CERPEN 

Setelah Kematian Kiai Hambali

Cerpen: Alim Witjaksono ____________________________________________________________________

Berita tentang kematian Kiai Hambali oleh sekelompok orang bertopeng yang menyatroni kediamannya telah menimbulkan tanda-tanya besar di berbagai kalangan masyarakat Banten. Hampir semua koran dan teve lokal menampilkannya sebagai berita utama. Bisa jadi karena tokoh agama itu tergolong keturunan Sultan Hasanudin, sebagai pendatang dari tanah Cirebon yang menduduki wilayah utara Pasundan sejak berabad-abad silam.

Kini, gelombang kekerasan menyebar ke seluruh penjuru, namun telah santer dikabarkan bahwa semuanya tak terlepas dari motif-motif politik. Kalau Anda bepergian ke wilayah Tangerang, Serang, Cilegon hingga Pulomerak, Anda pasti akan mendengar berita itu merebak ke mana-mana, dengan beragam tafsiran, dugaan hingga hoaks-hoaks berseliweran, dan selalu dihubung-hubungkan dengan peristiwa kematian Kiai Hambali.

Baik media luring maupun daring, tak ada yang sanggup membahas persoalan itu secara akurat dan menyeluruh, kecuali jika Anda menelisik dan memahami peristiwa bersejarah yang terjadi di seputar kehidupan tiga sekawan, antara Bu Hamidah, Nyi Hindun, dan Bi Marfuah.

Bu Hamidah tinggal di sebuah rumah besar yang dibangun di daerah Lingkar Selatan Kota Cilegon. Suaminya, yang sama-sama berdarah Jawa Banten, tergolong keturunan dari keluarga pendatang Cirebon, namun ia sudah meninggal setelah tahun-tahun kekisruhan politik di Jakarta pada 1965 lalu. Bu Hamidah memiliki seorang putera yang tinggal bersama istri dan tiga anaknya di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Sebagai keturunan dari keluarga pendatang, orang tua Bu Hamidah dikenal sebagai tuan tanah yang memiliki puluhan hektar lahan sawah di wilayah Banten Utara. Ia sangat disegani oleh tuan-tuan tanah lainnya, juga termasuk tokoh wanita yang dihormati di sekitar kampung halamannya, desa Karang Asem.

Tentu ada saja orang yang kurang sepakat dengan watak dan kepribadian Bu Hamidah, yang cenderung loyal terhadap etnis Sunda yang tinggal di daerah Anyer, Carita hingga Labuan. Ketika Nyi Hindun dan Bi Marfuah berkunjung ke rumahnya untuk membahas soal kematian Kiai Hambali, keduanya menampilkan raut muka sedih lantaran kematian tokoh agama yang terbilang tragis, tapi di sisi lain ada rasa gembira karena menyaksikan dekadensi moral pada kehidupan penduduk Sunda Baduy yang menempati wilayah selatan. Meskipun, mereka sama sekali tak memiliki bukti bahwa pelaku pembunuhan itu adalah sekelompok warga Baduy yang datang dari daerah Banten Selatan.

Bu Hamidah sendiri berpendapat bahwa problem utamanya adalah soal perlakuan terhadap warga pribumi Sunda yang sudah berabad-abad menempati wilayah Jawa bagian barat. “Di rumah saya sendiri ada beberapa pembantu dari Sunda Labuan, dan bagi saya tak jadi masalah selama kita memperlakukan mereka dengan baik-baik,” ujar Bu Hamidah.

Nyi Hindun dan Bi Marfuah sama-sama berperawakan sedang, kulit putih kecokelatan, dan pipi agak tembem, seperti campuran Jawa dan Tionghoa. Sedangkan Nyi Hindun berhidung agak mancung dan mata belo, seperti campuran keturunan Arab. Dengan modal rasa percaya diri, mereka berpendapat bahwa leluhur mereka dari Cirebon dan Demak, telah membentuk oasis peradaban baru di wilayah Jawa bagian barat, seakan telah menjadi tugas moral yang diembankan di pundak mereka, untuk mendidik dan menyadarkan penduduk pribumi tentang bagaimana bertata-krama, berbicara, berpakaian, bahkan beragama dengan baik.

