KRITIK 

Mengungkap Nama yang Tersembunyi

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pemred Litera

____________________________________________________________________

 

Buku kumpulan puisi Hai Maha Wai  karya Rida K. Liamsi (Salmah Publishing, 2022) diberi pengantar panjang yang sangat filosofis oleh Prof. Yusmar Yusuf. Meskipun kagum dengan pengantar yang begitu dalam dan luas,  saya takkan masuk ke “jebakan filsafat” yang dibuka Prof. Yusmar. Biarlah itu menjadi bagian Prof. Abdul Hadi WM, yang sama-sama guru besar filsafat untuk berdialog dengannya. Saya akan memasuki Hai Maha Wai melalui jalan lain yang lebih gamblang bagi apresian.

Pertama saya juga kagum pada Rida K Liamsi yang secara kreatif-imajinatif menemukan kata “wai” untuk digunakan menjadi “Maha Wai” guna mengikat semua sajaknya, dengan berbagai kemungkinan pergeseran maknanya. “Wai” adalah kosa kata Melayu-Indonesia yang sudah jarang dipakai kecuali untuk nama sungai dalam bahasa Lampung: Wai Sekampung, Wai Tulangbawang, Wai Suputih, Wai Mesuji, dan Wai Kambas.

Tentu bukan “sungai” yang dimaksud Rida dalam frasa puitik “Hai Maha Wai”. Kosa kata “wai” juga ada dalam Bahasa Thailand, China, dan Hawai. Ada perubahan makna kata “wai” yang cukup menarik. Jika diawali dengan kata “mei” menjadi “mei wai” bisa berarti: kau tidak dapat pergi begitu saja. Maknanya, seseorang terikat secara spiritual oleh sesuatu yang dicinta, yang selalu dirindu. Manurut KBBI daring, “wai” juga berarti kata seru untuk menyatakan terkejut, terheran-heran, meminta perhatian. “Wai anakku jangan lupa pesan ayahmu.” Ada makna spiritual pada kalimat sederhana itu.

Padanan kata “wai” adalah “wahai”, yang menurut Wiktionary berarti kata seru untuk menarik perhatian, memanggil, memperingatkan, bertanya-tanya karena ada sesuatu yang luar biasa. “Wahai ayah apa yang harus kita lakukan sekarang?” Pada kalimat sederhana itu terkandung sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang harus segera diselesaikan. Sepertinya puisi-puisi Rida bertumpu pada makna spiritual itu. Ada sesuatu yang luar biasa, sehingga Rida memakai frasa puitik “hai maha wai’”.

Kata “wai” atau “Hai Maha Wai” dimanfaatkan Rida K. Liamsi tidak sekadar untuk judul kumpulan sajaknya, Hai Maha Wai (Ratna Ayu Budiarti, ed.), tapi juga pengikat atau pembingkai semua puisi dalam buku kumpulan sajak tersebut. Semua  sajaknya diberi sub judul Hai Maha Wai, dan sebagian besar puisinya juga diawali dengan frasa puitik “Hai Maha Wai”.

Apa yang dimaksudkan Rida dengan frasa puitik itu? Jika “hai” adalah kata seru untuk menarik perhatian, maka yang diseru untuk memberi perhatian adalah “Maha Wai”. Kita lihat, Rida menggunakan dua kata seru, “hai” dan “wai” dalam frasa puitik “Hai Maha Wai.”

Siapakah yang diseru atau dipanggil “Maha Wai” oleh Rida dan mengawali serta mebingkai semua sajaknya? Dengan membaca puisi pertama dalam buku ini, yang diberi judul “Hai Maha Wai (1): Percakapan Setelah Tahajud”, bait pertama dan kedua, kita sudah bisa tahu dengan gamblang siapa yang dimaksud “Maha Wai” itu:

 

Hai Maha Wai (1)

: Percakapan Setelah Tahajud

 

Hai Maha Wai

Pinjamkan aku

Satu huruf dari tujuh yang tak ada

Dalam Al-Fatihah-Mu

Untuk menjadi sesuatu dalam puisiku

 

Beri aku Tsa

Biar dia menjadi safari

Lambang kepedihan dan keterasinganku

Sebagai mahluk yang terdampar di dunia

Sendiri dengan segala kelapaanku

Mengembara seperti seekor kedidi

Mencari jalan pulang

Memanggul sesal dan dosa-dosa

 

Kita yakin benar bahwa yang punya Al-Fatihah adalah Allah, Tuhan yang Maha Esa. Dalam puisi ini Rida menyampaikan maksudnya untuk meminjam satu huruf yang tak ada dalam Al-Fatihah untuk menjadi sesuatu dalam puisinya. Rupanya saat menulis puisi itu Rida kehabisan tema, atau kehabisan sesuatu (something) untuk dikembangkan jadi puisi.

