DERAI HUJAN DAN KATAK-KATAK BERENANG DI KOLAM
Cerpen: Lintang Alit Wetan ____________________________________________________________________
“Kung…kek. Kung…kek…”
Malam tintrim, hujan tumpah. Di blumbang atau kolam depan rumah, kulihat katak-katak lelumban, ciblonan berenang-renang kesana-kemari. Bagi mereka, keluarga katak, hujan mungkin adalah berkah berlimpah. Air dan daratan, dua tempat berbeda yang menjadikan para katak itu hidup dan beranak pinak. Kawanan katak terus bernyanyi dengan riang gembira di bawah guyur hujan yang berderai-derai.
Aku setia menjaga blumbang. Tangan kanan menggenggam sebuah ponsel yang layar sentuhnya terus menerangi air kolam. Katak-katak berenang-renang di bagian kedalaman blumbang, sileman di pinggir kolam, cakar kaki-kaki mereka berpegangan erat ke pohon-pohon kangkung yang tumbuh di kolam. Seekor katak kecil, precil digendong oleh katak berbadan lebih gede, mungkin induk atau biyung. “Kung…kek. Kung…kek….” Di derai hujan, kudengar terus berkumandang orkestra katak, sekadar nina bobo untukku, cukup menghiburku dari hati yang duhkita ditinggal eyang.
Eyang gemar menderes nira. Menyadap getah karet. Nener ikan. Ngangsag padi hasil gepyokan. Eyang telah meninggalkan itu semua, sehingga kini hanya kenangan. Eyang telah damai di firdaus. Lilin-lilin yang kunyalakan, terus menerangi pusara baru-basah-merah di malam ini. Dari pipiku mengalir air mata dalam hening doaku. Bergema kumandang nyanyian requiem nan sakral. Kutoreh pada secarik kertas beraroma mawar.
***
Sumber gambar: Pixabay
Tidak ada keanehan. Seperti biasa, Sontoloyo, tukang ojek kampung, mengantarku ke pasar. Aku tinggal di lereng bukit Serayu Utara. Medan terjal, jalanan berbatu, berkelok-kelok adalah santapan harian di perjalanan yang biasa aku lewati. Dari rumah gubuk reot menuju pasar. Di kanan kiri jalan selebar bentangan sajadah, di bibir jurang dan ngarai yang dalam dan curam. Siap mencaplokku menjadi mayat, bila aku lengah barang sedetik pun, lalu jatuh. Tamat riwayat, menjadi hantu-hantu bergentayangan di siang bolong.
Tidak ada keluhan. Bahkan aku bersyukur dengan keadaan seperti ini. Istriku, Sukilah buta sejak kecil, karena penyakit katarak. Tidak mampu disembuhkan. Keluarga miskin yang hidup dari memburuh serabutan, hasilnya cuma cukup untuk dimakan sehari-hari. Itu pun dicukup-cukupkan. Kurang. Untuk makan sehari-hari saja mencekik leher, boro-boro untuk biaya berobat Sukilah yang sakit katarak. Tidak masalah. Walaupun istriku, tuna netra, tapi istriku sangat mencintaiku. Aku pun demikian. Kami layaknya pasangan suami istri idaman. Bagai pasangan Raden Arjuna dan Dewi Subadra.
***
Hujan lebat. Sungguh lebatnya. Sri memayungi tubuhku dengan payung berwarna hitam yang disana-sini bolong-bolong. Di emperan pasar ini, kami mengais rezeki. Tubuhku menggigil kedinginan. Sri mengelap wajah basah kuyupku dengan sapu tangan jadul. Sapu tangan ungu. Sapu tangan diperas. Berkali-kali. Tak terhitung berapa kali lagi.
“Duar! Duar! Duar!” Guntur menggelegar. malam yang basah, seisi pasar di dataran rendah, kota ini digenangi air nyaris bagai bah Nuh. Lama kelamaan, pasar pun tak nampak lagi. Ditelan air.
***
Ketika sapu tangan ungu Sri tak terhitung sudah berapa kali diperas airnya. Sri berinisiatif memanggil ojek online. Kami buru-buru pulang ke rumah, meninggalkan pasar yang pasti dalam hitungan menit, ditelan bah. Rumahku dan Sri bertetanggaan, beda desa. Sri dari Desa Nggerotan Kretek. Aku dari Desa Posong. Di sepanjang jalan, Sri disibukkan dengan –sempat-sempatnya– memunguti bunga-bunga gunung jualannya yang belum laku, lalu dibawa pulang. Tukang ojek online tergesa-gesa. Aku membonceng di jok tengah, sedangkan Sri di jok belakang.
