Dan Bunga-bunga Kamboja pun Berguguran di Pesta

Cerpen: Lintang Alit Wetan __________________________________________________________________

 

“Hai! Jangan kalian bunuh asu piaraanku. Memang ia punya salah apa pada kalian!” Jerit emak geram sambil ia tuntaskan tenggakan bir botol ke-5 siang ini. Bir belum rampung melewati kerongkongan, justru emak disuguhi satu adegan tragis. Gento —asu piaraan emak—diburu seluruh warga kampung. Asu tak berdosa ini akan dijadikan hewan sembelihan, jamuan wajib pesta perkawinan Peang dengan Penjol –anak ke-2 Kamituwo Sontoloyo—adik perempuan semata wayangku. Orang-orang terus berjoget-joget diiringi musik disko koplo. Kepala mereka geleng-geleng. Mulut ndremimil ndleming, tidak jelas suara perkataan mereka, mirip dengungan tawon denggung di hutan yang berjarak sepelemparan batu, dari rumah kamituwo.

Hidup emak sekeluarga bergantung pada warung sembako. Kini, warung sepi pembeli. Emak berjualan bir dan gemar memelihara asu. Tempat lapak dagangan di perempatan lampu merah, dekat alun-alun kota. Supaya ramai dan menarik pembeli, Emak menggambar botol-botol bir dagangannya dengan lukisan warna-warni. Dari bermacam gambar, yang paling menonjol adalah botol bir bergambar kera. Beragam mimik kera terlukis amat indah. Ada gambar kera sedang tertawa, kera menangis, kera menari bersama pasangannya, kera memegang mikrofon menyanyikan sebuah lagu keroncong, kera berdoa, kera makan pisang, dan sebagainya. Gambar yang paling menonjol yaitu gambar kera mengenakan topi di kepalanya, asyik menikmati setandan buah pisang raja, dan menenggak sebotol bir.

Sehari-hari emak berjalan dari rumah menuju ke perempatan kota. Ia berjalan tegak tanpa alas kaki atau nyeker melintasi satu hutan yang ditumbuhi pepohonan angsana keling. Jalan setapak ke pinggiran hutan yang biasa dilaluinya. Cuaca panas. Emak memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon besar. Pohon angsana keling. Puluhan kera bergelayutan di dahan-dahan angsana keling. Sebelum merebahkan diri, emak meletakkan keranjang berisi botol-botol bir di samping tubuhnya. Beberapa jam ia terlelap dan terbangun oleh suara ribut.

“Hah!” Betapa terkejutnya emak. Begitu terbangun disadarinya bahwa botol-botol bir dagangannya hilang, tersisa 1 botol.

Kemudian ia mendengar suara riuh kera-kera di atas pohon angsana keling. Ia pun mendongak. Dan emak makin kaget ketika ia melihat pohon angsana keling itu penuh dengan kera-kera yang berpesta menenggak bir, sambil memain-mainkan botol-botol bir seperti aksi sirkus.

Emak berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan kembali puluhan botol bir dagangannya yang dijadikan mainan oleh kera-kera di atas pohon itu. Emak dibuat pusing oleh ulah kawanan kera. Ia mulai menggaruk-garuk kepalanya dan menjatuhkan 1 botol. “Prang!” Botol bir pecah, bir meresap ke tanah.

Ternyata, tidak disangka-sangka, kera-kera itu menirukan tingkah lakunya. Dan botol-botol bir pun berjatuhan dari atas pohon angsana keling. Emak berlari kesana kemari menghindar dari hujan botol-botol bir.
***

Peang dan Penjol dua sejoli yang sedang dimabuk panah asmara. Penuh trik, warna, rasa, tipu daya, dan sengketa. Dua insan yang mulai mencicipi asam garam dunia. Di mana-mana garam itu berasa asin. Tetapi, bagi 2 insan ini, kisah love mereka serupa kopi adanya. Di mana-mana kopi tetap kopi. Rasanya manis apabila diseduh air, ditambah gula. Bagi dua sejoli ini, kopi aslinya berasa pahit. Nyaris sepahit Purwaceng. Tanaman sejenis rerumputan perdu yang cuma tumbuh di Dieng Plateau, Dataran Tinggi Dieng. Riwayat cinta mereka. Pahit! Tidak sekadar pahit kopi, atau pahit purwaceng, bahkan pahit melebihi pahit empedu.