Perlu ada sesuatu dalam puisi. Tanpa susuatu puisi takkan ada maknanya, hanya akan jadi permainan kata-kata belaka. Dalam istilah Randra, puisi hanya akan jadi renda-renda. Lalu, Rida meminta tsa untuk menjadi safari, lambang kepedihan dan keterasingan. Puisi pertama itu seakan menjadi cahaya religiusitas bagi puisi-puisi berikutnya dalam semangat “Hai Maha Wai”. Sederhana tapi puitis dan penuh kedalaman.

 

Nama yang Tersembunyi

Jika kita simak seluruh isi buku itu, sebagian besar puisi Rida, terutama yang diawali dengan frasa puitik “Hai Maha Wai”, ditujukan kepada Allah. Barangkali, ini persoalannya, kenapa Rida menyebat Allah sebagai “Maha Wai”. Bukankah Allah sudah mengabarkan bahwa ada 99 nama untuk mengenal diri-Nya, 99 Asmaul Husna. Saya mencari panggilan “wai” pada 99 nama itu. Namun, tidak menemukannya.

Nama Allah memang tidak hanya 99, seperti yang tersebut dalam Alquran dan dikabarkan kepada hamba-hambanya. Ada nama-nama yang Maha Hebat dan masih tersembunyi. Karena, sesungguhnya nama Allah tidak terhingga sekaligus tidak terbilang, tidak mungkin dibatasi oleh angka-angka.

Dalam kitab Tafsir Istirobadi  dijelaskan, “Sesungguhnya Allah memiliki 4000 nama. Dimana 1000 nama hanya Allah yang mengetahui, kemudian nama yang ke 1000 selanjutnya hanya Allah dan para malaikat yang mengetahui, selanjutnya nama yang 1000 di lauhul mahfudz, yang 300 dalam kitab taurot, yang 300 dalam kitab injil lalu yang 300 ada di kitab zabur dan yang 100 dalam kitab Alquran. Dimana dari 100 asma Allah dalam Al-Qur’an hanya 99 yang dzohir sedangkan yang 1 asma Allah samar yaitu ismul a’dzom. Hanya para Nabi dan Rasul yang mengetahuinya.”

Kemudian, dalam Tafsir Ruhul Ma’ani (jus IX hlm 191) Imam Al-Alusi menjelaskan, bahwa para ulama sepakat boleh menyebutkan nama-nama dan sifat bagi Allah (yang masih tersembunyi itu) selama tidak dilarang oleh syari’at dan memiliki arti jelas memuji Allah swt, serta tidak ada kemungkinan merendahkan-Nya.

Penyair Rida K. Liamsi menemukan salah satu nama yang tersembunyi itu, yaitu “Maha Wai”, sebagai Zat yang “Maha Mengejutkan”, tempat mempertanyakan segala suatu yang luar biasa, sekaligus mengikat dirinya untuk selalu mencintai dan merindukan-Nya. Nama itu mungkin akrab dalam keseharian Rida, menjadi panggilan dalam kehidupan yang penuh nuansa religius.

 

Sederhana dan Religius

Jika disimak seluruhnya, ada beberapa puisi, sebagian kecil dari puisi yang dimuat dalam buku ini, yang tidak diawali dengan frasa puitik “Hai Maha Wai”, tapi tetap diberi sub judul “Wai Maha Wai” yang menyatukan dengan semua puisi dalam buku ini, misalnya “Wai Maha Wai (2): Beri Aku Sajadah” berikut ini:

 

Hai Maha Wai (2)

: BERI AKU SAJADAH

 

Sosok compang-camping

Dari masa laluku

Bertabik di pintu

: Beri aku sajadah

Lalu terdengar isak tangis

Seperti puisi yang dibacakan di malam

Yang kehilangan detak jarumnya

 

(Bait pertama)

 

Puisi-puisi dalam Hai Maha Wai sebenarnya cukup gamblang dan relatif mudah ditebak maknanya. Tidak ada makna yang disembunyikan dalam majas yang pelik, atau dalam simbolisasi yang rumit. Majasnya sederhana, dengan metafor yang gampang diungkap maknanya. Namun, puitis dan penuh kedalaman.

Kutipan penggalan puisi “Hai Maha Wai (1): Percakan Setelah Tahajud” dan “Hai Maha Wai (2): Beri Aku Sajadah”, kiranya cukup mewakili kesederhanaan ungkapan-ungkapan sajak Rida dalam buku ini. Maknanya kadang jadi berlapis karena dibungkus dengan frasa puitik “hai maha wai”. Coba kita simak puisi “Hai Maha Wai (7): Apakah Cinta Masih Dipercaya” berikut ini:

 

Hai Maha Wai (7)

: APAKAH CINTA MASIH DIPERCAYA?

 

Hai Maha Wai

Apakah cinta masih dipercaya?

