Cublak-cublak Suweng
Cerpen: Endang S. Sulistiya ___________________________________________________________________
Hanya karena masih ada bapak dan ibu di kampung halaman, sesekali aku menyempatkan diri pulang. Seringnya sendiri, kadang-kadang bersama suami dan dua anakku.
Jujur, ini memang tampak sekadar menggugurkan kewajiban. Seperti gerakan salat kilat yang aku laksanakan di antara gegap gempita dunia. Tiada sama sekali khidmat seorang hamba yang berserah pada Tuhannya. Lantaran kekhusyukan telah tercurah sepenuhnya dalam mengais rezeki. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pula keinginan yang kian beragam.
Apalagi, bukan hal mudah bagiku membujuk suami dan putra-putriku untuk mau ikut mengunjungi kakek-neneknya. Jalanan desa yang rusak parah tidak sepadan dengan harga mobil beserta perawatannya, joroknya rumah kampung dengan aroma kotoran sapi yang menguar dari kandang, tidak ada hiburan yang menawan kecuali pasar malam yang ketinggalan zaman, masakan ibu yang jauh dari kata higienis serta banyak-banyak alasan lainnya. Aku tidak bisa menampik pandangan buruk yang menghantui pemikiran suami dan anak-anakku yang terlahir di kota besar. Sejatinya aku yang lahir dan tumbuh di desa saja setuju. Jika bukan karena tak mau dianggap durhaka, aku sudah malas mudik ke tanah kelahiran.
Maka pagi ini ketika mobilku membelah jalanan pedesaan yang tidak banyak berubah, langsung terbayang di kepalaku bagaimana desa ini tidak ubahnya kura-kura. Lambat. Aku menyangsikan desa bisa mengalami kemajuan walau berpuluh-puluh tahun ke depan.
Menyeringai. Sebuah ingatan menggelitikku. Dengan polosnya, ibu bercerita kepadaku melalui telepon dua tahun silam tentang kepala desa terpilih yang membanggakan. Program-program pembangunan dari Pak Kades yang baru terpilih itu terdengar begitu menakjubkan.
Wacana mencari investor untuk pembangunan pabrik semen, rencana menyulap kebun jati terbengkalai menjadi tempat wisata, sampai angan-angan menjadikan desa yang berswasembada pangan dan pekerjaan sehingga pemuda-pemudi tidak perlu merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan.
Akan tetapi apa yang terjadi saat ini? Wacana tinggal wacana. Rencana tinggal rencana. Angan-angan tinggal angan-angan. Pak Kades yang memiliki visi misi luar biasa menjanjikan pada masa kampanye itu nyatanya menyimpan tendensi. Ia berambisi menjabat sebagai kepala desa demi batu loncatan. Agar dia bisa meloncat lebih tinggi. Menggapai posisi dewan perwakilan rakyat atau bahkan bupati. Meski begitu, aku sangat-sangat memahami sikap Pak Kades itu. Karena cerminan sikapnya terpantul dalam diriku sendiri. Tidak perlu munafik, pesona uang memang menggoda. Aku sendiri takluk di bawah kaki-kaki uang yang demikian berkuasa.
Lulus menyandang sarjana hukum, aku mendaftarkan diri dalam perekrutan CPNS Jaksa. Bertubi-tubi syukur kupanjatkan ketika aku dinyatakan lolos. Mengalahkan ratusan peserta lainnya.
Mulanya aku juga masih murni sebagaimana cita-cita kepala desa. Aku akan turut menjunjung kebenaran. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Ternyata jalan karier yang mesti kujalani tidak semulus angan. Aku mesti merintis karier sebagai tata usaha lebih dahulu selama dua tahun. Gaji rendah dan senior yang kerap merundung menjadi garis nasib yang harus kulangkahi. Baru kemudian aku mendapatkan rekomendasi pelatihan jaksa. Begitu pun dengan gaji yang tidak langsung tinggi. Merangkak. Selangkah demi selangkah.