Nyi Hindun mengklaim dirinya memiliki garis keturunan para habib dan habaib dari Hadramaut, Saudi Arabia. Meskipun, ia merasa kesulitan ketika harus mengurutkan nama-nama leluhurnya, kecuali yang dia ketahui hanya nama bapak, kakek hingga buyut angkatan pertama. Berhubung tidak memiliki pendapat pribadi yang terbilang ilmiah, keduanya merasa cukup menyepakati pandangan umum yang dianggap valid, yakni pandangan yang diyakini suami-suami maupun golongan ras dan kesamaan warna kulit mereka.

Bu Hamidah justru berbeda dengan keduanya. Ia berpegang pada prinsip bahwa warga penduduk pribumi (Sunda) sebenarnya bisa bersikap baik manakala kita memperlakukan mereka dengan baik pula. “Kalau enggak percaya, lihat saja lima pembantu yang bekerja di rumah dan kebun saya itu. Mereka berasal dari Lebak, Labuan, dan Pandeglang. Dan setiap apa yang saya perintahkan, mereka selalu menurut dan tak pernah membantah,” tegas Bu Hamidah.

Nyi Hindun kadang menuduh Bu Hamidah terlalu sembrono dalam menyikapi para pembantunya, bahkan mewanti-wanti bahwa tidak jarang pembantu yang diperlakukan baik justru menikam dari belakang. Bu Hamidah tidak hanya menyekolahkan anak-anak pembantunya di sekolah negeri, tetapi juga menyediakan guru ngaji, agar mereka bisa baca tulis Alquran dan huruf-huruf Arab.

“Tapi, apapun yang Ibu lakukan terhadap mereka, saya tetap tak bisa memaafkan perbuatan mereka yang menyebabkan kematian Kiai Hambali,” kata Nyi Hindun dengan wajah sengit.

“Bagaimanapun, kita ini hidup di negara hukum. Kalau memang bersalah, ada pihak-pihak berwenang yang akan menangani dan menyelesaikannya secara adil. Terlepas apakah dia orang Sunda, Jawa, Arab maupun Tionghoa. Tapi, kalau pelakunya belum terbukti bersalah secara hukum, tentu dia mendapat hak untuk hidup bebas sebagai warga negara.”

***

Nyi Hindun sebagai perempuan paling ceriwis di desa Karang Asem terus saja menyebarkan gosip dan berita miring tentang keterlibatan para pemberontak dari Baduy Selatan yang menyebabkan kematian Kiai Hambali. Tetapi, Bu Hamidah selalu melerai dan menganjurkan siapapun agar bersikap sabar. “Sebab, leluhur kita menginjakkan kaki di tanah Sunda ini sebagai pedagang dan penyebar Islam, bukan sebagai penjajah seperti halnya Belanda dan Jepang, juga bukan seperti pendudukan wilayah Timor Timur oleh militerisme Orde Baru.”

“Biarpun warna kulit kita sama, tapi sebagai pemberontak tetap saja mereka masih menaruh dendam dan menganggap kita sebagai perampas tanah-tanah mereka. Padahal, sejak kesulitan ekonomi selama krisis moneter, banyak orang-orang Banten Utara yang menampung dan menyekolahkan anak-anak mereka, mempekerjakan mereka di toko-toko, pabrik-pabrik, hingga di rumah-rumah tangga kita, tetapi mengapa mereka tidak berterima kasih?” ujar Bi Marfuah.

“Biarpun kita sudah berjasa buat mereka, tetap saja mereka tak mau menunjukkan hormat dan balas jasa, malah tega-teganya menghabisi kita semua. Saya yakin, mereka tahu bahwa almarhum Kiai Hambali itu adalah salah satu dari keturunan leluhur kita, Sultan Hasanudin,” sambut Nyi Hindun.

“Sabar, sabar,” Bu Hamidah berusaha menenangkan, “kita semua diajarkan oleh agama agar bersikap sabar.”

“Sampai kapan kita harus bersabar, Bu Hamidah!” semprot Nyi Hindun. “Tiap hari kita melihat mereka berkeliaran di sekitar desa kita! Mereka datang sejauh puluhan hingga ratusan kilometer dengan bertelanjang kaki, menjual madu-madu palsu, kain-kain tenun dan tas anyaman yang bermutu rendah. Apakah Bu Hamidah menganggap Kiai Hambali itu bukan orang sabar? Saya kira, sebagai kiai dan ulama, tidak ada yang lebih sabar di antara kita-kita ini daripada beliau?”

“Saya kira, cepat atau lambat, tanah-tanah kita akan habis dikuasai pendatang-pendatang liar itu,” cetus Bi Marfuah lagi.