“Aduh!” Aku dan Sri terbanting-banting. Di jalanan gunung bila lengah, siap menerkam nyawa kami bertiga. Bunga-bunga Sri, satu persatu berjatuhan. Satu dipungut, ojek berjalan, jatuh satu bunga lagi. Terus begitu berulang-ulang. Kabut gunung makin tebal, menutup jarak pandang kami. Kabut seperti menutup rekah hatiku, hatimu, hati kami yang penuh kemelut.
Kabut. Lenyap. Musnah. “Blaaarrrr!” Satu suara menggegelar mirip dentuman, mengejutkan sekaligus mengagetkan. Hitungan sepersekian detik, bertepatan musnahnya kabut, tukang ojek online, Trondol dan Sri raib. Tertelan masuk ke dalam hape masing-masing, dan pindah tempat melewati dimensi ruang dan waktu.
***
Seperti biasa, diperlakukan tidak terjadi apa-apa. Pasar ini ramai dikunjungi orang. “Trondol, pengemis disabilitas dan Sri, kembang gunung tidak terlihat batang hidungnya, beberapa minggu ini!” Teriakan Warsini, bakul cenil lopis.
“Iya. Ke mana mereka, ya?” Bakul-bakul yang lain, balik bertanya. Semua orang di pasar ini, saling berpandangan. 1001 dugaan terbersit di kepala. Mungkinkah, raibnya Trondol dan Sri berhubungan dengan kunjungan presiden dan gubernur beserta rombongan ke pasar ini, Pasar Kretek tempo hari. Untuk mengecek langsung produksi bawang dari petani di daerah asal penanaman bawang oleh petani di Parakan? Masing-masing orang terus bertanya-tanya, kemanakah gerangan Trondol dan Sri raib.? Trondol dan Sri, menjadi sosok yang paling dicari orang-orang di pasar.
Di tempat berbeda, di waktu yang sama. Masih sama-sama Waktu Indonesia bagian Barat. Trondol sedang asyik menghitung uang. Ia tampil berdasi, kemeja kantoran, berjas dan sepatu disemir bersih, rambut disisir rapi model kalangan atas. Aku keluar ruangan meeting. Berjalan tegap, penuh wibawa, sebagai seorang big bos. Kutemui istri-istriku: permaisuriku, Sukilah dengan kursi roda dan assisten rumah tangganya, Blewuk serta selirku, Sri di ruang lobby. Kugandeng Sukilah di sebelah kananku, Sri di sebelah kiriku, berjalan ke luar kantor. Di depan kantor, mobil Limousine disopiri oleh Sontoloyo, bekas tukang ojek onlineku dulu di desa, sudah menunggu. Kutinggalkan kantor money changer megahku, dengan mobil Limousine super mewah yang melaju. Menderu.
***
“Bangun Kang Trondol! Lekas sembahyang malam!” Teriak Sukilah, permaisuriku dari dalam rumah. Aku terperanjat. “Hah!” aku tergopoh-gopoh bangun. Ternyata, aku ketiduran di kursi bambu dekat blumbang, memakai baju koko, celana kolor, sarung dan kopiah, basah oleh hujan. Hatiku menangis, sedih. Katak-katak cuek ciblonan, berenang-renang di kolam. Paduan suara mereka makin ramai. Bagiku, katak-katak itu mengejekku. Mencemoohku. Malam lebaran basah. Takbir berkumandang dari surau di dekat rumah. Aku bertahmid***
Purbalingga, April 2023.
Lintang Alit Wetan adalah nama pena dari Agustinus Andoyo Sulyantoro, lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 13 Mei. Menulis fiksi dan non-fiksi yang diterbitkan media massa baik cetak, elektronik maupun online, lokal dan nasional serta berbagai buku kumpulan bersama.
Puisi dan cerpennya publish di Commit, Warta IKIP Yogya, Kuntum, RRI Purwokerto, Hidup, Kaki Langit Horison, Ceria Remaja, Bernas, Suara Gerilya, Gloria, Permata, Derap Serayu, Derap Perwira, Radar Banyumas, Elipsis, Ngewiyak.com, TirasTimes.com, Rembukan.com, Bimolukar.com, Sastra Krajan, Idestra, dll.
Sekarang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara di Provinsi Jateng. Bertugas di SMA N 1 Bukateja, Purbalingga.
Email: wetanlintang3@gmail.com. Fb: Agustinus Andoyo Sulyantoro Andoyo. Blog: Agustinus Sulyantoro (agustinus0573@ gmail.com).