CERPEN 

Apa Adanya Bukan Ada Apanya

Cerpen: Mifta Izza ____________________________________________________________________

Diberi hati minta jantung. Mungkin begitu peribahasa yang cocok digambarkan untuk Julia. Entah dirinya yang merasa kurang, atau fitrah manusia yang tidak pernah merasa cukup. Manusia sering bertanya kapan hujan turun saat musim kemarau, tapi merindukan kemarau saat musim penghujan. Alasannya kalau musim penghujan sulit untuk berpergian. Pun sebaliknya.

Fitrah manusia pula yang menganggap omongan orang lain lebih meyakinkan dibanding meyakini kemampuan dirinya sendiri. Menjadikan orang lain sebagai patokan hidup ideal. Padahal seharusnya, dia tidak memaksa kekurangan dalam dirinya untuk menjadi yang terbaik. Tak seharusnya juga mengabaikan kelebihan yang telah lama bersarang dalam dirinya, hanya untuk menjadi manusia ideal bagi sesama.

————————————————–

Ilustrasi diambil dari yoursay suara.com

————————————————-

Kembali pada Julia. Dia adalah salah satu manusia dengan ketidak-puasan dalam dirinya. Antara rasa tidak puas, gengsi, dan iri sepertinya hanya bergaris tipis. Bahkan sulit untuk dibedakan. Berawal dari merasa iri karena dia tidak memiliki apa yang Anna temannya miliki. Kemudian beralih menjadi gengsi. Dia merasa harus seperti Anna dalam hal apa pun. Baju, sepatu, tas, tatanan rambut, cara Anna berdandan, benar-benar menjadi pertimbangan Julia agar eksistensinya dianggap istimewa.

Berakhir dengan rasa tidak puas sehingga dia terus memperbaiki semua yang ada. Bergaya hidup mewah, jika ekonomi mendukung mungkin tidak masalah. Sungguh tidak masalah bila dia menjadi miliader, atau paling tidak jutawan. Nyatanya tidak, orang tua Julia pontang-panting mencari uang kesana kemari untuk mencukupi anak semata wayangnya itu. Dari pagi sampai pagi lagi. Begitu seterusnya. Namun, anak yang diharapkan menjadi pelita dalam gelapnya dunia, malah bertingkah tidak keruan. Tidak dituruti, Julia akan mengancam bunuh diri.

“Biar aku mati saja kalau Ibu tidak bisa menuruti permintaanku.”
Orang tua mana yang mau anaknya bunuh diri? Seketika bu Sukma mencari siapa pun yang bisa dipinjaminya uang. Para tetangga yang merasa iba, tidak bisa berbuat lebih selain menatap bu Sukma dengan raut wajah sedih. Tidak sekali dua kali bu Sukma diberi saran oleh tetangga agar tidak terlalu menurut pada Julia.

“Coba biarkan saja, Bu. Paling juga tidak berani bunuh diri. Julia hanya mengancam saja, kata salah satu tetangga.” Tapi yang namanya bu Sukma mana bisa seperti itu. Melihat anaknya meminta sesuatu saja, tidak sanggup dirinya berkata tidak.

“Julia itu anak saya satu-satunya. Selagi bisa, saya akan menuruti semua keinginannya. Saya yakin Julia akan mengerti seiring berjalannya waktu.” Demikian bu Sukma selalu menjawab.

Waktu terus berjalan. Julia yang diharapkan paham akan kondisi orang tuanya, ternyata tidak. Semakin hari semakin nyeleneh permintaannya.

“Aku mau operasi hidung, Bu. Agar bagus seperti hidung Anna,” kata Julia suatu hari pada ibunya.

Bu Sukma tidak berkata tidak. Hanya saja ia meminta waktu pada Julia agar bisa mempersiapkan uangnya. Tapi Julia dengan bersungut-sungut menuding ibunya pelit, tidak mau melihat putrinya bahagia, dan segala sumpah serapah dilontarkannya. Dikatai seperti itu, bu Sukma tidak lantas marah, atau minimal menampar wajah Julia. Ia hanya terduduk dengan lesu sambil mengatakan akan mencari uang secepatnya.

“Pokoknya besok harus ada uang,” ancam Julia.

“Kalau tidak, Ibu tahu sendiri akibatnya,” sambungnya.

Pak Tejo, ayah Julia yang baru saja pulang, tetiba dikejutkan dengan permintaan aneh anaknya itu. Rumah yang dijadikan tempat untuk melepas penat selepas bekerja seharian, tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Kepalanya bertambah pusing memikirkan dari mana ia mendapatkan uang.

Setiap hari rentenir bergantian datang untuk menagih utang. Utang itu bukannya berkurang dari waktu ke waktu. Malah sebaliknya, bertambah banyak dari satu orang ke orang yang lain. Istilah gali lubang tutup lubang tak lagi bisa diandalkan. Terlalu banyak tanah yang berlubang.

“Tolong, ya. Ayah minta kau bersabar. Ayah dan ibu saat ini benar-benar tidak punya uang.” Pak Tejo menengahi.

“Memang pelit. Dasar pelit.”
Rahang pak Tejo mengeras. Tampak sekali kalau dia sedang marah. Pak Tejo merasa sudah saatnya dia mengambil sikap tegas kepada Julia. Bagaimana pun Julia harus segera disadarkan tentang kondisi ekonomi mereka.