“Hati-hati ngomong, Bi Marfuah, mereka itu bukan pendatang liar. Mereka datang ke sini untuk menjual hasil-hasil alam dan kerajinan tangan mereka. Mereka sama-sama warganegara Indonesia, dan itu harus kita hargai,” ujar Bu Hamidah.

“Lalu, menurut Bu Hamidah, siapa yang membunuh Kiai Hambali itu kalau bukan gerombolan dari mereka?” tantang Nyi Hindun.

“Kita tidak tahu siapa yang melakukan itu… lebih tepatnya kita belum tahu, sampai pihak kepolisian nanti akan mengungkap siapa pelakunya…”

“Kapan pelakunya akan ditangkap? Ini sudah seminggu lewat? Semua koran mengabarkan bahwa tiga orang yang mengetuk pintu rumah Kiai Hambali di tengah malam itu memakai topeng, baju hitam dan ikat kepala. Siapa lagi kalau bukan orang-orang Baduy itu? Siapa lagi kalau bukan pendatang-pendatang liar itu? Ini pasti sudah direncanakan jauh-jauh hari, seperti yang diberitakan di medsos dan koran-koran itu!”

Mereka terdiam dengan muka merah dan tatapan menerawang. Bu Hamidah memanggil salah seorang pembantunya agar menyediakan teh manis untuk para tamunya. “Alit! Aliiit! Tolong bikinkan tiga teh manis buat Bi Marfuah, Nyi Hindun, dan buat Ibu.”

Alit adalah salah seorang pembantu Bu Hamidah yang berasal dari daerah Carita, Pandeglang. Dia adalah seorang wanita bertubuh kecil dan kurus, berusia sekitar 35-an tahun, dan menjadi pembantu di rumah Bu Hamidah selama tujuh tahun lebih. Dia mengenakan rok panjang dan kerudung jilbab yang baru dikenakannya setelah Bu Hamidah membelikan baju-baju muslimah dalam lima tahun terakhir. Dengan sigap dan cekatan, ia muncul dari balik pintu sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh manis, dan seketika menyuguhkannya di atas meja.

Percakapan yang terputus selama Alit menyuguhkan teh manis, kemudian dilanjutkan oleh Bu Hamidah dengan suara agak berbisik, “Coba perhatikan mereka-mereka itu. Kelihatan begitu polos dan lugu. Selama tujuh tahun lebih mereka tinggal di rumah-rumah yang dibangunkan almarhum suami saya dulu. Dua pembantu saya yang dari Rangkasbitung, sudah dinikahi suami-suami mereka yang berasal dari Jawa Banten. Saya kira, mereka baik-baik saja,” kata Bu Hamidah lagi.

“Mereka polos dan kalem, tapi diam-diam menghanyutkan!” sanggah Nyi Hindun ketus.

“Seperti ular yang tiba-tiba mematuk dan menyemburkan bisanya,” tambah Bi Marfuah lagi.

Mereka meneguk teh manis, lalu mengobrol tentang kematian Kiai Hambali yang kemudian terus merembet kepada soal tanda-tanda akhir zaman.

***

Obrolan mereka berkembang ke soal kebijakan pemerintah, para imigran gelap, pekerja luar negeri, dan para pedagang Baduy yang dianggap orang-orang liyan. Mereka datang dari berbagai daerah dan negara asing, membanjiri negeri katulistiwa yang dikenal subur dan makmur ini. Di sisi lain, Bu Hamidah justru berpendapat bahwa orang-orang Sunda Baduy yang datang dari wilayah selatan sebenarnya tidak paham soal aspirasi dan seluk-beluk perpolitikan Indonesia. Mereka sama sekali tidak mengerti tentang kekisruhan politik di Jakarta pada tahun 1965 hingga kejatuhan Presiden Soeharto (1998). Karenanya, menurut Bu Hamidah, kita masih bisa mengambil hati para pembantu dan pelayan toko-toko, dengan berusaha bersikap baik di hadapan mereka.

Namun, ketika Bi Marfuah dan Nyi Hindun sudah pamit meninggalkan rumah, Bu Hamidah tercenung dalam waktu lama memikirkan soal kematian Kiai Hambali. Apakah benar kematian tokoh Banten itu disebabkan ulah para pemberontak yang datang dari pedalaman Baduy? Apakah benar mereka itu identik dengan sungai yang menghanyutkan, atau ular yang tiba-tiba mendesis dan menyemburkan bisanya? Dalam kesendirian itu, Bu Hamidah terus memikirkan tentang peristiwa pembunuhan itu. Dia merasa gelisah dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa rumahnya agak memencil, dan jauh dari pertolongan orang jika kemungkinan ada penyerang atau pemberontak yang menyusup masuk di kediamannya.