Peang sedang di sumur malam itu. Ia mencuci pakaian, celana dalam dan beha istrinya yang bahenol. Penjol tampak kurang bahagia. Di depan rumah, Penjol pulang dari pabrik diantar sepeda motor oleh Dadung Awuk, teman satu pabrik.

Penjol turun dari boncengan sepeda motor memberikan helm pada Dadung Awuk. “Terima kasih Mas. Saya sudah diantar sampai rumah,” sembari senyum genit. Lenjeh. Dadung Awuk membalas senyum lenjeh itu.

“Seperti dengan siapa. Tenang saja, saya siap mengantar jemput kamu setiap hari.”

Penjol tersenyum, tersipu-sipu malu. Malu-malu kucing. Malu-malu, tetapi mau kalau ada mau. Penjol menyodorkan tangan, bersalaman, mencium tangan Dadung Awuk.

“Saya pulang, ya?”

“Iya, hati-hati, Mas.”

Malam itu, di kamar antara Peang dan Penjol. Di tempat tidur, sikap keduanya dingin dikarenakan Penjol setiap hari pulang dari pabrik kemalaman. Larut malam. Alasannya klise. Lembur. Jadi, pulang malam. Sedangkan, suaminya lebih kecil larut lagi pulangnya. Bila Penjol sampai rumah, maka Peang belum pulang. Masih kelayaban.

“Kelayaban?  Saya sedang usaha Say…Usaha cari pekerjaan!”

“Apa seumur hidup, Kang Peang cuma usaha melamar kerja? Itu ada sepeda motor, untuk buka jasa ojek apa bagaimana, bisa Kang?”

“Ojek? Saya sarjana Say…Sarjana! Mau ditaruh di mana muka saya?”

“Dibokong semok bahenolku ya. Dikira hidup di kota kecil seperti ini, kertas ijazah sarjana bisa dimakan. Ijazah itu untuk apa?”

“Kenapa kamu tidak membela suamimu, Say. Saya cinta mati sama kamu, Say…” Penjol membalikkan badan 180 derajat.

“Sudah tenang. Jangan berisik. Besok kerja, ya!”

Malam menjelang pagi. Di ruang tamu, Peang duduk di kursi. Baru saja Penjol membuka dan menutup pintu, terjadi perang dunia ketiga. Pertengkaran hebat.

“Oo…Jadi saya tidak boleh antar jemput, supaya kamu bisa guwelan dengan lelaki lain?”

Penjol berbohong. “Kenapa Kang? Menuduh sembarangan! Tahu sendiri, saya pulang jalan kaki!”

“Dengan tukang ojek, pakai acara cium tangan, dan gewelan berkali-kali juga?”

“Cium tangan? Kalau naik ojek harus bayar!”

“Bayar-bayar dengan mulut! Gewelan ya?”

Penjol naik pitam. Mukanya berubah serupa sepuluh. Muka Rahwana. Mengerikan.

“Kalau aku menyeleweng, selingkuh. Kakang mau apa?”

Peang kaget.  Terasa tubuhnya ada yang menariknya ke angkasa. Lalu pecah berantakan, berkeping-keping. Limbung. Peang terdiam.

Penjol nyerocos kesana kemari. Mengungkit-ungkit semua aib. Rahasia rumah tangga. Tidak sekadar Peang tidak bisa menafkahi secara lahir, tetapi juga nafkah batin. Di malam pertama pun, senjata Peang tidak bisa berdiri tegak. Impoten. Tidak dapat ereksi. Peang berubah mirip cewek. Kenes. Apalagi tidak pernah memberi uang ke istrinya. Dengan modal ijazah sarjana, tidak bisa memberi makan istrinya.