Menguatkan tekad. Rute terjal itu selalu aku jadikan pegangan dalam bertahan dan melangkah. Ambisiku membuncah tiap menengok penderitaan di belakang. Maka tatkala muncul kesempatan, aku berlari mengejar sampai dapat. Tidak menyia-nyiakannya.
Kini meski hanya berstatus PNS, apa yang tidak aku miliki? Rumah megah, tanah investasi di mana-mana, mobil-mobil berjajar menghias garasi, serta baju dan tas bermerek.
Soal pendidikan dua anakku, tidak tanggung-tanggung mereka kudaftarkan ke sekolah yang sama dengan anak para pejabat dan selebriti. Bahkan tak terhitung lagi berapa kali aku berlibur ke luar negeri.
Sialan, orang-orang yang mengatakan aku mendapatkan semua ini dengan mudah. Mereka tidak tahu, kucuran darah, air mata serta keringat untuk sampai di posisi ini.
Masa bodoh, orang-orang yang mencibir kecuranganku. Siapa kiranya yang enggan terperosok ke lembah dosa yang dindingnya bertakhtakan emas permata?
Sebuah polisi tidur berhasil menggoyang mobilku. Lamunanku seketika buyar. Aku kemudian baru sadar, sudah hampir dekat dengan rumah orang tuaku. Tinggal melewati jembatan, lalu mengikuti jalan kampung.
Kubelokkan roda mobilku ke halaman rumah limasan. Kedua orang tua lengkap dengan saudara dan keponakan menyambutku di teras rumah. Kakak-kakakku bahu membahu menurunkan oleh-oleh yang kubawa. Baju dan mainan bekas yang masih sangat layak pakai. Juga ada tempat makan dan minum yang baru satu kali, dua kali digunakan anakku. Keponakan-keponakanku tampak ricuh berebutan buah tangan yang kubawa.
Ombak kebanggaan dalam diri meluber melewati pantai kesombongan. Aku memang pantas disambut selayak ratu seperti ini. Bagaimana sebagai bungsu, akulah yang mengangkat harkat dan martabat keluarga sampai seperti sekarang. Tiga kakakku yang ke semuanya guru, tidak ada seujung kuku dibandingkan denganku.
“Bagaimana kabarmu dan keluarga, Nduk?” sapa ibu seraya mengalungkan pelukan. Aku sesegera mungkin melepas rangkulannya dari tubuhku. Risi. Bau bawang goreng.
“Baik, Bu. Apa kamarku sudah dibersihkan?” tanyaku congak bak seorang mandor. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dengan mengedarkan pandangan secara teliti bagai seorang supervisor.
Langsung kutuju kamarku. Mengecek sendiri kondisi kamarku. Setelah menyimpulkan tidak terlalu buruk, kubatalkan niatanku untuk menginap di hotel.
Aku merasakan tulangku remuk sehingga ingin segera istirahat. Akan tetapi suara ricuh keponakanku yang tengah bermain sangat mengganggu. Dengan geram, aku menghampiri mereka.
“Main apa kalian? Berisik sekali!” hardikku kesal.
Asih, Binar, dan Candra seketika duduk mematung. Nyanyian dari ketiganya seketika berhenti sedangkan Denis sebagai Pak Empong tampak kebingungan saat terbangun dari posisi sujudnya.
“Kalian main di teras rumah ya. Tante Nungki mau istirahat,” ibu datang tergopoh untuk menasihati cucu-cucunya.
Aku kembali ke kamarku setelah memastikan mereka sudah pindah dari ruang tengah ke teras. Aku mengunci pintu kamar. Benar-benar berharap tidak ada lagi yang mengganggu.
Aku terjaga setelah bermimpi buruk. Kuhapus keringat yang membanjir di dahi dan leher. Kutengok jam di dinding. Sekarang sudah tengah malam.