Setelah makan malam, Bu Hamidah melangkah ke belakang rumah, menyusuri kebun melalui jalan setapak, keluar dari cahaya menuju bayang-bayang sampai akhirnya menghilang dalam kegelapan. Dia berhenti sejenak, diam dan mematung. Di belakangnya, nampak siluet rumah dua orang pembantunya yang sudah berkeluarga, dan ia menyadari jerih-payah mendiang suaminya yang dulu berjuang membangunkan rumah-rumah tembok itu.

Seraya memancangkan pandangannya pada kedua rumah itu, ia bergumam, “Kalian sudah hidup lama bersama kami, dan selama ini hubungan kita baik-baik saja. Apakah benar seperti yang dituduhkan mereka, bahwa kalian ini diam-diam menghanyutkan, seperti ular-ular berbisa yang tiba-tiba menyusup masuk dan mematuk leher kami? Bukankah selama ini kami memberi tempat tinggal, menyekolahkan anak kalian, dan mengajari kalian baca-tulis Alquran?”

Bu Hamidah terus mencoba muhasabah dan introspeksi diri, bahwa dirinya tak mau dipersamakan dengan pihak Portugis, Belanda dan Jepang yang pernah menjajah dan menduduki wilayah Nusantara. Leluhurnya bukanlah pendatang yang mau menyingkirkan putera-puteri pribumi dari tanah yang dianugerahkan Tuhan untuk mereka. Bukankah Tuhan telah menjanjikan seluruh tanah air ini kepada hamba-hamba-Nya, dalam kesatuan wilayah Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh para bapak bangsa sejak tahun 1945 lalu?

Ia pun mengenang kakek buyutnya yang meninggal dalam kerja-paksa untuk membangun rel-rel kereta api di zaman pendudukan Belanda. Kemudian, ia mengenang kakeknya yang juga meninggal sebagai tahanan politik di Pulau Buru pada tahun 1966. Kakeknya pernah bergabung dalam organisasi serikat buruh Indonesia (SOBSI) yang kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Soeharto yang menamakan dirinya “Orde Baru”.

Sejak suaminya meninggal karena terserang TBC, Bu Hamidah berjuang keras mengais-ngais nafkah, sambil mengelola beberapa hektar ladang dan sawah peninggalan suami dan orang tuanya di wilayah Banten Utara. Dia pun pernah berdagang kain selama belasan tahun, mengikuti jejak ayahnya yang dulu rajin bolak-balik ke Pasar Tanah Abang, Jakarta, sambil menumpang kereta api melalui jalur selatan. Sebagian besar tanah yang dikuasai Bu Hamidah adalah tanah yang ditunjukkan oleh ayahnya sebagai milik keluarganya. Mereka mendapati sebagian tanah itu telah diduduki beberapa petinggi militer Orde Baru setelah penggulingan kepemimpinan Soekarno. Namun, sebagian lainnya masih bisa diselamatkan. Kini, dokumen kepemilikannya telah disertifikasi dan dinyatakan sah oleh pemerintah saat ini.

“Midah, kamu lihat di sekitar ini ada tujuhbelas batang pohon kelapa. Meskipun beberapa batang telah ditebang oleh tentara-tentara itu, kamu bisa menyaksikan sendiri, bahwa potongan batang-batang itu masih tetap utuh, bersama dengan akar-akarnya yang menancap ke bumi. Tapi setidaknya, setelah pemerintah Orde Baru berakhir nanti, kamu masih bisa menyelamatkan sebagian dari tanah-tanah ini,” ujar ayahnya ketika ia memberi wasiat kepada sang anak.

Waktu itu Hamidah masih remaja, dan belum mengerti apa-apa. Setelah ayahnya meninggal, Hamidah sempat lupa pada pesan-pesan sang ayah. Namun, ketika ia menikah dan berbincang-bincang serius dengan sang suami, ia pun mau menuruti ajakan suaminya agar melacak jejak peninggalan keluarganya, dan teringatlah ia pada batas-batas pohon kelapa yang pernah diwasiatkan mendiang ayahnya dulu.

