CERPEN 

Ibu Bermimpi, Bapak Terbang

Cerpen Mahwi Air Tawar

____________________________________________________________________

Pada hitungan hari keseribu sejak bapak meninggal, ibu bermimpi, bapakku bangkit dari kubur dan terbang ke arah tenggara. Sanak kerabat dan tetangga yang ketika itu sedang berdoa bersama terkesima. Mereka tak melihat secara kasat mata apa yang ibu lihat dalam mimpinya, tapi merasakan hembusan angin yang tiba-tiba. Di antara mereka yang segera menggeser posisi duduknya, lebih dekat dan lekat dengan paha orang di sebelahnya. 

“Kemana bapak akan pergi?” Ibu memintaku membawakan air kembang. 

“Ikut ibu,” Ibu mengenakan sarung berwarna merah, sarung kesayangan bapak.

Ibu membasuh mukanya dengan air kembang. Ibu tampak lebih cantik dan anggun. Di tepi kuburan bapak, ibu menunduk dan mengguyuri gundukan tanah dengan air kembang yang kubawa. Angin menggiring suara zikiran orang-orang yang sedang menggenapi selamatan seribu hari sejak bapak meninggal.

Ibu masih membungkuk di tepi kuburan. Suaranya yang serak mengiris-iris lembaran masa laluku, “Bapak tahu apa yang terjadi denganmu, itu sebabnya bapak selalu memintamu menundukkan mata.” 

Ya, aku ingat. Dulu, bapak memintaku agar menjaga pandangan. “Matamu bertaji,” ujar bapak. Aku tak pernah diberi kesempatan bertanya perihal “mata bertaji” sebagaimana sering bapak katakan.

Bapak menjagaku agar tak bergaul dengan sembarang orang, “Seorang raja terbang ke arah tenggara. Ia menyepi demi menghindari pandangan mata.” Wajah ibu lebih berwibawa dan memancarkan cahaya kebahagiaan saat mengulang kata-kata bapak. Bulu kudukku berdiri. “Bapak tahu semuanya!” imbuhnya.

“Aku tidak paham maksud ibu.”

“Kamu darah dagingku. Kamu satu-satunya harapan bapakmu.” Ibu mengepakkan kedua tangannya, pelan-pelan sepasang kakinya terangkat ke udara lalu kedua tangannya direntangkan, seperti burung mengepakkan sayap.

Aku memanggilnya, ibu berpaling sejenak, “Anak perempuanku. Kau bisa terbang jika kau mau.” Suaranya selembut angin menyentuh rambutku.

Bunga-bunga kemboja berayun, debu-debu beterbangan. Suara orang-orang yang sedang melakukan doa terdengar samar. Aku mendongak ke langit, mencari ibu. Cahaya bulan membelah rimbun daun janur kering. Seekor kelelawar melintas.

“Nah, begitu. Senyumlah!” sebuah suara yang tak asing membuatku terperanjat. 

“Di mana kamu bersembunyi?” 

“Di dalam pikiranmu.”

Tak ada jawaban. Hingga larut malam, aku masih duduk di tepi kuburan bapak. Ibu terbang menyusul bapak. Seekor burung hinggap di atas nisan. Bayangan pohon kemboja rebah, persis di sampingku. Aku masih menebak-nebak arah pembicaraan ibu sebelum terbang. Aku benar-benar tidak mengerti maksud ibu. “Untuk apa bapak terbang ke arah tenggara?” gumamku, lirih. “Apa arti mataku bertaji?”

“Tak seorang pun dapat memahamimu, kecuali seseorang yang berasal dari tenggara.” 

“Kamu di mana?” teriakku seketika. 

“Jangan teriak, apalagi marah. Kemarahan menipu.” 

“Jangan sok bijak. Keluarlah kalau berani.” Padanganku mengitari sekitar kuburan, menembus rimbun pohon kelapa.

Ada yang diam-diam tak dapat kupungkiri dari kebenaran ucapan ibu tentang seorang lelaki dari tenggara, seseorang yang selama ini hidup dalam pikiran dan kerap mengajakku menjelajahi pikiran orang-orang serta tempat-tempat paling jauh yang sebelumnya tak pernah kupikirkan, apalagi mendatanginya.  

Entah atas dorongan apa, enam tahun lalu aku mencarinya, ketika ada firasat yang begitu kuat mendorongku untuk terus mencari: aku harus bertemu dengannya. Setelah bertemu, tanpa kusadari aku jatuh cinta. Hatiku tak bisa berpaling darinya. Aku merasa nyaman dan percaya dengannya. Hanya saja, belakangan, ia lebih banyak menyebalkan ketimbang menyenangkan hatiku. Kadang ia menjengkelkan.

“Karena setiap orang tak ingin dilukai,” aku menunduk. 

Kata-kata ibu di atas tiba-tiba membubung dan menyesap ke dalam napasku. Aku merasa kebenaran dalam kalimat ibu. Aku sudah melukai seseorang yang sudah enam tahun menjadi bagian dalam hidupku. Aku kerap mengabaikannya. Tapi harus kuakui, aku sudah mulai merasa tidak nyaman dengannya, aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang sepele dan klise sekadarnya. 

“Kamu tak perlu khawatir. Setiap saat ia menggumamkan namamu,” suara ibu kembali terdengar. Angin membelai bulu kudukku. Suara yang barusan kudengar begitu lembut.