Peang tergagap. “Ya…ya…Bukan maksud saya seperti itu!”

“Lalu, sampeyan mau apa?”

Peang.menghela nafas. Masalah ini muncul karena Penjol pulang kerja larut malam, pulang dengan lelaki lain. Yakni, Dadung Awuk. Teman kerja satu pabrik istrinya, yang menjadi tukang ojek, sambilan. Lalu, Penjol istrinya dan Dadung Awuk melakukan adegan layak sensor, suami-istri setiap malam, di rerumputan taman depan rumah. Penjol membela diri.

“Kang Peang yang mestinya bekerja! Yang salah itu, Kakang! Kenapa perempuan yang harusnya merawat rumah, malah ini terbolak-balik. Ini terbalik. Senang ya, kalau aku pakai cawet terbalik? Sudah lama aku pendam di dasar kalbuku masalah ini! Daripada pusing, lebih baik kita pisahan saja. Cerai! Pegatan! Purik!”

Peang melongo.

Nelangsa. “Say…Say….Maksud saya bukan begitu?! Oalah, jadi bubrah seperti ini!” Penjol merasa roh di tubuhnya terbang melesat ke langit tinggi. Lalu, muncul beribu kunang-kunang yang terbang berputar-putar di atas kepalanya.
***

Orang-orang terus berjoget-joget diiringi musik disko koplo. Kepala mereka geleng-geleng. Mulut ndremimil ndleming, tidak jelas suara perkataan mereka, mirip dengungan tawon denggung di hutan. Hutan yang berjarak sepelemparan batu, dari rumah Sang Kamituwo. Peang dan Penjol cengar-cengir, tersenyum sumringah. Malam pertama yang indah telah di depan mata.

Tamu-tamu di hajatan pernikahan itu makin tak terkendali. Mereka berlebih menyantap daging Gento, asu kesayangan emak, dan daging asu lainnya. Beratus botol bir berserakan di lantai dan meja. Musik disko koplo menghentak-hentak. Keras! Semua tamu mabuk. Teler.

“Bruk! Gubrag! Bruk! Gedubrak!”

Semua serba cepat terjadi. Tarub tempat pesta itu ambruk menghantam semua tamu. Celaka 12! Tebing di atas rumah Kamituwo Sontoloyo pun longsor, menimbun tempat hajatan. Bahkan meluluhlantakkan seluruh permukiman di kampungku. Bunga-bunga kamboja berguguran di pesta perkawinan asu pada tenggakan bir botol ke-5 emak***

Purbalingga, 2022.

 

Lintang Alit Wetan adalah nama pena dari Agustinus Andoyo Sulyantoro. Lahir di Dusun Dalang Jamid, Desa Kalialang, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jateng, 13 Mei. Karya fiksi alumni FPBS IKIP N Yogyakarta (UNY) tahun 1997 ini bertebaran di media massa cetak dan online dalam dan luar negeri.

Pada 2021, cerpennya “Seseorang dan Langkah Misterius Itu”, masuk NOMINE Anugerah Sastra LITERA dan cerpen “Tuyul Pikmars” (Piknik ke Mars) Naik UFO menjadi cerpen pilihan mBludus.com. Pada tahun yang sama, ia tampil di Ubud Writers & Readers Festival, Bali.

Buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit Lingkar Mata di Pintu Gerbang (Gambang, 2015), kumpulan esai Banyumas dalam Prosa Nonfiksi (Gambang, 2016). Menyunting buku Perjamuan Cinta (2015), Manusia Jawa Modern (2016), Para Penuai Makna (2020), dan Tuan Tanah Kamandaka (2021).

Related posts

Leave a Comment

15 − seven =