***

Alit, pembantu Bu Hamidah memang kurang menyukai sikap temperamental pada sebagian tetangganya yang berbahasa Jawa Banten, tapi ia sangat menghormati perangai majikannya yang sopan dan kalem. Ia juga tak menyukai sikap Nyi Hindun dan Bi Marfuah yang selalu menatap sinis ke wajahnya. Kedua wanita itu, seakan telah banyak berjasa dengan memberi upah para pekerja di rumah dan kebun-kebun mereka.

Dan setiap pembantu, tak terkecuali Alit, tentu akan paham bagaimana harus menyikapi tipikal majikan semacam itu. Oleh karenanya, ia dapat bertahan dan merasa betah bertahun-tahun membantu di rumah Bu Hamidah yang terkenal bijak dan santun.

Berbeda dengan Daru, pembantu Nyi Hindun yang saban hari mengurusi tanaman padi dan pohon-pohon kacang di kebun milik Pak Sudarno, suami Nyi Hindun. Daru adalah pemuda Sunda kelahiran Rangkasbitung, yang ikut membantu keluarga Nyi Hindun sejak dua tahun lalu. Di balik tatapan matanya yang tajam, Daru seperti menyimpan bara api sambil memandang keluarga Nyi Hindun tak ubahnya dengan orang Eropa di zaman penjajahan dulu. Di sisi lain, Nyi Hindun menganggap dirinya lebih mulia dari majikan-majikan lainnya. Itulah yang membuat segala sesuatu menjadi sangat dilematis, sehingga kebanyakan pembantu atau pesuruh merasa kikuk dan canggung bagaimana harus menyikapi tuan-tuan tanah sebagai majikan yang bebal semacam itu.

Sekonyong-konyong Daru berteriak di kamar biliknya yang remang, seakan menggugat dan menuntut keadilan, “Sialan! Bangsat! Saya benci keluarga ini, saya benci majikan ini! Mereka semua adalah pendatang di tanah ini! Si Hindun maupun suaminya Sudarno, sama-sama pendatang di tanah Pasundan ini!”

Asap tak terlihat lagi dari kamar-kamar bilik para pekerja lainnya. Bahkan, sebagian lampu patromak sudah padam dan kehabisan bahan bakar. Barangkali, semua orang sudah istirahat dan tidur pulas malam itu. Daru menyalakan lampu minyak, lalu duduk di atas dipan tempat tidur. Kamarnya sangat sempit. Ketika duduk di tempat tidur, seakan ia bisa menjangkau keempat sudut ruangan dengan merentangkan tangannya lebar-lebar.

Namun di sinilah, di kamar sumpek ini, dia bersama istrinya tinggal sambil membantu keluarga Nyi Hindun selama dua tahun lebih. Sementara itu, di pihak keluarga Nyi Hindun, mereka telah merasa berjasa dan memberi banyak pertolongan dengan hanya membangun gubuk-gubuk bilik dan atap-atap jerami.

Sore itu, setelah memanjat dan memetik ratusan buah kelapa dari pohonnya, Daru duduk termangu dengan tubuh kotor penuh keringat. Sambil mengepulkan asap rokok, ia menyeringai jahat memikirkan bagaimana Nyi Hindun harus menebus seluruh sanjungan atas kemuliaannya sendiri. Dia sadar dirinya memiliki motif-motif pribadi. Keluarga Nyi Hindun tak tahu menahu perihal kakek Daru, yang dulu pernah wafat dalam usaha memperjuangkan tanah sebagai hak miliknya, dan telah dirampas oleh militerisme Orde Baru di wilayah Cikande, Serang.

Dia sudah mempersiapkan tindakan berjaga-jaga dengan mengirim istrinya agar pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari sebelum kejadian itu. Baginya, mungkin akan menjadi hambatan, dan bagaimanapun tak ingin ia menjerumuskan istrinya pada masalah, seandainya dia terpaksa melarikan diri setelah melakukan penyerangan dan penyerbuan nekat itu.

Daru memikirkan sang majikan. Mengingatnya. Dia telah mengabdi kepada keluarga ini selama dua tahun lebih. Dia tahu Nyi Hindun sangat mencintai suami dan kedua anak yang saban Minggu datang dari Jakarta, dan berkumpul bersamanya. Dia selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada mereka. Daru memikirkan, seandainya kelembutan hati itu ditujukan pula kepada semua orang, termasuk kepada para pembantunya.