Awan berarak, bulan menjadikannya seperti warna putih kanvas, di baliknya bintang nanggala bergerak cepat. Dari tepian kuburan, aku menatap cakrawala dengan penuh takjub, kadang gemetar. Raut wajah seseorang yang dalam beberapa bulan ini kuacuhi pelan-pelan muncul, menapaki jalan pikiranku.

Ya, kini ia leluasa bergerak dalam pikiran dan ingatan, mengajakku berjalan mengitari tanah kelahirannya, “Ibu bermimpi, bapak terbang. Ibu menyusulnya dan meninggalkanku di kuburan.” Aku tidak canggung menceritakan apa yang aku alami kepadanya. Ia mengenalku, ia tahu apa yang terjadi denganku, segalanya. Tak ada yang aku tutup-tutupi. 

“Sebentar lagi aku akan mengajakmu ke pantai.” Aku memandangi wajah dan sepasang matanya yang tajam.

“Kenapa kamu mendatangiku, bukannya dalam beberapa bulan ini kita berseberangan?” Aku menjatuhkan diri dalam pelukannya. Kupukuli dadanya, “Aku benci sama kamu, Mas, benci,” teriakku. Angin menerbangkan aroma melati, kamboja, dan gundukan tanah kuburan bapak yang masih basah.

“Aku datang tidak dalam rangka menjawab pertanyaanmu, apalagi berdebat tentang kerenggangan hubungan kita. Tidak.” 

Sebagaimana bapak juga, ibu tak memberiku kesempatan menyanggah pertanyaannya. Sebaliknya, dengan lembut ia memegang dan menarik tanganku dan memapah tubuhku terbang. Ia menurunkan tubuhku begitu tiba di dekat pantai.

Di tanah kelahirannya, seharusnya aku mendaki gundukan pasir, memandang bentangan laut biru dan ombak yang membuncahkan buih. Tapi kali ini tidak. Aku juga tidak mencium aroma ikan bakar dan bau segar ikan kering selepas dijemur di bawah terik matahari. Tidak kulihat riap api dari sela-sela tungku yang terbuat dari tanah liat. Suasana begitu senyap.

Di bawah bulan dan di tepi pantai, kulihat orang-orang menjadikan ujung sarungnya sebagai penutup hidung. Kebisuan menjalari sekitar. Mereka tak lagi saling berbicara dan berkelakar sebagaimana hari-hari biasa. Aku mulai merasakan aroma tak sedap, bau, apek, dan menjijikkan. Suara ombak seperti berebut pengaruh dengan suara mesin diesel dari kubangan-kubangan tanah yang menganga.

“Buat apa tanah-tanah itu digali?” tanyaku memecah kesunyian. 

Ia terus berjalan. Suaraku ditelan suara mesin diesel. Ia menyapa beberapa orang yang duduk berjajar dan menangkupkan ujung sarung pada masing-masing hidungnya.

“Itu tambak. Dari sana bau busuk itu berasal.”

“Apa hubungan semua ini dengan bapak yang terbang ke sini?” Nada suaraku membuat orang-orang yang duduk berpaling dari laut. Mereka memelototiku. Seorang pemuda bangkit dari sebuah pondokan di samping tambak.

“Ada apa?” intonasi suara pemuda itu asing, “Mau apa malam-malam ke sini, berduaan pula?” Ia menyalakan korek, lalu membakar ujung rokoknya. “Tak ada lagi tempat buat pacaran.”

“Kerja, kerja, kerja,” suara lain dari sela kubangan tanah menggema. Sementara, orang-orang setempat yang sejak tadi hanya duduk memandang laut tidak berkomentar banyak. Mereka terus diam, menyumpal mulut dan hidungnya dengan ujung sarung.

“Apa mereka pemuda asli sini?” Mataku tertuju kepada pemuda di dalam gubuk di samping tambak. Kupandangi dengan nanap. Bulan susut. Awan berarak. Angin mendesir menyibak arakan awan di langit.

“Tak perlu ditanggapi.” Pertanyaan-pertanyaan di kepalaku mulai berdesakan. Aku mulai muak dengan sikapnya yang sejak membawaku ke sini, ia lebih banyak diam ketimbang menceritakan apa yang terjadi.

“Aku muak denganmu. Aku benci. Kenapa kamu membawaku ke tanah kelahiranmu yang tidak seperti kamu ceritakan dulu, indah, dan menakjubkan?” suaraku berat. Ombak membuncah. Suara diesel mesin tambak memekakkan telinga. Ia tak peduli dan terus mengajakku berjalan. 

Bulan semakin susut ke timur. Bayangan kami rebah di tanah. Bayangan itu seakan mengikuti gerak langkah kami yang berjalan ke barat. Kudengar orang-orang melafalkan zikir. Sesaat berselang aku terjaga. 

Aku melihat ibuku tersenyum dalam tidurnya. 

“Bapak…” desis ibu.*** 

catatan: ilustrasi diambil dari: kibrispdr

 ——————————

Mahwi Air Tawar, lahir di Sumenep, Madura. Cerpen dan puisinya dipublikasikan pelbagai media di antaranya, Kompas, Jawa Pos, dan Horison. Buku kumpulan puisi dan cerpennya yang sudah terbit, antara lain, Blater, Karapan Laut, Taneyan, Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa, Tanah Air Puisi, dan Puisi Tanah Air. Buku kumpalan cerpen terbarunya, Musyawarah Para Pencuri (2023). 

 

Penyunting: Elis Susilawati dan Annisa Dwi Ayuningrum

Related posts

Leave a Comment

two + seven =