Tenggorokanku terasa kering. Aku keluar kamar untuk mengambil air minum. Aku terperanjat kala samar-samar kudengar suara itu lagi.
“Cublak cublak suweng. Suwengene ting gelenter. Mambu ketundung gudel. Pak Empong lera lere. Sapa ngguyu ndhelikake. Sir sir pong dhele kopong. Sir sir pong dhele kopong.”
Suara lirih itu berangsur-angsur berdengung keras bagai lebah. Gendang telingaku terasa ngilu. Cepat-cepat kututup rapat-rapat. Namun suara itu seolah setajam jarum. Mampu menebus ke kedalaman gendang telinga.
Terengah-engah, aku terbangun dari mimpi burukku lagi. Mimpi yang sama. Berturut-turut dalam satu malam.
Kulihat jam sudah menunjuk angka tujuh. Bergegas aku menuju kamar mandi. Aku harus segera kembali ke Jakarta.
“Secepat ini kamu sudah akan kembali?” tanya ibu sedih.
“Aku ada pekerjaan,” kataku sambil buru-buru memasukkan barang-barangku ke dalam mobil.
Usai melambaikan tangan bak ratu, kulajukan mobilku. Menjemput kesepakatan di sebuah hotel di Kota Surakarta. Beberapa hari lalu, seseorang dengan nomor tidak dikenal menghubungiku. Dengan hati-hati dia memperkenalkan diri sebagai Iwan Putra. Aku terkejut. Nama yang disebutkannya adalah buronan korupsi yang tengah gencar-gencarnya dicari polisi dan KPK.
Singkat cerita, Iwan Putra mencurahkan isi hatinya. Katanya ia telah lelah terus-menerus melarikan diri. Sebagaimana koruptor lainnya yang licik, ia berupaya membuat kesepakatan denganku. Ia berharap aku mau membantunya meringankan hukuman atas pelbagai kasus korupsi yang menjeratnya.
Lantaran ia masih bersembunyi di luar negeri, keluarganya di Surakarta yang akan mengurus tetek bengeknya. Sebagai bukti keseriusannya itu, kemarin ia sudah mentransfer dua ratus juta ke rekeningku.
Mobilku sudah sampai di parkiran sebuah hotel paling mewah di Kota Surakarta. Sebuah chat menuntunku menemukan kamar klienku.
Dengan ramah-tamah yang terlalu, pihak keluarga menyilakan aku masuk. Di dalam kamar presidential suite, aku diperlakukan laksana dewi fortuna yang diharapkan memberi keberuntungan. Sedang serius-seriusnya membicarakan kesepakatan, tiba-tiba gedoran pintu mengagetkan kami semua. Polisi berseragam pula beberapa petugas KPK menerobos masuk.
Meski jiwaku masih terguncang, aku berupaya menguasai keadaan. Aku bukan anak kemarin sore. Kusunggingkan senyum khasku yang penuh ketenangan. Entah bagaimana bermula, keluarga dari Iwan Putra mengikuti sikapku. Mereka turut tersenyum-senyum tanpa beban serta dosa. Sedangkan para polisi dan petugas KPK melirik kami satu persatu. Mencari di antara kami, siapa yang pantas dijadikan tersangka utamanya.
“Pak Empong lera lere. Sapa ngguyu dhelikake. Sir sir pong dhele kopong. Sir sir pong dhele kopong” lagu itu berdesing-desing di kepalaku. Seakan-akan mengakhiri sepak terjangku dalam permainan. Dengan kasar, aku digelandang ke KPK.#
Endang S. Sulistiya, menetap di Boyolali. Alumnus FISIP UNS ini berusaha kembali ke dunia tulis menulis setelah sekian lama vakum. Tergabung dalam Grup “Diskusi Sahabat Inspirasi”.
Dengan nama pena Lara Ahmad maupun Endang S. Sulistiya, cerpen-cerpennya mendapatkan kesempatan dimuat media lokal dan nasional.