Sepintas muncul pikiran yang bertentangan dengan kehendak hawa nafsunya. Daru menyadari bahwa dirinya takkan sanggup melakukan tindakan yang mencelakakan itu. Ia memandang sosok Nyi Hindun seakan menjelma sebagai sosok ibu yang pengasih, sosok istri dan perempuan yang sama dengan Bu Hamidah maupun Bi Marfuah. Seketika itu, entah mengapa dia seakan membenci dirinya karena perubahan pandangan itu. Dia merasa gelisah, dan berusaha keras menempatkan diri dalam kondisi yang lain, yakni tetap memandang Nyi Hindun dan keluarganya sebagai orang-orang pendatang yang menduduki tanah-tanah leluhurnya.

Dengan menganggap mereka sebagai pendatang, maka tindakan nekat itu akan mudah dilakukannya. Karena Daru dan leluhurnya memang benci setiap pendatang, sebagaimana mereka membenci para penjajah Belanda, Jepang maupun Portugis. Sepanjang hari-hari itu, pikiran Daru mengembara, serba kalut dan suram, namun berusaha ia bersiteguh bahwa Nyi Hindun tetap sebagai perempuan yang sama, baik sekarang, esok dan sampai kapan pun.

Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Akankah dia mengkhianati majikannya itu, yang telah menghidupi dirinya dan istrinya, memberinya tempat tinggal, bahkan pernah berjasa dengan turut serta menikahkannya? Ataukah dia akan mengkhianati keluarganya, yang pernah berjuang keras merebut hak atas tanah leluhurnya sejak jaman kerajaan Pajajaran dulu?

Dia duduk dalam kesendirian, merasa bimbang dan bingung hendak memutuskan suatu perkara. Apakah tindakan nekatnya itu akan dikategorikan kebenaran, keadilan ataukah justru kesewenangan? Dia dan keluarganya memang benci para pendatang, itu sudah jelas. Tapi, membunuh seorang ibu dua anak dan delapan cucu, tampaknya adalah tugas yang terlalu menyiksa batinnya.

***

Kegelapan masih menyelimuti seluruh desa Karang Asem. Bintang-bintang di langit seakan cemas menunggu suatu keputusan. Kemudian, seolah tatapan dingin bintang-bintang itu mendorongnya. Orang bertopeng itu mulai melangkah menuju rumah Nyi Hindun. Sebilah golok tajam disarungkan di sekitar pinggangnya, tertutup oleh jaket hitam yang dikenakannya. Dia telah memutuskan untuk menghabisi nyawa Nyi Hindun, sahabat Bu Hamidah, yang sama-sama memiliki garis keturunan dari para tuan tanah di wilayah Banten Utara.

Jangan buang-buang waktu lagi. Sekarang sudah larut malam. Pemuda bertopeng itu segera berlari dengan satu tujuan yang sudah jelas. Dengan terengah-engah dan banjir keringat, dia sampai di rumah Nyi Hindun, berhenti sejenak di depan pintu lalu mengetuk pelan-pelan.

Nyi Hindun sudah tidur setelah sore tadi bertandang ke rumah Bu Hamidah sambil membicarakan perihal nasib tragis yang dialami Kiai Hambali berikut berita-berita koran yang berseliweran mengenai kabar kematian tokoh penting itu. Sudarno, suami Nyi Hindun bersejingkat dari depan layar teve untuk membukakan pintu depan. Setelah pintu dibuka, serta-merta terjadi baku-hantam dengan seseorang yang mengenakan topeng Joker menutupi wajahnya, hingga suara-suara jeritan dan teriakan saling sahut-menyahut dari para tetangga kiri dan kanan.

Keesokan harinya, giliran Bu Hamidah dan Bi Marfuah bertakziah mendatangi kediaman Nyi Hindun. Kini, koran-koran dan teve lokal kembali santer mengabarkan berita kematian Sudarno, suami Nyi Hindun. Dan seketika,  perbincangan ketiga sekawan itu telah beralih dari persoalan kematian Kiai Hambali kepada kematian seorang pensiunan tentara yang pernah mengabdi di masa pemerintahan Orde Baru, yang telah meninggalkan seorang istri, dua anak dan delapan cucu. (*)

 

 

Alim Witjaksono

Prosais dan esais generasi milenial, pengamat dan penikmat sastra kontemporer Indonesia.

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

seven − four =