“Apa susahnya bersabar? Kau ini sebenarnya buta atau tuli? Kau lihat setiap hari ada rentenir datang menagih hutang? Kadang memukuli Ayahmu ini, kadang mengambil apa saja yang ada di rumah. Tidak peduli kah kau?” Kata pak Tejo berapi-api. Bu Sukma hanya bisa menangis di samping pak Tejo sembari mengelus pundak suaminya. Berharap perdebatan itu tidak diteruskan kembali.

“Jadi Ayah dan Ibu menyalahkanku atas semua yang terjadi pada kalian?”

“Ya jelas!” Teriak pak Tejo. “Kau selalu meminta ini dan itu pada orangtuamu tanpa tahu seberapa besar usaha mereka dalam membesarkanmu. Selama itu pula, kami tidak pernah menolak apa pun yang kau minta. Semuanya tercukupi, kan? Jika sekali ini saja Ayah minta kau berhenti bersikap demikian, apa tidak bisa?” Sambungnya.

Julia mengangguk-anggukkan kepala dengan senyum miring di bibirnya.

“Asal Ayah dan Ibu tahu, aku tidak meminta dilahirkan di keluarga macam ini. Andai aku bisa memilih, lebih baik aku tidak dilahirkan daripada harus terlibat pada kondisi yang memuakkan terus menerus.”

Tangisan dan peleraian dari bu Sukma tidak digubris oleh mereka. Pertengkaran itu tidak mudah berhenti begitu saja. Pak Tejo yang sekian lama diam atas apa saja perlakuan Julia, kini dia mulai mengambil tindakan tegas.

“Asal kau tahu juga. Aku tidak minta anak sepertimu. Jadi, bukan kau saja yang tidak bisa memilih, aku pun demikian.”

Jleb. Kata-kata pak Tejo benar-benar melukai perasaan Julia. Bagaimana bisa sosok ayah yang selama ini tidak banyak bicara, mengatakan itu dengan lancar. Tak menunggu waktu lama, Julia bergegas masuk kamar. Awalnya bu Sukma dan pak Tejo mengira anaknya sedang marah kemudian mengurung diri. Selang beberapa menit kemudian, Julia keluar dari kamar dengan membawa dua tas besar.

Bu Sukma yang tahu niat Julia itu, segera dia mencengkeram lengan anaknya. Menahan sekuat tenaga agar Julia tetap tinggal.

“Sudahlah, Bu. Biarkan. Biar dia tahu susahnya cari uang di luar sana,” kata pak Tejo yang masih dikuasai kemarahan.

Tapi tidak bagi istrinya, mau bagaimana pun sikap dan fisik anak itu, ia adalah karunia yang maha kuasa. Anugerah yang harus dijaga seumur hidupnya.

“Tidak! Jangan Julia. Jangan pergi, jangan tinggalkan Ibu. Ibu akan menuruti semua keinginanmu tapi Ibu mohon tetap di sini, ya.” Sekuat tenaga bu Sukma menghalangi Julia. Namun, Julia seperti tak memiliki belas kasihan bahkan kasih sayang terhadap orang tuanya sendiri.

“Lepas, Bu! Suamimu sendiri yang bilang tidak mengharapkan anak sepertiku,” Julia membantah. Cengkeraman itu, dia tepis dengan kasar sampai bu Sukma jatuh ke belakang. Pak Tejo yang melihat itu segera berdiri dan mendorong Julia sampai ambang pintu depan.

“Pergi saja. Coba kita lihat, sejauh mana kau bisa hidup tanpa minta uang pada kami.” Kalimat itu diucapkan pak Tejo dengan nada dingin. Matanya nyalang menatap kearah Julia. Dari arah belakang, bu Sukma tergopoh-gopoh mencegah Julia pergi.

“Jangan, Mas. Jangan usir anak kita. Kau harus ingat berapa lama kita menunggunya,” kata bu Sukma memohon pada pak Tejo. Berharap agar suaminya itu mau menarik kata-kata yang barusan dikeluarkan. Oh

Kepergian Julia sore itu diiringi teriakan pilu dari bu Sukma yang memohon agar Julia kembali. Tapi teriakan itu tidak berarti apa-apa bagi Julia yang sedang dipenuhi amarah. Ditambah para tetangga yang sebegitu pedulinya terhadap kehidupan orang lain, sampai rela meninggalkan pekerjaan rumahnya, demi melihat pertengkaran hebat keluarga pak Tejo. Hal ini membuat Julia terharu, sangat terharu. Saking terharunya dia sampai berteriak pada para tetangga yang mengintip.

“Apa lihat-lihat, hah?! Tidak punya kerjaan sampai mengurus masalah orang lain?”

Orang-orang memang pergi dari sana. Tapi mulutnya saling berbisik. Menghakimi Julia yang menjadi anak pembangkang akibat mematok gaya hidup Anna. Lebih baik menjadi apa adanya dengan kesederhanaan yang tak ternilai harganya, daripada menjadi istimewa dengan kesengsaraan yang tak terhitung jumlahnya.

 

Mifta Izza, lahir pada tanggal dan bulan yang sama dengan artis kpop, Lee Jeno NCT. Hanya berbeda tahunnya saja, selisih dua tahun kiranya. Bertempat tinggal di Madiun. Saat ini sedang mengenyam bangku perkuliahan, memasuki tahun ketiga di sebuah PTKIN Jawa Timur. Beberapa karyanya terbit di media massa.

Related posts

Leave a Comment

sixteen − 8 =