 

Aku telah menurunkan kalender dari dinding

Menyimpan ingin dan ingatanku

Dalam laci kapadihan

Takdir memang bukan milikku

Tak dapat dikalahkan dengan kata-kata

Walau tetap tersisa mimpi

Tapi pesona hidup, puisi, dan juga misteri

Membeku bersama waktu

Sesekali ketika makan siang

Aku kembali menyaksikannya berdenyar

Di kilatan mata seekor arwana

 

(bait pertama)

 

Jika kita cermati temanya, puisi-puisi Rida dalam Hai Maha Wai  sebagian sangat religius, dan bahkan kadang agamis. Puisi-puisi yang dikutip di atas menampakkan religiusitas yang kental itu. Puisi-puisi yang bernuansa sosial, dan politik, juga menjadi religius, terutama yang diawali dengan frasa puitik “Hai Maha Wai”.

Sedangkan yang tidak diawali dengan frasa puitik itu, dan hanya mendapat sub judul Hai Maha Wai, religiusitas itu tampak hilang, berganti dengan nuansa humanis, dan kadang bernuansa historis. Religiusitasnya terwakili frasa puitik “hai maha wai”. Ini mengkin sisi hablum minannas, setelah hablum minallah terbaca pada “Percakapan Setelah Tahajud”.

Religiusitas sajak-sajak Rida menjadi lengkap, karena menggambarkan hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama manusia. Mirip perempuan memakai jilbab. Dilihat sepintas tampak religius. Sementara, bagian bawahnya memakai jean atau rok. Barangkali ini ibarat religiusitas Melayu urban. Coba kita simak kutipan-kutipan puisi berikut:

 

Hai Maha Wai (12)

: MENGENANG SDD

 

Hai Maha Wai

Apakah makna kehilangan wahai aduhai?

 

Kehilangan adalah hujan

Yang menulis puisi di jalan-jalan

Tidak hanya di bulan Juli

Hujan telah berubah jadi duka

Mengekalkan pedihnya di semua celah waktu

 

Kehilangan adalah puisi

Yang tak pernah selesai ditulis

Seperti hari yang tak bisa menunda hujan

Meski mendung diusir angin

Tapi luka yang membumbung bersama kata-kata

Tak bisa menjadi garam waktu

Mencairkan duka kembali menulis puisi

Di jalan-jalan

 

(Bait pertama – ketiga)

 

 

Hai Maha Wai (15)

: BUNG, HARI INI ENAM JUNI

 

Bung, hari ini enam Juni

Kami masih mengingatmu

Meski kepalmu telah lunglai

Di rumah tua

Di runtuhkan kekuasaan

Yang menempatkan

Bayonet di semua lantai

 

Adakah kau tahu

Dulu, di bangku sekolah

Kekanak dipaksa menghapus namamu

Dari buku sejarah

Para lurah menurunkan foto-fotomu

Dari dinding kantor dan rumah warga

Wakil-wakil rakyat mengetuk pintu

Menyingkirkan jejakmu dari peta sejarah

….

(Bait pertama dan kedua)

 

 

Begitulah gambaran sepintas sajak-sajak Rida K. Liamsi yang terkumpul dalam Hai Maha Wai. Puisi-puisi religius, puisi-puisi humanis, dan puisi-puisi historis, dibingkai menjadi satu keutuhan dalam sub judul Hai Mahai Wai.

Ungkapan-ungkapan sederhana yang puitis dan punya kedalaman makna. Frasa puitik yang sekaligus mengangkat ungkapan-ungkapan sederhana menjadi berbobot estetik dan menggoda pembaca untuk menikmatinya.

 

Pamulang, 1 Maret 2023

 

  • Tulisan ini merupakan prasaran untuk peluncuran buku kumpulan puisi Hai Maha Wai dan Sungai Rindu karya Rida K. Liamsi  di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta, Sabtu 4 Maret 2023. Peluncuran diberi bobot epilog oleh Sutardji Calzoum Bachri dan prolog oleh Maman S. Mahayana. Acara, yang merupakan kerja sama antara Yayasan Hari Puisi dan PDS HB Jassin ini juga dimeriahkan musikalisasi Rinidiyanti Ayahbi, baca puisi Ratna Ayu Budiarti, Ical Vigar, Aufa Bunga, Rini Intama, Ewith Bahar, dan baca puisi tiga bahasa oleh Danny Susanto. Diskusi yang dimoderatori oleh Herman Sahara menampilkan Ahmadun YH sebagai pembicara. Pembicara lain, Prof. Dr. Abdul Hadi WM, berhalangan hadir. Rida K. Liamsi, sempat menyampaikan penjelasan seputar proses kreatifnya seusai diskusi. Acara dihadiri beberapa sastrawan Jakarta, seperti Yahya Andi Saputra.

Related posts

Leave a Comment

eleven − nine =