat bercakap-cakap tentang dunia-dunia alternatif. Dan segala makhluk yang hidup di dalamnya.

“Barangkali jika Lovecraft masih hidup di Bumi Setelah Masehi, cerita-ceritanya mungkin akan basi, apa kau setuju?” Kata si Lelaki.

Terdengar suara tawa dari seberang. “Tapi untuk ukuran manusia yang tinggal dan hidup di abad 19 Masehi kita patut memujinya. Imajinasinya barangkali melebihi manusia-manusia normal pada umumnya.”

“Benar juga, tepi sekarang apa yang dulu menjadi imajinasi dan intimidasi kini setiap hari kita rasakan, dan kita sudah biasa dengan keadaan semacam ini. Kita melihat rupa makhluk-makhluk non-manusia yang carut marut setiap hari. Dan kita menganggapnya biasa saja, hmm.”

Perempuan itu tertawa lagi, tawa yang lembut dan membuat telinga si Lelaki merasa nyaman. “Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa jam, menit, bahkan detik ke depan. Dalam satu tahun kita akan mengalami beberapa hal tidak terduga, menyenangkan atau tidak menyenangkan, kita akan menerimanya tanpa bisa mengelak. Bukankah itu yang dinamakan hidup. Kita cukup menjalaninya saja ‘kan?”

Si Lelaki terdiam sejenak, di depan mesin ding dong. Ia merenung dan melihat timer mesin yang tinggal beberapa detik lagi. Waktu bercakap-cakap dengan lawan jenis akan habis. Jarang sekali ia temukan perempuan yang seperti ini. Si Lelaki diam-diam merasa nyaman dengan si Perempuan, ia menginginkan sebuah pertemuan. Tapi saat ingin menyatakan keinginan entah kenapa mulutnya seolah-olah terkunci, tak bisa mengeluarkan kata-kata. Atau barangkali ia mengalami amnesia ringan, ingatan tentang kata dan bahasa mendadak lenyap dari batok kepalanya.

Dan di dermaga satu-satunya di distrik si Lelaki. Ia merenung setelah membaca cerita pendek yang ditulis manusia dan non-manusia. Ia melihat baris-baris aksara atau tanda-tanda asing yang tidak ia mengerti memenuhi koran yang sedang ia pegang. Ia sadar sedang mengalami amnesia ringan. Si Lelaki itu juga baru ingat bahwa ia tidak pernah memiliki janji untuk bertemu dengan si Perempuan dari seberang. Ia segera beranjak dari kios di dermaga setelah membayar ongkos koran dan segelas minuman. Di dermaga itu si Lelaki merasa menjadi satu-satunya makhluk paling menyedihkan. Ia berjalan dengan menggenggam Koran Harian Semesta di antara lalu lalang manusia dan non-manusia yang riuh di dermaga. Seorang dengan kepala serupa tembikar dengan beberapa tentakel di atas kepalanya dan sebuah belalai yang ujungnya berupa sebuah bola mata, sesekali membuka tutup. Menabraknya sebuah koper terjatuh. Si Lelaki mengambilnya, dan memberikan pada si Kepala Tembikar. Lalu sebuah tangan lunak tak berbentuk mengambilnya dari tangan si Lelaki. Mereka saling meminta maaf dan berterima kasih. Si Kepala Tembikar dengan tubuh lunak serupa mollusca melewatinya. Si Lelaki mendadak ingin tinggal di suatu monolit, atau katakomba. Ia melihat ke langit yang setiap hari berwarna gelap.

Usai selesai membaca cerita Eddy atau Edoy itu Aran menelan ludah, benar-benar kebetulan yang aneh. Ia barangkali juga sedang mengalami amnesia ringan, bukankah ia tak pernah berjanji dengan Lampu Jalan untuk bertemu di stasiun kota. Ia memang sempat mengajak Lampu Jalan untuk bertemu, namun Lampu Jalan tak pernah membalas ajakannya hingga saat ini.[]

—Januari 2022

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Bukunya yang telah terbit Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2021). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online Tatkala.co, Litera.co, Buruan.co, Kibul.in, Beritabaru.co, Majalah Suluk (DKJT), dan pernah terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co (2018). Bergiat di Guneman Sastra, Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.

Related posts

Leave a Comment

5 × 1 =